Share

BAB 7 SIKAP KASAR PATRICK

            “Kau pasti becanda!” Maureen membalikkan badan dan hal itu merupakan kesalahan baginya, karena membuat dirinya berhadapan dengan wajah Patrick yang begitu dekat. Juga ia dapat melihat dada telanjang Patrick, yang ditumbuhi rambut.

            Bagaikan ada magnetik tangan Maureen terulur untuk mengelus dada tersebut. Yang dengan cepat ditangkap Patrick.

            “Kau pasti menginginkan diriku, bukan? Ketika itu aku sedang mabuk dan aku tidak dapat mengenali bagaimana rasanya bereinta denganmu!”

            Mata Maureen langsung melotot ia menarik tangannya dengan cepat dari dada Patrick. Ia lupa, kalau suaminya ini begitu arogan.

            Digesernya posisi berbaringnya menjauh dari Maureen, lalu diletakkannya guling di antara dirinya dan Patrick.

            Melihat hal itu Patrick tertawa ia mengatakan, kalau hanya sebuah guling tidak akan menghalanginya untuk menyentuh tubuh Maureen. Patrick mengatakan, kalau Maureen takut tidak kuat menghadapi pesona maskulinitas dirinya.

            Tidak ada sahutan dari Maureen, yang terdengar hanyalah suara napasnya. Patrick mendesis kecewa saat dilihatnya Maureen sudah tertidur. Perkataannya tadi rupanya hanya didengar angin saja.

            Diambilnya guling tersebut, lalu ia lemparkan ke lantai. “Kau tidak perlu guling ada aku yang bisa kau peluk hangat dan nyaman.” Bisik Patrick, sambil meletakkan tangannya di perut Maureen.

            Maureen yang sebenarnya hanya berpura-pura tidur saja menjadi tidak karuan, Ia harus menahan dirinya untuk tidak bangun dan melepas tangan Patrick yang bermain-main di perutnya.

            Lama kelamaan didengarnya suara dengkuran dari Patrick, sehingga membuat Maureen bisa menarik napas lega.

            Dengan perlahan dicobanya melepaskan tangan Patrick dari perutnya. Namun, terdengar suara gumaman. “Biarkan saja!”

            Suara itu membuat Maureen menjadi terkejut dirinya tidak mengira, kalau Patrick akan menyadarinya. Ia pun jadi diam membeku. Pada akhirnya, Maureen jatuh tertidur juga dalam pelukan Patrick.

            Patricklah yang lebih dahulu bangun dari tidurnya dilihatnya Maureen yang masih terlelap. Senyum sinis terbit di bibirnya melihat hal itu. ‘Dia pikir aku menyukainya? Aku hanya terpaksa saja harus berada dekat dengannya ini semua, karena desakan Ayahku!’ batin Patrick.

            Ia turun dari atas tempat tidur tanpa mengusik Maureen dari tidurnya, kemudian langsung menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk saja.

            Maureen yang baru bangun tidur langsung disuguhi pemandangan tersebut membuatnya melotot ke arah Patrick.

            “Tidak bisakah kau mengeringkan rambutmu dahulu dan memakai pakaian, sebelum keluar dari kamar mandi?”

            Senyum mengejek terbit di bibir Patrick. “Aku sudah terbiasa seperti ini dan aku tidak akan mengubahnya hanya untuk dirimu!”

            Maureen bangkit dari tempat tidur ia hendak menuju wstafel. Namun, ketika melewati Patrick, suaminya itu mencekal tangannya dengan kasar.

            Dengan dingin Patrick mengatakan, kalau bagi dirinya pernikahan mereka hanyalah jaminan baginya agar tetap mendapatkan warisannya. Ia tidak akan mentolerir, jika sampai diketahuinya Marianne ternyata hamil dari pria lainnya.

            Kedua tangan Maureen terkepal di sisi tubuhnya ia harus bisa menahan rasa marah dan kecewanya kepada Patrick. Seandainya saja ia tidak memiliki hutang budi kepada kedua orang tua Patrick yang sudah membantu biaya perawatan Ibunya. Sudah pasti ia akan pergi dari pria itu daripada harus menerima penghinaannya.

            Patrick mengerutkan kening menatap Maureen. “Apakah kau tidak bisa menerima dengan yang kukatakan? Aku sama sekali tidak peduli!”

            Dengan santainya Patrick melepas handuk yang tadinya menutupi tubuhnya, sehingga membuat Maureen langsung berlari menuju kamar mandi diiringi suara tawa Patrick.

            sesampainya di kamar mandi Maureen langsung menggosok gigi dan mencuci wajahnya. Pada saat sedang mencuci wajah Maureen teringat wajah Ibunya yang bahagia mendengar berita rencana pernikahannya dengan Patrick.

            Seandainya saja Ibunya mengetahui, cerita di balik pernikahan itu dan bagaimana perlakuan suaminya kepadanya. Ibunya pasti akan merasa sedih sekali jikalau mengetahui hal tersebut.

            Terbayang di matanya, bagaimana ia yang ketika itu hampir saja putus asa mencari biaya tambahan perawatan Ibunya di rumah sakit, orang tua Patrick tanpa ragu memberikan uluran tangan.

            Tiba-tiba saja pintu kamar mandi dibuka dengan kasar tampak Patri, dengan wajahnya yang terlihat kesal. “Apakah kau akan selamanya berada di sini? Jangan berpura-pura menangis, karena aku sama sekali tidak akan terpengaruh!”

            Setelah mengatakan hal itu, Patrick keluar dari kamar mandi dan menutup pintunya dengan kasar. Kemudian ia berjalan menuju ruang makan dilihatnya di atas meja tidak ada makanan apapun juga. Mengetahui kenyataan itu Patrick menjadi marah.

            Bergegas ia keluar ruang makan dan hendak kembali lagi menuju kamarnya, tetapi dilihatnya Maureen menuruni tangga  Ditunggunya Maureen, sampai berada dekat dengannya.

            “Apakah karena sekarang kau bukan pelayan di rumah ini, sehingga membuatmu berhenti untuk menyiapkan makanan bagiku!” tegur Patrick galak.

            Rasanya sakit di hati Maureen mendengar kata-kata kasar itu, tetapi ia hanya bisa memendam rasa sakitnya dalam hati. Dengan lemah ia menyahut, “Tunggu sebentar, akan kubuatkan makanan untukmu!”

            Dilewatinya Patrick menuju dapur, sesampainya di sana ia langsung saja menyalakan kompor. Ia akan membuatkan omlet untuk suaminya.

            Beberapa menit kemudian, ia selesai juga memasak sarapan untuk Patrick. Diletakkannya makanan tersebut di atas meja bar, yang berada di dapur. Ke luar dari dapur dicarinya Patrick yang tampak sedang membaca jurnal pertanian. Dihampirinya suaminya itu. “Sarapan sudah siap! Aku menyajikannya di meja bar yang ada di dapur.”

            Patrick meletakkan jurnal yang sedang dibacanya di atas meja. Ditatapnya Maureen dengan tajam. “Apa kau pikir aku ini seorang pelayan, yang akan bersedia makan di dapur!”

            Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut ia langsung berjalan menuju pintu keluar, sambil mengatakan jika dirinya akan sarapan di apartemen kekasihnya, yang dengan senang hati akan menyajikan sarapan untuknya.

            Maureen menggigit bibirnya, untuk mencegah isak yang hampir terlontar dari bibirnya. Betapa teganya Patrick selalu saja menyakiti hatinya. Apakah dipikirnya ia tidak memiliki hati? Sehingga, dengan seenaknya saja selalu berkata kasar.

            Maureen berbalik menuju dapur, lalu duduk di depan meja bar. Dipandanginya makanan yang sudah dimasaknya, dengan rasa sedih. Susah payah ia memasak itu semua, tetapi justru mendapatkan penolakan dari suaminya.

            ‘Memang salahku lupa siapa sebenarnya Patrick. Tidak seharusnya aku mengajaknya untuk makan di sini, jelas saja ia menolaknya. Namun, bisa saja ini alasan dari Patrick untuk menghinaku dan mengatakan, kalau ia masih berhubungan dengan kekasihnya,’ batin Maureen sedih.

            Dimakannya makanan yang ada di atas meja, dengan lidah yang terasa kebas. Kata-kata kasar Patrick masuk ke dalam hatinya.       

            Pada akhirnya Maureen menyerah, ia berhenti menyantap sarapannya. Dibawanya piring berisi makananya yang tidak habis ke pantry. Dibuangnya makanan sisa ke dalam bak sampah, kemudian ia mulai mencuci piring bekas makannya tersebut.

            Setelah selesai Maureen keluar dari dapur menuju kamarnya. Beberapa saat kemudian, dengan tas kecil yang ia sandang di pundaknya Maureen keluar dari rumah. Ia memerlukan waktu untuk keluar dari rumah yang memberikan luka baginya.

            Berada di luar tampak mobil pilck up butut miliknya di samping mobil mewah milik Patrick. Masuk mobilnya Maureen langsung menyalakan mesin mobil.

            Maureen menarik napas lega, begitu terdengar suara mesin mobilnya. Mobil tuanya hari ini tidak mogok. Dilajukannya mobilnya menuju rumah Ibunya, yang sudah beberapa hari tidak ia kunjungi.

            Sesampainya di halaman rumah Ibunya yang mungil Maureen turun dari mobil. Ia tidak perlu mengetuk pintu, karena pendengaran Ibunya yang sudah berkurang.

            Masuk rumah dilihatnya Ibunya yang sedang menangis, di atas kursi rodanya, dengan makanan yang tampak berhamburan ke lantai juga gelas berisi air minum.

            Ibunya kembali mendapatkan serangan jantung untuk yang kedua kalinya, setelah pernikahannya dengan Patrick. Baru tiga hari yang lalu ia keluar dari rumah sakit.

            Menahan air matanya, yang hendak keluar Maureen gegas menghampiri Ibunya, lalu berlutut di samping wanita itu.

            “Ke mana wanita yang biasanya menemani Ibu, ketika aku bekerja?” tanya Maureen. Dalam hati, ia merasa kecewa.

            Maureen menolehkan kepalanya ke belakang, ketika didengarnya pintu rumah dibuka. Dan masuklah wanita muda yang ia percaya untuk merawat Ibunya.

            Wanita muda itu tampak takut melihat raut wajah Maureen yang terlihat marah. “Maaf, saya tadi pergi ke mini market, untuk membelikan pampers Ibu Nyonya, yang sudah habis. Saya juga mau mengatakan, kalau saya berhenti merawat Ibu nyonya, karena saya mendapatkan tawaran untuk bekerja di tempat lainnya.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Meirani Hoiriah Snd
Terlalu mahal harus baca novelnya,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status