Share

Keterlaluan

🏵️🏵️🏵️

Mungkin Mas Bimo tetap memperhatikan sikapku yang fokus melihat layar ponsel walaupun dirinya sedang bermain bersama Bagas. Apa yang akan kukatakan kepadanya? Lebih baik aku hapus pesan yang baru masuk tadi sebelum dia memeriksanya.

Dia tipe suami yang harus tahu semua kegiatan istri. Tidak sedikit teman-temannya mengatakan dirinya terlalu mencintaiku. Terus terus, aku terharu mendengar kenyataan tersebut. Itu artinya, Mas Bimo menikahiku bukan karena harta atau kekayaan orang tuaku, tetapi tulus memilihku sebagai pendamping hidupnya.

Aku juga sengaja tidak mengatakan tentang keluargaku kepada Mas Bimo karena ingin tahu apakah dirinya benar-benar baik atau hanya pura-pura. Ternyata, aku dengan bangga mengatakan kalau dia suami idaman untukku walaupun kadang aku kesal jika mengingat dirinya yang tidak bersedia pindah dari rumah ini.

“Kamu kenapa, Sayang?” Mas Bimo kembali bertanya.

“Nggak apa-apa, Mas.”

“Apa kamu marah karena aku tidak bersedia kita ngontrak?” Itu pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Harusnya dia tahu sejak awal kalau aku ingin keluar dari rumah ini.

“Kalau aku marah, apa kamu akan keluar dari rumah ini bersamaku dan Bagas? Nggak, ‘kan? Aku tahu, alasan kamu pasti itu lagi. Kasihan sama Ibu.” Aku pun mengatakan apa yang harus kukatakan.

“Tolong mengerti posisiku, Sayang.”

“Apa aku kurang ngerti dari dulu?”

“Aku tahu kalau kamu istri yang baik. Makanya aku cinta banget sama kamu.” Mas Bimo selalu saja berhasil membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung karena dicintai. Kami pun tersenyum.

“Dasar gombal.”

“Siapa yang gombal? Itu fakta. Btw, siapa yang chat kamu tadi? Fokus banget lihat HP.” Ternyata dia masih ingat dengan sikapku tadi.

“Salah kirim, Mas. Aku udah hapus.” Aku terpaksa tidak mengatakan yang sebenarnya. Akhirnya, dia pun diam.

Aku tadi memperhatikan nomor si pengirim pesan, sepertinya asing. Aku sangat hafal semua nomor ponsel keluargaku. Baik itu Papa, Mama, Kak Revan, dan Rangga—adik bungsuku. Dulu, Mama selalu kasih aku julukan si jago hafal.

Apa mungkin Andrew? Laki-laki yang Papa jodohkan denganku hingga aku akhirnya berada di kota ini. Tidak! Aku tidak boleh berpikiran terlalu jauh. Mana mungkin dia masih peduli kapadaku. Dia harusnya marah dan kecewa karena aku menolak menikah dengannya.

Arrrggghhh! Kenapa aku bertanya-tanya?

🏵️🏵️🏵️

Siang ini, Bagas sangat rewel karena badannya panas. Aku sudah berusaha menenangkannya agar tidak menangis. Namun, aku sangat tahu kalau dia sedang tidak enak badan, pasti bawaannya menangis dan menangis.

“Bisa jaga anak, nggak? Berisik banget dari tadi! Mau istirahat juga terganggu!” Aku mendengar teriakan ibu mertua dari balik pintu. Saat ini, aku sedang menggendong Bagas di kamar.

“Mungkin karena nggak punya orang tua kali, makanya nggak bisa jaga anak!” Aku kembali mendengar suara keras Ratih. Kenapa gadis itu tidak memiliki sopan santun sama sekali? Padahal, sudah lulus SMA.

“Kualat, tuh, sama Bapak! Menantu, kok, menghina mertua! Itu akibatnya!” Bapak mertua juga turut bersuara.

Aku kadang tidak habis pikir, entah terbuat dari apa hati keluarga Mas Bimo. Aku masih terima jika mereka tidak ingin menyayangi Bagas, tetapi apa mereka juga memiliki hak untuk menghakimi aku dan anakku?

Mereka benar-benar tidak punya hati nurani. Padahal, bapak mertua sangat jarang meninggalkan salat walaupun tidak ke masjid. Aku pikir selama ini, kalau seseorang dekat dengan Sang Pencipta, dirinya tidak akan mudah menyakiti sesamanya.

Akan tetapi, aku menemukan kenyataan yang berbeda di rumah ini. Padahal, orang yang aku kenal rajin beribadah selalu menunjukkan kebaikan dan mereka pantas dijadikan panutan. Aku tidak mengerti apa tujuan bapak mertua melakukan ibadah selama ini.

“Clara! Bagas kenapa?” Bu Dewi mengetuk jendela kamar yang sengaja aku tutup karena kondisi Bagas yang tidak sehat.

Aku pun melangkah lalu membuka benda persegi panjang itu. “Bagas demam, Bu.” Aku memberikan jawaban.

“Udah berobat?” Wanita itu kembali bertanya.

“Tadi saya udah kasih obat yang masih ada dari bidan. Ini panasnya udah mulai turun, tapi nangisnya nggak berhenti.” Aku pun bingung kenapa Bagas kali ini menangis lebih lama dari biasanya.

“Ya udah, kamu siap-siap. Ibu antar ke Bidan Rina. Biasanya Bagas berobat di sana, ‘kan?” Aku sangat terharu melihat perhatian Bu Dewi.

“Iya, Buk.”

“Ibu ambil motor sebentar. Kamu langsung keluar bawa Bagas kalau udah siap.” Wanita itu pun berlalu. Sementara aku langsung menutup jendela lalu bersiap-siap.

Aku sangat bersyukur memiliki tetangga seperti Bu Dewi. Kadang aku berpikir, kenapa orang yang tidak memiliki ikatan darah jauh lebih baik kepadaku daripada keluarga suamiku sendiri. Aku terharu karena dikirimkan orang baik sebagai pengganti orang tua di kota ini.

Tanpa menunggu lama, aku pun sudah bersiap akan keluar menemui Bu Dewi ke teras depan. Namun, baru beberapa langkah dari kamar, tiba-tiba ibu mertua menghentikanku. “Mau ke mana?” tanya wanita itu.

“Mau bawa Bagas berobat,” jawabku.

“Sekali aja kau keluar dari rumah ini, jangan harap bisa kembali lagi. Kau itu istri macam apa? Mau keluar rumah tanpa izin suami?”

🏵️🏵️🏵️

Ibu mertua terlalu sering membanggakan rumah ini kepadaku. Dia seolah-olah berpikir kalau aku tidak akan bisa hidup kalau tidak tinggal di sini. Bisa-bisanya dia melarangku membawa Bagas berobat, padahal sangat jelas dia tahu sejak pagi, cucunya itu demam.

Aku tidak peduli dengan apa yang wanita itu katakan karena yang terpenting bagiku saat ini adalah kesehatan Bagas. Jika nanti setelah kembali dari tempat praktik Bidan Rina, dia tidak memberikan aku izin memasuki rumah ini, itu akan aku jadikan alasan agar kami tinggal terpisah.

Aku ingin lihat, apakah Mas Bimo masih akan tetap bersikeras untuk hidup serumah dengan keluarganya. Namun, entah kenapa aku tidak percaya dengan ucapan ibu mertua. Itu pasti hanya sekadar gertakan supaya aku menuruti keinginannya. Mana mungkin dia berani mengusirku. Itu sama saja, dia juga mengusir anaknya, orang yang memenuhi kebutuhannya.

“Saya nggak masalah jika tidak tinggal lagi di rumah ini, yang penting anak saya sehat.” Aku dengan tegas memberikan jawaban itu kepadanya.

“Kamu dari dulu selalu paling sok, padahal nggak punya apa-apa.” Dia melihatku dengan tatapan tajam.

“Ibu sebagai orang tua yang lebih berpengalaman daripada saya, harusnya lebih tahu kondisi Bagas. Apa Ibu tidak memiliki perasaan sama sekali? Saya keluar rumah, bukan untuk main-main, tapi bawa Bagas berobat.” Kesabaranku telah hilang menghadapi ibu dari suamiku itu. Terserah jika dia menganggapku sebagai menantu yang tidak menurut kepada mertua.

Tanpa mendengar balasan apa pun lagi dari wanita itu, aku segera menghampiri Bu Dewi yang telah menungguku. Aku sambil menggendong Bagas, segera menaiki kendaraan roda dua miliknya lalu kami pun meluncur meninggalkan rumah.

Setelah tiba di tempat praktik Bidan Rina, kami pun duduk menunggu antrean. Untung saja hanya beberapa orang yang menantikan giliran. Jadi, Bagas tidak perlu menunggu lama untuk segera diperiksa. Akhirnya, Bidan Rina pun melakukan pemeriksaan.

“Udah berapa hari demamnya, Bu?” tanyak wanita berpakaian putih itu kepadaku.

“Sejak pagi, Bu. Biasanya kalau udah minum obat dari Bu Bidan, udah enakan. Tapi kali ini, walaupun panasnya udah mulai turun, anak saya tetap nangis.” Aku pun menjelaskan tentang keadaan Bagas sejak pagi tadi kepadanya.

Bidan itu akhirnya mengarahkan alat penerang ke arah mulut Bagas, ada bintik-bintik putih atau luka kecil yang terdapat pada langit-langit. Aku sangat terkejut. Pantas saja dia selalu menangis saat akan minum susu dan makan.

“Ternyata sariawan, Bu. Saya akan kasih obat untuk penurun panas dan penyembuh sariawan. Biasanya, satu atau dua hari, bintik-bintik itu sudah kering.” Bidan Rina memberikan penjelasan lalu meminta asistennya untuk menyiapkan obat yang Bagas butuhkan.

Setelah menyelesaikan administrasi, aku dan Bagas beserta Bu Dewi segera meninggalkan tempat itu. Lima menit dalam perjalanan, kami pun tiba. Bu Dewi memarkirkan motornya di depan rumah mertuaku.

Sungguh, aku sangat terkejut karena pintu dan jendela ditutup. Aku beberapa kali memanggil ibu mertua sambil mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Bu Dewi pun memintaku menunggu kepulangan Mas Bimo dari kantor di rumahnya saja. Aku sangat berterima kasih kepada wanita itu.

🏵️🏵️🏵️

Waktu menunjukkan pukul 17.25 Wib, Mas Bimo akhirnya pulang. Sebelumnya, aku telah mengirimkan pesan kepadanya untuk memberitahukan kalau aku dan Bagas sedang berada di rumah Bu Dewi. Dia pun menghampiri kami terlebih dahulu sebelum masuk rumahnya.

“Bagas gimana, Sayang?” Dia langsung melontarkan pertanyaan setelah aku mencium punggung tangannya.

“Alhamdulillah udah enakan, Mas. Untung tadi Bu Dewi ngantar kami berobat.” Aku melihat ke arah Bu Dewi yang sedang duduk di sofa. Mas Bimo pun langsung mengucapkan terima kasih kepada wanita berhati baik itu lalu kami berpamitan.

Mas Bimo mengetuk pintu rumahnya sambil mengucapkan salam. Tidak menunggu lama, ibu mertua pun membukanya dan langsung menatapku. Entah apa yang wanita itu pikirkan saat ini. Apa mungkin dia kesal karena aku kembali berdiri di depan rumahnya?

“Ibu kenapa tutup pintu sore-sore? Biasanya pintu selalu terbuka saat aku pulang.” Mungkin Mas Bimo merasa heran melihat keadaan rumah yang tidak seperti biasanya.

“Kenapa wanita ini masih berani kembali ke rumah ini?” Ibu mertua langsung menunjuk wajahku.

“Maksud Ibu apa?” Mas Bimo tampak bingung.

“Dia udah berani keluar rumah tanpa izin suaminya.” Aku ingin tersenyum mendengar kalimat yang keluar dari mulut wanita itu.

“Bawa anak berobat, nggak perlu minta izin aku, Buk. Bagas sakit, dan Ibu tahu itu. Untung saja punya tetangga baik. Keluarga sendiri malah nggak peduli.” Aku sangat senang mendengar jawaban dan penjelasan Mas Bimo. Ibu mertua akhirnya memasuki rumah. Sementara aku, Mas Bimo, dan Bagas turut mengikuti.

Aku sangat bangga memiliki suami seperti Mas Bimo hingga detik ini. Semoga dia tetap menjadi pendamping hidup yang bertanggung jawab dan mampu menjaga hati agar tidak terpengaruh dengan hal-hal yang tidak baik.

Tiba-tiba aku dikagetkan Ratih yang keluar dari kamarku dan Mas Bimo. Apa yang dia lakukan di dalam sana? Biasanya kalau aku keluar rumah dalam waktu tidak sebentar, pasti ingat mengunci pintu. Namun, karena tadi mungkin panik saat akan membawa Bagas berobat, aku melupakan kebiasaan itu.

“Ini punya siapa, Kak?” Ratih menunjukkan kalung berlian pemberian Mama saat aku masih SMA dulu. Berani-beraninya gadis itu membuka koperku.

==========

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status