Terima kasih udah mampir. 💛
🏵️🏵️🏵️ Aku juga ingin membuktikan kepada Papa dan Mama kalau aku tidak salah memilih pendamping hidup. Walaupun Mas Bimo tidak memiliki kekayaan seperti yang orang tuaku harapkan, tetapi dia mampu memberiku kebahagiaan dengan cinta tulusnya. Aku sangat berharap agar Mas Bimo tidak berubah supaya aku berani dan bangga mengakui dirinya yang terbaik di depan Papa dan Mama nanti. Jika sampai dia terpengaruh dengan maraknya pengkhianatan di luar sana, aku akan bertindak tegas atau mungkin pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya, aku tidak ingin berpikir terlalu jauh karena saat aku dan Mas Bimo baru resmi menjadi suami istri, kami telah berjanji dan bersumpah untuk saling setia hingga maut memisahkan. Aku juga tidak memiliki niat sedikit pun untuk menggantikan posisi Mas Bimo dengan lelaki mana pun. “Kalau kamu sampai berkhianat, kita cerai,” ucapku kala itu. “Aku nggak pernah memikirkan hal itu sedikit pun. Hanya kamu yang kucintai.” Dia meyakinkanku. Aku tetap percaya dengan cint
🏵️🏵️🏵️ Mas Bimo tidak boleh tahu tentang ini. Aku harus segera memblokir nomor Andrew. Jangan sampai statusku terbongkar sekarang. Lagi pun, aku tidak mau bertemu dengan laki-laki itu. Walaupun dulu, dia tidak marah waktu aku menolak perjodohan kami, tetapi aku harus tetap waspada. Aku sangat tahu kalau Andrew mencintaiku sebelum perjodohan itu diputuskan. Namun, entah kenapa aku tetap tidak memiliki perasaan lebih untuknya. Aku bahkan pernah memintanya menikah dengan Flora—sahabatku, yang telah lama mencintainya. Akan tetapi, Andrew justru menolak Flora dengan kasar karena dia mengaku hanya mencintaiku. Sejak kejadian itu, persahabatanku dengan Flora akhirnya renggang. Dia menganggapku tidak serius menyatukan dirinya dengan Andrew. Arrrggghhh! Kenapa aku harus memikirkan masa lalu setelah tiba di rumah ini? Padahal, aku berharap akan menemukan ketenangan setelah tinggal terpisah dengan keluarga Mas Bimo. Namun kenyataannya sekarang, aku justru menghadapi masalah baru. Mungkin
🏵️🏵️🏵️ “Besok, kan, bisa aku tanyain, Mas.” Aku tetap berusaha agar Mas Bimo tidak bersikeras memintaku mencari tahu nomor yang menelepon. “Ya udah, terserah kamu aja. Kita istirahat sekarang.” Kami pun merebahkan tubuh. Seperti biasa, dia selalu memelukku dari belakang. “Oh, ya, Sayang … aku boleh nanya?” Ya ampun, apa lagi yang akan dia tanyakan? “Harus sekarang, ya, Mas? Kamu, kan, capek hari ini. Besok juga harus kerja.” Aku berharap agar Mas Bimo mengurungkan niatnya untuk bertanya. “Aku belum ngantuk. Aku masih pengen ngobrol.” Ternyata usahaku seolah-olah sia-sia. “Kamu mau nanya apa, Mas?” Aku pun pasrah. “Sejak kapan kamu punya kalung berlian yang ada di koper kamu? Tadi aku nggak sengaja lihat lagi. Sepertinya harganya nggak murah. Itu barang mewah.” Ternyata walaupun kami telah pindah dari rumah mertua, Mas Bimo tetap masih melontarkan pertanyaan yang sama tentang kalung berlian prmberian Mama. Sepertinya aku lebih baik memberitahukan kapan menerima kalung itu. Sem
🏵️🏵️🏵️ Tidak terasa waktu berlalu sangat cepat. Hari ini, kami telah seminggu tinggal di rumah ini. Aku baru ingat kalau rencana untuk membentuk grup tetangga lama, belum aku sampaikan kepada Bu Dewi. Aku juga ingin tahu kabar keluarga Mas Bimo. Aku segera meraih ponsel untuk menghubungi Bu Dewi. Ternyata ada pesan masuk dari Andrew. Laki-laki itu seolah-olah pantang menyerah untuk mengetahui info tentangku. Beberapa nomornya telah aku blokir, tetapi dia masih tetap bersikeras menggantinya dengan nomor lain hingga membuatku lelah. Nomor dia yang sekarang, tidak aku blokir lagi, tetapi tetap tidak aku simpan ke daftar kontak. Aku takut jika Mas Bimo melihat namanya nanti. Dia mengaku telah kembali ke Samarinda. Namun, dalam waktu dekat ini, dia akan berkunjung lagi ke kota ini. [Tolong temui aku nanti setelah aku tiba di Palembang.] Aku tidak memberikan respons, hanya membacanya saja. Aku malas berdebat dengan laki-laki yang gagal jadi jodohku itu. Entah kenapa dia masih menghub
🏵️🏵️🏵️ Tadi aku lagi dengar musik di HP, Mas.” Aku terpaksa tidak mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak tahu kalau aku sedang memikirkan dirinya, tetapi bukan dalam hal positif. “Aku buatin teh dulu, ya, Mas.” Mas Bimo langsung duduk di samping Bagas yang sedang asyik dengan mainannya. Sementara aku langsung menuju dapur untuk menyiapkan secangkir teh seperti biasanya. Aku tidak ingin menunjukkan perubahan sikap di depan Mas Bimo. Apa yang kupikirkan tentang dirinya mungkin tidak benar. Aku harus berusaha percaya kepadanya seperti yang kurasakan selama ini. Tidak mungkin dia tega mengkhianatiku. “Ini, Mas, minum dulu.” Aku memberikan teh yang telaha kusuguhkan kepada Mas Bimo. “Terima kasih, Sayang.” Dia pun memintaku duduk di sampingnya. “Aku mau ngomong sesuatu. Sebenarnya dari dua hari yang lalu aku mau ngomong, tapi lupa mulu kalau udah asyik ngobrol sama kamu.” “Ada apa, Mas?” tanyaku penasaran. “Dua hari yang lalu, aku ngantar Cinta pulang karena tunangannya nggak bisa
🏵️🏵️🏵️ Aku bingung kenapa langsung memberikan tuduhan yang belum pasti kebenarannya terhadap Mas Bimo. Mungkin karena aku kesal membaca komentar di postinganku tadi. Kenapa akun yang tidak aku kenal itu berani memberikan pernyataan yang menyakitkan? Istri mana yang akan sanggup jika suaminya berkhianat? Walaupun aku belum tahu pasti apakah Mas Bimo bermain api atau tidak, tetapi aku sangat sedih melihat sikapnya malam ini. Aku berusaha untuk berpikir positif kalau dia kelelahan dalam pekerjaannya. Namun, aku ragu setelah membaca komentar di postinganku. Jika dia tidak terima kalau aku menganggapnya sama seperti kedua orang tuanya, aku akan menjelaskan apa yang Bu Dewi sampaikan. Mas Bimo harus tahu apa yang ibunya lakukan bersama laki-laki lain di luar sana. “Tuduhan apa ini, Sayang? Kamu menuduhku tukang selingkuh seperti orang tuaku? Apa maksudnya? Siapa yang selingkuh?” Dia memegang kedua lenganku. Posisi kami sekarang duduk berhadapan. “Walaupun orang tuamu selingkuh, janga
🏵️🏵️🏵️ Mungkinkah Mas Bimo akan mengikuti jejak orang tua dan saudari-saudarinya yang tidak memiliki perasaan dan hati nurani? Apakah penilaianku terhadap dia selama ini akan berubah? Apakah aku akan tetap bertahan hidup dengannya setelah mengetahui ibunya yang mencoreng nama keluarga? Kalaupun bapak mertua tidak merasa keberatan dengan perbuatan istrinya, Mas Bimo dan ketiga saudarinya harusnya bertindak dan bersikap tegas. Apa mereka tidak peduli dengan yang ibu mertua lakukan? Kak Desi dan Kak Mira harusnya mengingatkan ibu mereka. Apa mereka tidak takut atau malu jika mertua dan suami mereka mengetahui kebenaran tentang wanita yang telah melahirkan mereka? Aku tidak sanggup membayangkannya. “Apa tanggapan kamu, Mas?” tanyaku kepada Mas Bimo. “Aku ingin marah sama Ibu, tapi sayang, kami belum ketemu.” Aku sedikit lega mendengar jawaban Mas Bimo. Ternyata pemikirannya berbeda dengan keluarganya. “Syukurlah kalau ternyata kamu tidak sama dengan mereka.” “Aku nggak mungkin di
🏵️🏵️🏵️ Waktu menunjukkan pukul 19.05 Wib, tetapi Mas Bimo belum juga menunjukkan batang hidungnya di rumah. Aku tadi mencoba menghubunginya, tetapi tidak ada respons. Aku benar-benar khawatir karena saat keluar rumah tadi, dia tampak bingung. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa sebaiknya aku menghubungi Ratih? Apakah dia bersedia mengangkat telepon dariku? Sebelumnya,dia tidak pernah memberikan respons jika aku meminta tolong kepadanya. Entah sedalam apa kebencian gadis itu terhadapku. Akan tetapi, aku makin tidak bisa berbuat apa-apa jika masih belum mengetahui keadaan Mas Bimo. Aku lebih baik mengirimkan pesan kepada Ratih. Semoga pintu hatinya terbuka untuk memberikan balasan. [Rat, Mas Bimo ada di sana, nggak?] Isi pesanku kepada Ratih. Ternyata langsung centang dua warna biru. Dia sedang online. [Iya.] Aku sangat lega mendapat balasan darinya. Aku juga sangat bersyukur karena ternyata Mas Bimo sedang berada di rumah orangtuanya. [Ibu gimana? Baik-baik aja, ‘kan?] Aku ingin t