Sesuai janjiku kemarin pada Riris yang akan membawanya bertemu dengan seseorang. Sengaja hari ini aku meriasnya. Memakai baju yang kuanggap paling layak, mengikat rambutnya yang sedikit bergelombang.
"Cantik!" gumamku melihat dia dari pantulan kaca. Memang Riris begitu berbeda, memiliki mata coklat dan kulit putih layaknya blasteran. Itulah yang kadang membuat orang Kepo, tentang siapa ayah dari Riris. Sedangkan aku sendiri berambut lurus dan kulit kuning langsat. "Kita mau kemana, Bu?" tanyanya masih polos seperti biasa. "Sekedar jalan-jalan, Nak. Kamu siap kan?" dia menganguk dan tersenyum. Aku beralasan pada Mas Azmi pergi kerumah teman lama yang sudah tak pernah berjumpa. Tentunya dengan berbohong bahwa dia akan memberiku pinjaman uang. Kalau masalah uang, Mas Azmi tak akan melarangku. Keluarga ini benar-benar aneh, suka sekali kalau berurusan dengan hutang piutang walau akhirnya harus ribut dengan masalah pembayarannya yang tak kunjung menentu. Aneh! Tapi, aku mencoba saja untuk mengikuti arus walau akhirnya aku sendiri yang menjadi korban melunasi hutang mereka. "Kamu siap! Ayuk.... " ajakku langsung mengandeng tangannya. Mungkin butuh waktu tiga seperempat jam untuk sampai ke alamat yang tertera di koran itu. Sepanjang perjalanan tak henti Riris bercerita, memang aku jarang sekali mengajaknya pergi jauh. Sebab itulah hari ini Riris terlihat girang. Melihat kota dari jarak dekat dan melewatinya penuh suka cita. "Kamu senang sayang?" tanyaku padanya. Dia mengangguk dengan senyum mengembang. Mungkin kamu akan lebih senang jika sudah sampai, Nak! Dalam hati aku berucap. Sampai sudah pada jalan yang tertera, aku membacanya pada koran dan mencocokannya. Benar ini jalannya, tinggal cari rumahnya! Terik matahari menyengat tapi tak menyurutkan lincahnya Riris untuk berjalan. "Blok B2 no.57, ini rumahnya!" kuamati dari gerbang rumah besar namun dengan minimalis kuno. Dari luar hanya dapat terlihat separuh karena tertutup pagar. "Permisi, Pak!" tanyaku melongok pada gerbang. Seorang kakek datang menghampiriku dan membuka separu gerbang itu. "Ada apa ya, Mbak?" tanyanya. "Saya mau bertemu dengan bapak Antareja, apa benar ini rumahnya?" "Iya, betul!" aku tersenyum senang "Tapi... Beliau tak ada dirumah." "Terus dimana, Pak. Kapan beliau pulang?" "Aduh, Mbak. Sudah lama beliau pindah ke Belanda." Seraut wajah kecewa, sungguh aku merasa kecewa dan sia-sia. "sejak kapan, Pak, beliau pindah?" "Sudah cukup lama, Mbak. Sekitar tujuh sampai delapan tahunan dan rumah ini dibiarkan kosong. Saya dan istri sayalah yang menjaganya." "Begitu ya, Pak. Terima kasih. Saya pamit dulu!" "Iya... " jawaban Kakek itu sambil terus menatap Riris. Berkali-kali aku memergoki dia memandang Riris dengan seksama. Kami berjalan pulang, Riris diam tak banyak berkata tapi masih tetap ceria. Beberapa meter meninggalkan rumah itu. Kakek tadi berteriak memangil dengan setengah berlari. "Mbak... Mbak... tunggu!" Aku menoleh dan berhenti, "Iya, Pak, ada apa?" "Kalau, Mbak, benar ada kepentingan dengan Pak Antareja, Mbak bisa bertemu saat tanggal 20 september. Beliau akan pulang untuk Ziarah kemakam anak dan menantunya." Aku mengkerutkan kening, 'Berarti setengah bulan dari sekarang, karena ini tanggal 5 september.' "Beliau memang biasa pulang setiap tanggal itu, karena ditanggal itulah hari naas bagi keluarga beliau. Menantu dan anaknya meninggal. Beliau pulang paling lama dua hari." Aku menganguk mengerti dan pamit undur diri, berjanji akan kembali kesini ditanggal itu. "Bu, kalau tanggal 20 September itu artinya pas hari ulang tahunku kan?" celoteh Riris mengejutkanku. Deg! Aku baru ingat jika aku memang menandai hari dimana aku menemukan Riris sebagai hari lahirnya. Namun tentang anaknya Antareja yang meninggal dihari itu maksudnya apa? Banyak teka teki yang harus aku pecahkan. Semoga secepatnya bisa aku temukan. Kamu sabar ya, Nak! Kuusap rambut lembutnya. "Bagaimana, Sah! Dapet tuh pinjaman?" tanya Ibu Mertua begitu melihatku sampai. Aku mengeleng kepala lemah. "Sudah kuduga! Lagian kamu bawa anak si@lan itu! Dia itu penghalang rejeki buat keluarga ini tahu!" kata-kata pedas itu langsung tertuju pada Riris. Beruntung dia masih polos dan tak terlalu mengerti tentang apa yang baru saja dikatakannya. "Jangan hubungkan ini dengan Riris, Bu! Sama sekali bukan dia penyebabnya." "Bela terruusss...!" Ibu Mertua mencebik sambil berlalu masuk kedalam. "Anak pembawa si@l itu apa si, Bu?" tanya Riris polos. Aku sejenak memandangnya. Kemudian membawanya masuk. "Kenapa kamu tanya seperti itu? Tugas Riris sekolah tak perlu memikirkan kata-kata itu." "Tapi Riris penasaran, Bu. Teman-teman Riris bilang begitu. Katanya Ibunya yang ngomong." Hatiku mencelos, ada segores luka pada hati ini. Entah kenapa mereka menghakimi anak yang tak tahu apa-apa. Jika mereka pikir Riris anak diluar nikah, bukan salahnya tapi salah orangtuanya yang berbuat. Kita tak pernah bisa memilih dari rahim mana kita dilahirkan! "Bu...!" Riris kembali membuyarkan lamunanku, seketika kupalingkan wajah ini karena tetes air jernih meluncur begitu saja dari mataku. "Iya, Sayang. Berjanjilah pada Ibu, bahwa kamu tak akan mendengarkan apa kata mereka. Riris punya Ibu, yang menyayangi Riris sampai kapanpun. Bagi Ibu, Riris adalah sebuah anugerah." kukecup lembut keningnya. Dia mengangguk, kemudian pamit untuk bermain keluar bersama teman-temannya. Aku sendiri memilih masuk, membersihkan diri dari debu dan keringat yang menempel. Setelahnya membuat pesanan kue yang biasa aku tekuni. Yah... Itulah mata pencaharianku sekarang, walau hasilnya tak besar tapi setidaknya dapat membantu perekonomian suamiku yang hanya bekerja sebagai security di perumahan. [Mbak, Aku pesan jajanan tok 200 dengan lima isi ya, untuk hari kamis.] WA dari Bu RT baru saja kubaca. "Alhamdulillah... " gumamku, seraya membalas WA Bu RT bahwa aku menerimanya. Terima kasih atas rejeki yang terus mengalir ini. "Assalamualaikum... " dari luar terdengar suara salam. Aku yang sedang bergelut dengan tepung menghentikan aktifitas. "Waalaikumsalam." ternyata Ibu dan Mbak Ratih sudah dulu disana. Aku hanya melihat siapa yang datang. Ternyata Bu Ijah yang datang, dia pedagang kreditan baju-baju dan tentunya Ibu dan Mbak Ratih lah pelanggannya. "Aduhh... Bu Ijah, minggu ini aku pre ya?" ucap Ibu Mertua. Maksud pre itu tidak bisa setoran. "Owalah, Bu... Kemarin baru aja Pre. Sekarang pre lagi. Gimana dong, ngga bisa kaya gini. Aku bisa bangrut kalo keseringan pre." terlihat raut wajah kecewa pada Bu Ijah. "Ini, Bu. Aku cuma ada 20 ribu." Kali ini Mbak Ratih menyodorkan uangnya. "Lah kok cuma dua puluh. Ngga ada separoh sama sekali. Angsurannya kan 70 ribu!" Aku mulai jengah mendengarkan mereka, berniat membalik badan dan meninggalkan ruang tamu. "Aisyah... Tunggu!" aku berhenti untuk melangkah. "Iya, Bu Ijah. Ada apa ya?" tanyaku. "Ini loh, gamis bagus-bagus sekali. Kamu ngga minat?" "Maaf, Bu. Bajuku masih banyak. Lagian jarang pergi juga, mubazir kalo ngga kepake. Permisi!" segera aku akan melangkah pergi. "Eh... Ini ada baju bagus-bagus juga buat Riris. Pasti cantik kalau dia memakai baju ini." dijembrengnya baju putih berenda. Sekilas aku melihatnya, sepertinya memang benar pas untuk Riris. Pasti terlihat sangat cantik jika mengenakannya. Aku melangkah mendekat untuk melihat lebih detail tapi.... "Tak perlu tawarkan dia baju-baju mahal seperti ini! Buang uang anakku saja!" Ibu Mertua langsung merebut baju itu dari tangan Bu Ijah sebelum aku mengapainya. "Iya, lagian bikin tambah nglunjak aja! Apa-apa dia belikan untuknya sedangkan dia itu siapa? Bikin Azmi kere aja!" kali ini Mbak Ratih menimpali, Bu Ijah hanya mengelengkan kepala. Akupun urung untuk melihatnya, kembali ingin masuk kedapur menyelesaikan acara membuat pesanan kue orang. "Ampun, Pak! Ampun... " belum sampai dapur aku sudah dikejutkan oleh suara tangisan Riris. Kenapa dia? Terlihat dari jauh Mas Azmi tengah menjewer telinga Riris dan menariknya untuk masuk kedalam rumah. Aku tergoboh berlari untuk menolongnya. Apa yang dia lakukan hingga Mas Azmi tega memperlakukan seperti itu? ===!!!===Aku terpaku pada sosok yang tergeletak di atas tempat tidur umum rumah sakit. Dada ini bergemuruh, antara benci marah dan trauma juga jijik. Jijik jika ingat tubuh ini selalu ia gauli dengan bengis."Kamu!" kali ini tanganku yang tengah memegang gunting mengeras. Siap mengangkat benda tajam itu dan menghujam ke hati. Orang tak punya hati nurani lebih baik kuambil hatinya. Percuma punya hati namun tak berfungsi."Aisyah! Aaaa ... " tiba-tiba manusia biadab itu bangun dan kaget. Hingga ia berteriak.Saat gunting sudah sampai pada ujung tertinggi aku ayunkan, tiba-tiba tanganku diraih paksa."Lepaskan!" rintihku."Keluar dari jasad Aisyah, Bel!" kali ini Mas Yusuf berkata sambil memlintir tanganku."Lepaskan! Aku sangat tak suka dengan manusia jenis sepertinya!"Kulihat manusia biadab itu sudah kembali memejamkan mata. Apa dia pingsan ketika melihatku ingin membunuhnya."Keluar atau aku keluarkan!" Mas Yusuf kembali dengan tegas berkata."Innalilahi wainnailahi roji'un ... " seorang dokt
Sepanjang jalan pikiranku kalut, apa yang terjadi pada Mas Yusuf, kenapa dia sampai dirumah sakit? Berbagai pertanyaan bergelut dalam otakku. Kakek juga terlihat panik.Sampai dilobi rumah sakit aku segera berjalan ke IGD sesuai apa yang disampaikan oleh Mas Yusuf. Langkahku sedikit tergesa karena jujur aku sangat panik. Mungkin akan kembali tenang setelah melihat keadaanya.Didepan IGD tepat saat dokter keluar, aku langsung menghampirinya."Bagaimana keadaan Mas Yusuf, Dok?" tanyaku langsung. Dokter tak menjawab hanya terlihat sedikit bingung. Kemudian tak lama ada seorang memanggilku."Aisyah, Kakek!" aku langsung membalikan badan dan menghadap kearah sumber suara."Mas Yusuf!" Mas Yusuf menghampiri kami dengan sedikit memegangi perut, wajahnya nampak beberapa luka lebam jalanpun tertatih. Aku heran jika Mas Yusuf disini terus siapa didalam?"Kamu ngga papa, Mas?" tanyaku yang langsung menubruknya karena dia berjalan sedikit oleng. "Bagaimana kondisinya, Dok?" kali ini Mas Yusuf be
Kuusap kedua netra mataku yang basah, berucap istighfar agar diberi ketenangan hati."Astagfirullah!" Kembali kutatap Mas Yusuf. Dia masih pada posisinya. Aku bingung harus bagaimana."Mas!" Kucoba memegang pundaknya. Tanpa respon."Mas!" Kali ini nada suaraku sedikit kutinggikan."Eh iya, Syah," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Tangannya sibuk mengusap matanya. Dia menangiskah?"Mas kenapa? Apa kecewa dengan masa laluku?" tanyaku hati-hati.Tanpa menjawab dia justru tersenyum,"jangan berfikir begitu, setiap manusia memiliki masa lalu. Justru Mas sangat sedih dan terpukul dengan nasib yang menimpamu, Syah. Sekarang yang terpenting jangan sampai masa lalu itu terulang ataupun justru kembali mengusik kehidupanmu yang sekarang. Kamu sembuh dari traumatis cukup lama jadi Mas tak ingin kamu kembali pada keadaan dulu!" Mas Yusuf mengusap lembut kepalaku.Aku tersenyum, dalam hati bersyukur bisa bersama orang yang nyatanya mengerti tentang perasaan dan kondisiku. Semoga dia memang benar jodo
Aku terbangun pagi ini, rasanya kenapa aku merasa sangat lelah sekali, bahkan aku tak ingat kapan memejamkan mata. Bergegas mandi dengan mengguyur seluruh badanku. Saat tengah menyampo rambut aku teringat bahwa semalam aku pergi bersama Mas Yusuf kejadian demi kejadian aku ingat sampai aku juga teringat ketika ada telfon yang ternyata dari Om Aceng. Dia mengingatkan pada kejadian tempo dulu yang membuat aku traumatis berat. Kini tubuhku seketika menggigil namun aku segera mengucap istighfar, agar di beri ketenangan hati. Alhamdulillah...akhirnya aku dapat mengontrol perasaanku. Namun, apa yang terjadi semalam? Apa aku?Pasti semalam Mas Yusuf dan kakek begitu mencemaskanku. Harus kujawab apa kalau mereka bertanya tentang apa penyebab aku hilang kendali dan ketakutan luar biasa.Segera aku menguyur tubuhku dan langsung bergegas untuk keluar kamar mandi. Aura masuk dan langsung tersenyum kearahku."Ibu, nanti aku mau ke Mall sama Kakek, Ibu mau ikut?" tanyanya."Nggak, Aura. Kamu pergi
PoV YusufAku melihat Aisyah pucat pasi. Kukira dia akan senang dan kita bisa melihat kota dari atas sana. Nyatanya salah, ternyata Aisyah phobia ketinggian. Hampir saja aku membuatnya pingsan. Aku jadi merasa sangat bersalah. Kutenangkan dia, kuberi minum agar jantungnya kembali memompa dengan normal. duh! kok aku jadi seceroboh itu.Hp Aisyah berdering ketika kita akan melangkah untuk sekedar jalan-jalan saja. Aku kapok mengajak Aisyah menaiki wahana. Lebih baik sekarang aku bertanya dulu, jangan gegabah. 'Ah! Ada yang jual bunga. Lebih baik aku membelinya. Sedikit romantis kan ngga papa.'Kubergegas membeli satu tangkai bunga mawar merah. setelah membayar aku bergegas menuju Aisyah yang masih menelfon. Kusodorkan bunga padanya. Betapa aku kaget melihat raut wajah Aisyah yang lebih pucat dari yang tadi. Kenapa dia? Phobia bunga juga?"Kamu kenapa, Syah?" tanyaku yang langsung membuang bunga itu.Bibirnya bergetar hebat, raut ketakutan terpampang jelas pada wajahnya. Dia...dia kenap
Aku yang akan sempat lari menuju kamar Kakek berubah haluan kembali ke depan."Tolong panggil kan dokter!" Perintahku pada salah satu penjaga keamanan.Aku melihat kedepan, disana suasana sudah terasa tak kondusif. Bahkan para tamu sedikit terlihat panik."Ada apa dengan Riris?" tanyaku."Ini, Non. Tadi tamu yang pulang lebih awal karena di usir Non. Memaksa Riris ikut dengannya kemudian kami merebutnya hingga akhirnya terjadi baku hantam."Aku yakin yang dimaksud pasti Mas Azmi. Apa maunya dia? Apa dia ingin menculik Riris?"Terus kenapa Riris berteriak?""Tadi saat terjadi tarik menarik dia terjatuh, Non."Aku segera menuju dimana Riris tengah diobati."Habis ini bawa Aura masuk! Kemudian perketat penjagaan. Aku mau lihat kondisi kakek dulu."Sungguh, semua kenapa jadi kacau seperti ini. Kakek pingsan dan tak tau sebabnya sekarang Mas Azmi pun tak menyerah. Andai boleh memilih, lebih baik hidup sederhana namun aman, dari pada seperti ini. Hidup serba ada tapi rasanya banyak sekali m