Share

Bab. 3

Bekerja tak tenang dan tanpa konsentrasi membuat Arina beberapa kali salah menulis laporan, pertemuan Damar hampir dua bulan ini kembali membuat hatinya bertalu marah, kadang rindu kadang juga benci mengusik ingin meluapkan amarah bila mengingat yang dulu. Seperti naik roller coaster saja perasaan  Arina hari ini, gara – gara segelas teh yang berakhir rayuan panjang Damar untuk  rujuk dengannya yang hanya dibalas deraian air mata oleh Arina.

Tak dipungkirinya bila dulu dirinya pernah jatuh cinta pada pria ini saat menatap mata hitamnya yang tegas dan tajam. Pria pertama yang membuatnya merasakan debaran cinta, namun pria ini juga yang pertama menorehkan luka di hatinya.

“Hampir jam enam Rin, kamu belum selesai?,” suara Wiwid menyadarkan Arina dari kerjaannya, tangannya bekerja namun pikirannya bercelaru.

Wiwid rekan kerja yang juga dulu satu sekolah dengannya. Wiwid yang merekomendasikan Arina dulu untuk bekerja di perusahaan ini. Sedikit banyak Wiwid tahu akan perjuangan Arina melahirkan dan membesarkan anaknya. Wiwid pun tahu siapa pak Damar di kantornya ini, dia pu tak menyangka mantan suami kawannya ini yang jadi manajer baru mereka.

“Iya dikit lagi, Wid.” Arina menoleh dan tersenyum pada Wiwid yang terlihat sudah siap – siap.

“Aku duluan ya, mas Faris udah nungguin.”

Faris calon suami Wiwid, insya Allah dua bulan lagi mereka akan menikah.

“Cie yang mau malming,” Arina menggoda Wiwid, sementara yang digoda hanya tersenyum.

“Kamu jangan lama – lama Rin, diluar mau hujan kayanya. Kecuali kamu mau malam mingguan juga sama papanya Davian.” Wiwid balik menggoda Arina.

“Kamu, ada-ada aja, Wid!” Arina sedikit merona.

Sejak tadi Wiwid melihat Damar yang akan masuk ke ruangan mereka, tentu akan menemui Arina namun segan dengan kehadiran dirinya.

--

Langit mulai menghitam menandakan gerimis tak sabar akan turun menyapa bumi.

Seperti Arina yang tak sabar ingin segera pulang memeluk bocah kecil yang menantinya di rumah bapak dan ibu.

Namun melihat cuaca dan hari yang mulai menggelap meninggalkan bayangan siang, mungkin kepulangannya ditunda dulu.

“sekalian habis gajian aja.” Gumam Arina menahan rindu di dada.

Rambut lurus sebahunya ditiup angin saat berjalan ke arah halte hendak menunggu angkot menuju arah kost, amukan angin yang mulai mengganas fix membuat Arina menunda kepulangannya ke rumah ibu bapak.

Tak disadari bila sedari tadi Damar mengekorinya dari belakang. Perasaan tak tega melihat Arina harus pulang menemui anak mereka dengan cuaca tak bersahabat ini.

“Tunggu Rin, biar kuantar pulang,” Damar menahan lengan Arina yang langsung mendapat tepisan.

“Tidak, terima kasih Pak. biar saya naik angkot.” Arina menolak halus

“Mau hujan begini angkot susah.” Damar mencoba mendestruksi Arina.

“Nanti kupesan taksi Pak. Bapak pulang saja, anak dan istri menanti di rumah. Arina berpura mengetik di ponsel seolah – olah memesan taksi online, padahal apa, sebisa mungkin Arina naik angkot yang murah untuk menghemat pengeluaran. Banyak yang harus dibiayai tiap bulan, dikirim tiap bulan untuk kebutuhan rumah ibu bapaknya, kebutuhan Davian, kebutuhan dirinya sendiri dan biaya sewa kostnya.

Gaji diperusahaan sekarang bisa menutupi semua kebutuhan Arina itu, makanya dirinya berpikir ulang bila hendak resign, apakah nanti ada perusahaan yang menerimanya dengan gaji sebagus ini. Kalaupun ada yang menerima tentu tak serta merta mendapat gaji yang sebesar sekarang.

“Aku belum menikah Arina,” suara Damar terdengar tegas.

Belum menikah?, lalu wanita pujaanya itu dikemanakan? Bukankah mereka saling mencintai? Apa tetap tak mendapat restu?

‘Ah apa perduliku’, pikir Arina.

“Segera saja bapak mencari nyonya baru agar tak menganggu jodoh orang.” Sindir Arina

“Kamu aja lagi yang jadi nyonya di rumah kita Rin,”

“Maaf mas, aku bukan selera kamu.” Arina sengaja mengganti sebutan pak menjadi mas sambil  berlari menuju halte menghindari gerimis yang mulai turun di awal Januari tahun ini.

“Kita punya Davian kan, ayo kita  jalin kisah kita kembali Rin, saya mohon.”

Arina berbalik lalu tersenyum ke arah Damar Ganendra.

“Davian nggak tahu kalau punya papa Mas, di akte kelahirannya juga Cuma ada namaku sebagai orang tuanya.”

Damar, membuang pandang. Pilu dirasa.

“Rin, biarkan Davian merasakan keluarga yang utuh, punya papa dan mama.”

Rinai hujan mulai mengamuk, memerangkap dua sejoli yang dulu pernah menjadi mempelai dadakan.

“Ada ibu dan bapak yang jagain di rumah, beliau juga orang tua Davian, Mas!”

Mendung semakin gelap diiringi gemuruh yang bertalu di langit yang tak lagi jingga.

“Beri saya kesempatan Arina!” Damar memaksa dengan wajah memelas.

Arina bergeming dengan netra yang mulai berkaca.

“Ayo aku antar pulang angkot enggak akan lewat.” Damar mengulurkan tangan mengajak Arina menuju ke mobil Rush hitam milik pria itu.

Deru angin yang meliukkan dahan – dahan pohon seolah mengamuk, membuat Arina juga takut bila harus menunggu sendiri.

Tanpa menerima uluran tangan Damar, Arina berjalan didepan Damar.

Damar cukup tahu diri.

Luka yang digoreskan tentu begitu dalam hingga membuat Arina menampik kehadiran dan perasaanya begitu kuat.

--

“Mengapa kesini?” Arina tersadar saat Damar menghentikan mobil di depan rumah makan yang menjual ayam lalapan dan sate.

“Kamu belum makan kan,” kita makan dulu baru pulang.

“Bapak saja yang makan, saya di mobil saja.”

“Jangan terlalu keras pada dirimu Arina.” Tegas suara Damar.

“Saya harus, Pak, agar tak diremehkan seperti dulu.” Arina merasa rongga dadanya dipenuhi sebak.

Perasaan Damar terasa tercabik. Merasa dirinya begitu brengsek.

“Hanya makan Rin.”

“Saya biasa makan apa adanya pak, agar anak saya tetap bisa minum susu.” Kristal bening telah jatuh di kedua kelopak mata berbulu lentik itu. Teringat kesusahan dirinya saat hamil dan melahirkan tanpa suami. Ke kota mencari pekerjaan setelah masa nifasnya selesai. Pilu hati Arina.

Netra Damar memerah, ikut menahan tangis, membayangkan wanita di sampingnya ini berjuang demi darah dagingnya agar tetap bisa hidup.

“Kenapa tak mencariku Arina?” suara Damar bergetar.

“Buat apa?, agar dipermalukan sekali lagi? Cukup sekali bapak menginjak harga diri saya di depan kekasih anda.”Getir suara Arina mengucap itu.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          

“Dia darah dagingku Arina, tak mungkin aku menolaknya.” Luruh juga air mata Damar. Sebagai pria dia pun bisa menangis.

“Apa mungkin anda mau menerimanya saat itu?,” Arina masih terisak.

Damar tak lagi menjawab. Cukuplah kebrengsekan dia. Wajar kemarahan Arina tak main – main juga.

Deras hujan tadi telah berubah menjadi gerimis. Hening di luar sana. Hanya menyisakan suara tangis dua insan berstatus mama dan papa dari seorang bocah laki – laki.

Bahkan warung lalapan di seberang pun terlihat sepi.

Damar memutuskan turun dari mobil tanpa mengajak Arina yang masih menyeka air mata. Dipesannya dua bungkus lalapan ayam dan sate. Biarlah dibawa pulang, untuknya dan Arina. Biar Arina makan di kost pikirnya.

Setelahnya dilajukan mobil menuju kost – kostan murah tempat Arina tinggal selama bekerja di kota. Sesekali diliriknya wanita itu yang wajahnya tampak sembab.

Ah keduanya sebenarnya menahan perih yang sama. Ini menyangkut masalah anak dan...perasaan mereka berdua.

“Terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Arina melepas sabuk dan bersiap turun.

“Makanannya dibawa Rin,” Damar mengingatkan.

“Tidak. Terima kasih.” Arina turun lalu menutup pintu tanpa mengambil makanan yang sudah dibungkus tadi.

Gerimis masih turun membuat Arina berlari kecil masuk kedalam kost – kostan itu, menahan lapar sedari tadi. Namun diingatnya masih ada mie instan dan telur di dapur kecilnya.

Damar berlalu menembus pekat malam diiringi gerimis halus saat Arina sudah masuk pagar kost – kostan.

Air mata.lelaki itu kembali jatuh. Terisak. Begini rasanya diaabaikan, sebagaimana dulu mengabaikan perasaan wanita yang sedang mengandung anaknya.

Bersambung...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Juniarth
fix nyesek
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status