Share

Bab. 4

Sudah dua hari ini Arina makan siang sendiri. Biasanya ada Wiwid yang menemani, namun dua hari ini Wiwid dan pak Bos tak masuk. Sebenarnya pak Damar sudah hampir seminggu ini tak masuk, entah cuti entah apa. Ada bagusnya juga karna Arina merasa aman dari gangguan si bos. Entah dengan hatinya sendiri amankah atau bagaimana. Rasa bersalah juga terselip di hatinya sejak malam dirinya menolak makanan pemberian pak Damar.

--

“Kamu darimana sih dua hari nggak masuk dua hari juga nggak ada kabar.” Arina mencecar Wiwid yang baru datang.

“Tadi mas Faris singgah di toko roti Maros, sekalian beli panada sama risoles, inget kamu suka panada.” Diberikannya  sekotak panada dan risoles kesuakaan Arina tanpa menjawab pertanyaan Arina.

“Makasih banyak Wid, makasih juga sama mas Faris, tapi kamu darimana sih?” ulang Arina.

“Em itu kemarin pulang nengok ibu sama bapak Rin.” Wiwid berjalan kembali ke mejanya. Akan diselesaikan pekerjaan yang menumpuk dua hari ditinggal.

Arina masih ingin bertanya, namun melihat tumpukan invoice di meja Wiwid diurungkannya niatnya.

Melihat panada dan risoles di pagi ini, membuat Arina ingin membuat teh saja. Akan dimakannya panada dengan segelas teh, belum terlambat untuk sarapan sebelum si bos datang menegur.

Pagi yang masih saja mendung namun tak hujan, membuat hawa sejuk terasa menyegarkan.

Rasa emosi pun mulai berkurang, perlahan berdamai dengan keadaan namun takut kehilangan menjadi momok, namun apakah riak air yang berusaha ditenangkan tak akan mengamuk suatu saat?

Begitu perasaan Arina, sampai kapan menyembunyikan status papa yang sudah sering ditanya Davian padanya bila pulang menengok pria kecilnya itu.

Gulana menyapa hatinya.

--

Tepat habisnya dua buah panada dengan segelas teh di sesapan terakhir, pak Damar masuk ke ruangan Arina, sempat melirik kotak kue yang ada di atas meja Arina lalu berlalu ke meja Wiwid.

Karyawan lain bergumam kasak kusuk saat  melihat pak Damar kembali ke ruangannya diikuti oleh Wiwid. Arina pun jadi kacau pikirannya

“Apa Wiwid nggak izin ya?” gumam Arina.

“Dua hari nggak masuk jelas dipanggillah.” Ujar Gea, rekan admin yang seruangan dengan Arina dan Wiwid.

“Tapi masa sih Wiwid nggak izin,” Arina menimpali.

“Iya, juga ya. Atau mungkin masalah kerjaan lain.” Ucap Gea lagi lalu kembali fokus ke pekerjaannya.

Arina pun demikian, sebentar akan ditanyanya Wiwid. Selanjutnya Arina sudah berkutat dengan laporan stok barang akhir bulan.

--

“Gimana Wid?,” Damar langsung to the point ke Wiwid.

“Seperti yang Bapak liat, Arin langsung makan panadanya.”

“Kamu bilang apa tadi sama dia?,”

“Saya bilang pacar saya yang beli pak, kebetulan Arin suka panada dan risoles jadinya beli dia, nggak bohong kan pak, emang pacar saya tadi yang masuk ke toko beli.” Wiwid menjelaskan.

“Iya,”

Rupanya panada dan risoles tadi dibeli pakai uang Damar.

“Makan siangnya gimana Wid, kamu ajak deh keluar makan siang bilang aja kamu traktir dia.” Pinta Damar lagi.

“Siap bos, mudah-mudahan Arinnya mau pak, anaknya suka nggak enakan soalnya.”

“Dia makan nasi putih sama telur saja hampir tiap hari Wid.” Damar merasa kasihan pada ibu dari anaknya itu.

“Ya dari dulu begitu pak, demi putra Bapak. Arin hidup sehemat mungkin, bajunya juga jarang beli, Bapak bisa liat baju kerjanya itu – itu aja.” Wiwid menarik nafas pelan.

Kata – kata Wiwid barusan serasa menghantam ulung hati Damar, betapa Arina menyiksa dirinya demi putranya.

“Makasih untuk yang kemarin Wid,”

“Sama – sama pak, kalau begitu saya balik kerja dulu.”

“Ok, jangan lupa ajak Arina makan diluar entar siang.”

“Siap, pak.”

Wiwid membuka pintu ruang kerja Damar tepat saat melihat Arina berjalan ke arahnya.

“Laporan Rin?” Wiwid berbasa basi, takut – takut tadi pembicaraannya dengan Damar didengar oleh Arina.

“Iya, tadi ditegur sama bos ya,” nada khawatir keluar dari mulut Arina.

“Hehe nggak, Cuma ditanya kapan nikah.” Lalu Wiwid tertawa.

“Eh beneran, gimana sih, serius dong kepo nih.”

“Iya, jadi kemarin tuh emang ketemu Bapak sama Ibu, orang tua mas Faris datang lamaran Rin.” Jelas Wiwid.

“Syukur Alhamdulillah.” Arina ikut berbahagia mendengar kabar Wiwid akan menikah. Faris adalah pria yang baik di mata Arin,dia bekerja sebagai sales produk minuman soda yng bermerk. Penghasilannya pun lumayan.

“Padahal aku mau cerita sama kamu kalau makan siang tau, aku mau traktir kamu makan siang.”

“ Yeee boleh deh.” Arina sumringah bakalan ditraktir makan siang oleh kawannya ini. Pas, dia tidak bawa bekal tadi karna bangun agak siang.

“ok, kalau gitu masuk dulu deh, ditungguin sama bos tuh.”

“Iya.”

--

Arina sedikit heran dengan ekspresi Damar yang nampak berbinar di pagi ini. Entah habis ketiban durian runtuh atau gimana.

“Ada yang mau dikoreksi pak?” Arina tak mengalihkan pandangan dari stofmap folder yang dipegangnya.

“Enggak ada, semuanya bagus ditangan kamu.” Damar meminta Arina untuk memberikan berkas laporan yang akan ditandatangani.

Arina maju dan berdiri di depan meja kerja Damar.

“Kapan kamu pulang jenguk anak kita?” Damar bertanya sambil tetap membubuhkan tandatangan pada berkas – berkas tadi.

“Anak saya pak.” Arina menahan jengkel.

“Anak saya juga kan.” Damar menggoda Arina.

“Nanti kuantar kalau pulang ke rumah Bapak,”

“Enggak usah, saya bisa pulang sendiri.”

“Kan saya juga mau ketemu putra kita,”

“Bapak nggak kenal dia. Kalau sudah selesai saya mau balik ke ruang kerja saya pak.”

Damar berdiri dan berjalan ke arah Arina

Bersambung...

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Supriyonosusanto
mantap.sekali
goodnovel comment avatar
Yetty Wilda
bagus cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status