🏵️🏵️🏵️
Aku tidak habis pikir kenapa sifat Mas Bimo dan ketiga saudarinya sangat bertolak belakang. Apa mungkin suamiku itu bukan anak kandung? Bingkai foto yang berjejer di dinding rumah ini saja tidak ada satu pun yang menunjukkan wajah manisnya. Orang tuanya seolah-olah hanya memiliki tiga anak.
Sementara foto Kak Desi dan Kak Mira—kedua kakak iparku, masih terpampang di dinding rumah ini. Apa mungkin aku yang sangat beruntung memilki suami seperti Mas Bimo? Seandainya dia mengikuti jejak orang tua dan saudari-saudarinya, mungkin aku tidak akan bertahan menjadi pendamping hidupnya.
Aku bukan ibu mertua yang terlalu memuja cinta suami yang tidak bertanggung jawab. Wanita itu seolah-olah tidak pernah mengenal laki-laki lain sebelum menikah dengan bapak mertua. Kedua anak perempuannya yang telah menikah, akhirnya mengikuti jejaknya, tetap bertahan dengan suami yang tidak pengertian.
Aku tidak tahu apakah Ratih akan menyusul seperti kedua kakaknya. Namun yang pasti, gadis itu tidak memiliki tata krama sama sekali. Dia berani memasuki kamar kakaknya yang telah menikah dengan mengambil barang yang bukan haknya.
“Kembalikan, Ratih!” Aku pun meminta Mas Bimo menggendong Bagas lalu menghampiri Ratih.
“Barang semahal ini, ada di koper Kakak? Kakak curi dari mana?” Mulut gadis itu benar-benar asal bicara. Dia seenaknya menuduhku mencuri.
“Kakak nggak pernah mencuri, itu pemberian orang tua Kakak.” Aku pun mengatakan yang sebenarnya.
“Orang tua? Kakak lupa nggak punya asal-usul yang jelas? Buktinya, hingga detik ini, orang tua Kakak nggak pernah menunjukkan batang hidungnya. Saat nikah juga, Kakak nggak minta mereka datang.” Ratih memasukkan kalung pemberian Mama ke saku celananya.
“Kamu jangan sok nuduh Kakak pencuri, tapi kenyataannya kamu berani mengambil barang yang bukan milikmu. Kamu lebih dari pencuri.” Aku tidak kuasa menahan amarah melihat tingkah adik iparku itu.
“Jaga mulutmu! Jangan asal nuduh anak saya!” Bapak mertua yang baru datang dari dapur, tiba-tiba membuka suara.
“Saya nggak asal nuduh. Dia mengambil barang yang bukan miliknya, itu artinya mencuri.” Aku tidak biarkan laki-laki itu bersikap sesuka hatinya. Seujung kuku pun, aku tidak ingin menghargainya karena perbuatannya selama ini.
“Dasar menantu tidak tahu diri!” Bapak dari suamiku itu mengangkat tangannya, tetapi Mas Bimo langsung berdiri di depanku.
“Kalau Bapak berani, tampar aku. Jangan pernah sakiti istriku. Bapak sebagai orang tua, harusnya nasehatin anak, bukan membiarkan makin salah jalan. Aku sependapat dengan Clara kalau Ratih memang pencuri.” Bapak mertua pun menurunkan tangannya.
Mas Bimo selalu saja membuatku makin terharu dan bersyukur menjadi pendamping hidupnya. Dia pun menyerahkan Bagas kepadaku lalu melangkah menghampiri Ratih, kemudian meminta kalung berlian kesayanganku.
“Kalau ingin punya barang, kamu kerja. Kenapa kamu nggak berusaha cari kerja? Kamu mau ikutin jejak siapa?”
Aku tahu kalau Mas Bimo pasti menyindir bapaknya. Akhirnya, Ratih pun menyerahkan barang pemberian Mama kepada Mas Bimo. Aku sangat lega sekarang. Harta benda yang kumiliki satu-satunya saat ini, hanya kalung itu. Aku selalu memandanginya ketika merindukan orang tua dan keluargaku.
🏵️🏵️🏵️
Malam ini, aku tidak menyiapkan makan malam seperti biasanya. Aku tidak tahu apa menu yang disajikan ibu mertua untuk suami dan anaknya. Aku sengaja tetap di kamar karena masih tidak percaya ketika melihat kalung pemberian Mama berada di tangan Ratih tadi.
“Kamu kenapa, Sayang? Kok, diam aja?” Mas Bimo juga tidak ikut makan bersama keluarganya karena mengaku sangat kecewa melihat sikap Ratih.
“Nggak apa-apa, Mas.”
“Mata kamu nggak bisa bohongin aku. Kamu mikirin apa? Bagas udah enakan dan sekarang tidur nyenyak. Apa lagi yang kamu pikirkan?” Dia menggenggam jemariku. Saat ini, kami duduk di tempat tidur.
“Aku sedih, Mas.” Aku tidak kuasa menahan air mata agar tidak jatuh dari tempatnya. Aku pun membenamkan wajah ke dada Mas Bimo.
“Loh … kok, nangis? Mana istriku yang tegar? Sebenarnya, ada apa, Sayang? Kamu boleh cerita sepuasnya.” Mas Bimo mengangkat kepalaku dari dadanya hingga kini berhadapan sejajar dengan wajahnya.
“Kenapa keluargamu sangat membenciku, Mas? Apa salahku?” Untuk kesekian kali, aku melontarkan pertanyaan itu kepada Mas Bimo.
“Mungkin mereka iri karena aku terlalu mencintaimu.” Selalu itu saja jawaban yang Mas Bimo berikan.
“Apa karena di mata mereka, aku bukan siapa-siapa dan nggak punya apa-apa?” Aku bertanya seperti itu karena mertua sering menganggapku miskin dan beruntung tinggal di rumah mertua.
“Siapa bilang kamu bukan siapa-siapa? Kamu segalanya bagiku. Kamu punya sesuatu yang membuatku menjadikanmu pendamping hidupku.” Mas Bimo pun mengusap air mataku.
Seandainya Papa bersedia memberikan maaf kepadaku, mungkin sekarang, aku akan memilih keluar dari rumah ini. Aku berusaha kuat dan tegar mendengar hinaan keluarga Mas Bimo karena merasa tidak memiliki siapa-siapa.
Beberapa kali aku menghubungi Papa dan Mama melalui telepon untuk meminta maaf, tetapi penolakan yang selalu aku terima. Aku bahkan dengan semangat menceritakan tentang kehadiran Bagas kepada mereka. Namun, hati kedua orang tua itu seolah-olah masih tetap tertutup.
“Sayang, aku boleh nanya sesuatu?” Mas Bimo kembali membuka suara. Dia memegang kedua pipiku.
“Mau nanya apa, Mas?”
“Sejak kapan kamu memiliki kalung berlian mahal yang tadi Ratih ambil dari kopermu?”
==========
🏵️🏵️🏵️ Aku pikir Mas Bimo telah melupakan tentang kalung berlian tadi sore. Ternyata dugaanku salah. Apa yang harus aku katakan kepadanya? Waktunya belum tepat untuk mengetahui statusku yang sebenarnya. Aku masih ingin melihat sejauh mana kesetiaan dan tanggung jawabnya. Aku beberapa kali melihat acara di televisi tentang suami yang tampak sangat romantis di depan istrinya. Namun kenyataannya, tetap bermain api di belakang. Aku tidak bermaksud untuk mencurigai Mas Bimo. Aku hanya ingin tetap waspada. Lagi pun, usia pernikahan kami baru seumur jagung. Aku juga masih menunggu maaf dari orang tua dan keluargaku. Aku tidak ingin Mas Bimo tahu siapa aku sebenarnya saat ini. Walaupun dia selalu menunjukkan perhatian dan rasa peduli, juga pembelaan terhadap diriku, tetapi dia kadang membuatku kesal. Dia tidak memenuhi keinginanku untuk keluar dari rumah ini. Awal kami menikah, aku sempat berpikir kalau Mas Bimo tidak ingin melihatku bahagia. Dia tahu kalau keluarganya sangat membenciku
🏵️🏵️🏵️ Terus terang, walaupun ibu mertua sering melukai perasaanku, tetapi aku tidak ingin melihatnya berdebat atau adu mulut dengan Bu Dewi hanya karena hal sepele. Aku pun langsung meraih Bagas lalu memberikan isyarat kepada tetanggaku itu agar menjauh. Akhirnya, Bu Dewi pun memilih berpamitan kepadaku lalu pulang, begitu juga dengan Mbak Rere dan anaknya. Sementara ibu mertua masih saja menunjukkan kekesalannya. Aku pun memilih memasuki rumah daripada mendengar ocehannya yang tidak tahu ujungnya. Aku langsung menuju ruang TV untuk menyaksikan siaran yang bisa menghibur hati. Kebetulan juga, bapak mertua sedang tidak di rumah. Biasanya, dia yang menguasai ruangan ini dengan asap rokoknya yang sering membuatku pusing. Sejak kecil, aku alergi mencium asap rokok. Dampaknya bisa membuatku sesak dan sakit kepala hingga mual. Sepertinya, Allah telah mengatur Mas Bimo untuk berjodoh denganku karena dia bukan pria pada umumnya yang gemar mengonsumsi barang bulat panjang itu. Mas Bimo
🏵️🏵️🏵️ “Iya, Buk, masuk aja.” Mas Bimo mempersilakan wanita itu masuk. “Ibu mau minta tolong sama kamu.” Ibu mertua langsung duduk di samping anaknya. “Minta tolong apa, Buk?” “Ibu kasihan lihat Kakak kamu.” “Memangnya ada apa, Buk?” “Kak Mira sekarang lagi kesusahan. Untuk makan aja kadang bingung harus cari duit dari mana.” Wanita itu selalu saja sangat menunjukkan perhatiannya terhadap anak perempuannya walaupun telah memiliki keluarga. “Jadi, maksud Ibu gimana?” tanya Mas Bimo. “Bantulah keponakan kamu untuk beli beras.” “Kan, ada Mas Fajar, Buk.” “Fajar sekarang nggak bisa diharapkan.” “Kenapa jadi Ibu yang bingung? Kak Mira, kan, udah punya keluarga. Suaminya harusnya usaha untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya.” Sepertinya Mas Bimo tidak setuju dengan sikap ibunya yang terlalu mencampuri rumah tangga Kak Mira. “Jangan pelit sama kakak sendiri. Tuh, istri kamu pegang duit banyak.” Ibu mertua melihat uang dalam genggamanku yang belum sempat aku simpan. 🏵️🏵️?
🏵️🏵️🏵️ “Mau nambah, Sayang?” tanya Mas Bimo. Dia berhasil membuyarkan lamunanku. “Nggak, dong, Mas. Ini aja udah kenyang banget.” Aku pun menyeruput air lemon kesukaanku. “Oh, ya, Mas … jangan lupa bungkusin untuk Bapak, Ibu, dan Ratih.” Aku tidak ingin dianggap sebagai menantu yang lupa keluarga suami ketika sedang makan di luar. “Lain kali aja, Sayang. Sekarang timing-nya lagi nggak pas. Kamu tahu sendiri tadi sikap Ibu. Bisa-bisa nanti makanan yang kita bawa, nggak dimakan. Aku udah hafal banget sifat Ibu.” Mas Bimo justru memberikan penjelasan panjang lebar dan tidak bersedia membeli makanan untuk orang tua dan adiknya. “Ya udah, terserah kamu aja.” Aku tidak ingin berdebat. Lagi pun, Mas Bimo pasti lebih tahu sifat keluarganya. Kami pun segera keluar dari tempat makan tersebut menuju parkiran. Ternyata Bagas sudah tidur di pangkuan Mas Bimo sejak tadi. Aku pun menggendongnya lalu menaiki kendaraan roda dua milik Mas Bimo, kemudian mulai membelah jalanan. Sepuluh menit kem
🏵️🏵️🏵️ Malam ini setelah selesai makan bersama, Mas Bimo meminta kedua orang tuanya, juga adiknya agar tetap duduk. Dia mengaku ingin menyampaikan hal yang sangat penting. Aku sangat tahu, apa yang akan dia sampaikan. Kami akan segera meninggalkan rumah ini. “Ada apa?” tanya Bapak mertua dengan nada ketus. Sepertinya dia tidak memiliki rasa malu, padahal baru saja menikmati makanan dari hasil jerih payah anaknya. Untuk bicara saja, tidak bisa lebih lembut. “Besok sore, kami akan pindah dari rumah ini.” Mas Bimo pun langsung menyampaikan niatnya tanpa basa-basi. “Apa? Kamu nggak sayang lagi sama keluargamu?” Ibu mertua membuka suara. “Seorang anak pasti akan tetap menyayangi orang tuanya. Tapi, aku beserta istri dan anakku ingin hidup mandiri. Sampai kapan kami akan tetap tinggal di rumah ini?” Mas Bimo memberikan jawaban dengan bijak. “Bagaimana dengan hidup kami?” Ibu mertua menunjukkan wajah teduh. Aku ingin tertawa melihat aktingnya. “Ibu tenang aja, jatah yang biasa Ibu t
🏵️🏵️🏵️ Aku juga ingin membuktikan kepada Papa dan Mama kalau aku tidak salah memilih pendamping hidup. Walaupun Mas Bimo tidak memiliki kekayaan seperti yang orang tuaku harapkan, tetapi dia mampu memberiku kebahagiaan dengan cinta tulusnya. Aku sangat berharap agar Mas Bimo tidak berubah supaya aku berani dan bangga mengakui dirinya yang terbaik di depan Papa dan Mama nanti. Jika sampai dia terpengaruh dengan maraknya pengkhianatan di luar sana, aku akan bertindak tegas atau mungkin pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya, aku tidak ingin berpikir terlalu jauh karena saat aku dan Mas Bimo baru resmi menjadi suami istri, kami telah berjanji dan bersumpah untuk saling setia hingga maut memisahkan. Aku juga tidak memiliki niat sedikit pun untuk menggantikan posisi Mas Bimo dengan lelaki mana pun. “Kalau kamu sampai berkhianat, kita cerai,” ucapku kala itu. “Aku nggak pernah memikirkan hal itu sedikit pun. Hanya kamu yang kucintai.” Dia meyakinkanku. Aku tetap percaya dengan cint
🏵️🏵️🏵️ Mas Bimo tidak boleh tahu tentang ini. Aku harus segera memblokir nomor Andrew. Jangan sampai statusku terbongkar sekarang. Lagi pun, aku tidak mau bertemu dengan laki-laki itu. Walaupun dulu, dia tidak marah waktu aku menolak perjodohan kami, tetapi aku harus tetap waspada. Aku sangat tahu kalau Andrew mencintaiku sebelum perjodohan itu diputuskan. Namun, entah kenapa aku tetap tidak memiliki perasaan lebih untuknya. Aku bahkan pernah memintanya menikah dengan Flora—sahabatku, yang telah lama mencintainya. Akan tetapi, Andrew justru menolak Flora dengan kasar karena dia mengaku hanya mencintaiku. Sejak kejadian itu, persahabatanku dengan Flora akhirnya renggang. Dia menganggapku tidak serius menyatukan dirinya dengan Andrew. Arrrggghhh! Kenapa aku harus memikirkan masa lalu setelah tiba di rumah ini? Padahal, aku berharap akan menemukan ketenangan setelah tinggal terpisah dengan keluarga Mas Bimo. Namun kenyataannya sekarang, aku justru menghadapi masalah baru. Mungkin
🏵️🏵️🏵️ “Besok, kan, bisa aku tanyain, Mas.” Aku tetap berusaha agar Mas Bimo tidak bersikeras memintaku mencari tahu nomor yang menelepon. “Ya udah, terserah kamu aja. Kita istirahat sekarang.” Kami pun merebahkan tubuh. Seperti biasa, dia selalu memelukku dari belakang. “Oh, ya, Sayang … aku boleh nanya?” Ya ampun, apa lagi yang akan dia tanyakan? “Harus sekarang, ya, Mas? Kamu, kan, capek hari ini. Besok juga harus kerja.” Aku berharap agar Mas Bimo mengurungkan niatnya untuk bertanya. “Aku belum ngantuk. Aku masih pengen ngobrol.” Ternyata usahaku seolah-olah sia-sia. “Kamu mau nanya apa, Mas?” Aku pun pasrah. “Sejak kapan kamu punya kalung berlian yang ada di koper kamu? Tadi aku nggak sengaja lihat lagi. Sepertinya harganya nggak murah. Itu barang mewah.” Ternyata walaupun kami telah pindah dari rumah mertua, Mas Bimo tetap masih melontarkan pertanyaan yang sama tentang kalung berlian prmberian Mama. Sepertinya aku lebih baik memberitahukan kapan menerima kalung itu. Sem