“Sudah deh, Bu! Ibu itu jangan lemah seperti itu! Kita itu harus kuat! Kalau masalah karma, itu urusan Tuhan bukan urusan orang! Makanya jangan cuma Syfa yang Ibu suruh move on, Ibu juga, dong! Ibu masih cantik, masih muda, Syfa yakin … Ibu pasti bisa dapetin yang lebih baik dari pada Bapak. Mari kita move on bareng-bareng, Bu! Kita pasti bisa!” Aku bersimpuh dan memeluk Ibu. Rasanya selalu tenang ketika berada di dekat perempuan yang kucintai itu.“Kamu ini ada-ada saja. Ibu sudah tua. Ibu sudah tak memikirkan masalah laki-laki. Sudah malam, kamu tidur sana! Makin ngelantur jadinya!” Ibu menepuk-nepuk punggungku sambil terkekeh. “Iyalah, ngantuk, Bu! Syfa tidur dulu. Pokoknya Ibu jangan melow-melow lagi. Ingat Bu, anakmu ini bukan tipe seperti lagu dangdut zaman dulu!” Aku bangun sambil mengibaskan rambut. “Lagu dangdut zaman dulu sih apa?” Kedua alis Ibu saling bertaut. “Aku bukan pe-ngemis cintaaa!!!” tukasku dengan nada mengikuti penyanyi aslinya lalu tergelak.Lagu itu sering
Dress code orange? Aku menatap pantulan diriku di depan cermin. Rasanya tak buruk. Kaos orange dengan jeans warna hitam kukenakan. Rambut diikat menjadi gulungan. Mirip disanggul, tapi bukan sanggul. Hanya biar gak terburai. Sepatu kets warna putih sudah membungkus kakikku dengan nyaman.Wajahku hanya dipoles cream saja. Malas bermake up. Aku make up kalau untuk kerja saja karena tuntutan. Bagaimanapun, kerja di minimarket memang harus selalu on, walau tak harus tebal. Sekitar jam tujuh pagi, mobil Reza sudah datang. Dia yang menyetir. Gayanya sama seperti kemarin casual. Kalau dipikir-pikir, aku dan dia sedikit ada kesamaan, tak suka bergaya pakaian formal. Berbeda dengan Rita dan Beni. Sepasang calon suami istri itu tampak serasi dengan dress batik bercorak orange couple. Rita memakai sepatu pantopel hitam dengan hak tiga sentian. Tubuhnya yang memang tak terlalu tinggi cukup terbantu. “Fa, kok pake kaos, sih?” protes Rita ketika aku membuka pintu mobil. Mau tak mau deh duduk di d
Aku menoleh. Beberapa detik dunia seakan berhenti. Itu ‘kan Abang Mart yang tempo hari. Duh, dia kenal aku gak, ya? Mau taruh di mana mukaku kalau dia inget aku yang mau janji bayar tapi gak jadi karena gak punya uang. Sebelum dia menoleh, sebaiknya aku menghindar. Bergegas aku menjauhi meja panitia. Namun mataku tetap memperhatikan Abang Mart yang tadi. Pakaiannya kali ini tampak rapi, berkelas bahkan dan tak terlihat seperti orang susah lagi. Apa dia minjam baju demi datang ke sini, ya? Ah, tapi masa iya, sih? Tak berapa lama, Pak Hakim Azhari yang tadi bertemu denganku muncul. Dia menyalami Abang Mart, tapi tampak sedikit membungkuk tanda sopan. “Loh, kok? Aku kira si Abang Mart ini pegawai atau anaknya Pak Hakim ini. Usianya jauh lebih muda, mungkin beberapa tahun di atasku. Tapi kok malah Pak Hakim yang membungkuk hormat seperti itu padanya.” “Eh, itu siapa pula?” Netraku memicing ketika terlihat ada perempuan cantik dan tinggi menghampiri Abang Mart. Dia terlihat muda dan ce
Acara reuni belum selesai, Reza sudah mengantarku pulang. Di perjalanan dia tak banyak bicara. Ya, image cool memang cocok untuk dia. Barulah ketika tiba di depan minimarket dia menghentikkan mobilnya. “Makasih ya, Za!” Aku tersenyum dan mengangguk padanya. “Ahm, tunggu, Fa!” Tangannya mencekal pergelangan tanganku. “Ya, kenapa?” Aku menoleh padanya. Heran melihat wajahnya yang tampak gugup. “Fa, maaf kalau ini mungkin terlalu cepat. Hanya saja … sejak SMA aku sudah memperhatikan kamu. Aku suka sama kamu. Mau jadi pacarku?” Eh … beberapa detik, rasanya dunia berhenti. Aku mengerjap-ngerjap menatap wajah Reza yang ada di depanku. Cekalan tangannya terasa erat. “P--Pacar?” Seolah tak sadar aku mengulangi satu kata itu. “Iya, Fa.” Reza bicara dengan mantap. Aku menghembuskan napas kasar. Lalu menatap tajam manik hitamnya, “Apa kamu yakin? Kita baru ketemu dua kali ini loh, Za!” tukasku setelah rasa kaget ini hilang. Perlahan kutarik lenganku yang dicekalnya. “Aku yakin, Fa. Sang
“S--Syfa? Sudah pulang?” tukasnya tergagap. Aku bersedekap dan memandanganya dengan mata menantang. Kesal, sedih, benci bercampur baur menjadi satu di dalam sini. Andai belum malam, ingin rasanya aku meneriakinya hingga rasa muak yang menumpuk ini lekas pergi.“Iya.” Aku menjawab singkat. Kulirik wajah Ibu, tampak dia tengah termenung. Awas saja kalau dia kasihan sama laki-laki pengecut itu. Bapak, memasang wajah sendu. Dia menatapku lalu bicara dengan lembut, “Duduklah, Fa … Bapak mau bicara.” “Eh, kenapa Bapak nyuruh-nyuruh aku duduk? Ini bukan rumah Bapak.” Aku menjawab santai sambil berlalu menuju meja tivi. Lekas kuletakkan tas yang berisi pakaian gantiku siang tadi. Bapak menghela napas kasar. Wajahnya tampak muram. Ck, aku melirik ke arah Ibu yang tampak sudah menguap berulang kali. “Ibu kenapa belum tidur. Aku pasti nyalahin dia kalau besok vertigo Ibu kumat, ya!” tuturku sambil melirik pada Bapak. “Ibu nungguin kamu, Fa. Tadi kirain kamu pulang. Berangkat kan pake mobil
[Met kerja, Fa. Semangat!] Dih, lebay! Aku mencebik, tapi tetap kubalas. Sudah numpang, tak tahu diri pula. [Sama-sama.] Namun, baru saja aku hendak menon aktifkan paket data, tiba-tiba sebuah video masuk dari nomor Rita. Aku segera membukanya pensaran. Soalnya ada tulisan yang Rita kirimkan.[Cepetan buka, urgent!]Jemariku tak menunggu lama untuk mengklik isi video itu. Video itu masuk ke IG-nya Mbak Merina rupanya. Aku menggeram kesal. Video itu membuat darahku mendidih. Sepertinya kabar kedatangan Bapak semalam sampai pada istrinya. Hari ini, Mbak Merina menayangkan dari IG-nya dan menulis caption seolah mereka teraniaya. [Susah kalau punya Papa ganteng, dokter dan kaya. Pelakor bertebaran di mana-mana. Sabar ya, Ma. Pelakor itu biar kita viralkan saja agar jera.] Itu tulisan bersama emoticon peluk sebelum akhirnya video itu diuploadnya. “Nur, apa gak ada lagi laki-laki di dunia ini selain suamiku? Kamu itu harusnya meraba perasaan sesama wanita. Sudah tahu laki-laki itu pun
Seketika aku menoleh bersama bisikan Mario yang melempar komplen padaku,“Hey, itu ada pengunjung masuk! Kenapa gak disapa?”Akhirnya dia datang!Seketika senyum yang tadi surut, kembali terkembang. Rasanya hati ini begitu riang. Aku tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Ah aneh memang, padahal siapa dia?Eh, tahunya dia ngeloyor saja. Tak ada kata-kata apapun dan tak menyapa sedikitpun. Lalu dia masuk ke dalam barisan rak. Setelah itu kembali dengan belanjaan. Lah, dia malah belanja.Aku melayaninya seperti pada pembeli lainnya. Sesekali kuintip ekspresi mukanya. Apa seperti orang yang mau nagih atau tidak? Ah, kok malah makin dilihatin, makin ganteng. Stop, stop Syfa! Stop lihatin dia. Aku sedang memasukkan barang belanjaannya yang tak seberapa itu ke dalam plastik. “Tebus murahnya, Kakak! Bisa dapat biscuit ragil dengan harga lima ribu rupiah atau shampoonya dengan harga sepuluh ribu, Kakak!” tukasku sambil memperhatikan tas selempang yang dipakainya. Sepertinya dia membawa
“Oke, Pak! Jam lima sore saja, ya, Pak. Saya kerja pulangnya jam dua. Besok bisa?” Lidah ini mendadak lancar jaya. “Boleh, Mbak. Oke sampai nanti.” Panggilan pun ditutupnya. Ya Tuhaaan … lancarkan perjuanganku membawa duda untuk Ibu. Usai menyelesaikan panggilan dengan Pak Hakim. Aku segera mengirimi pesan pada Rita. [Ta, besok ke PMM, yuk!] PMM itu singkatan Plaza Meridian Mall [Wah traktir?] Balasan Rita membuat aku berpikir beberapa saat. Uangku saja sedang terancam akibat laptop mahal Pak Hakim yang ketumpahan air. [Cilok.] Balasku. Dari pada Rita gak mau. Aku traktir cilok saja ‘kan dapet lima ribu. Cilok yang biasa mangkal di sekolah SD kami dulu. [Dih!] Balasan kuterima dengan gambar mata mendelik.[Ya sudah, gak jadi traktir kalau gak mau.] Aku membalas cepat. [Iya, deh, oke.] Aku tahu, Rita itu tak serius tadi. Bagaimanapun dia adalah sahabat yang paling baik. Aku bergegas pulang setelah memastikan Rita bersedia mengantar. Segera kulajukan sepeda motorku dengan kecep