Pak Sentosa mengangguk pelan. "Iya, itu bener. Anak saya ini memang paling nggak tahan kalau suasana terlalu formal."
Galang tersenyum, lalu dengan suara sedikit lebih lembut, ia menambahkan, "Saya juga nggak tahan, Pak, kalau lihat Indah cemberut. Makanya sebisa mungkin saya mau lihat dia tersenyum terus."Indah mengerucutkan bibir, melirik Galang sebal namun tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.Pak Sentosa tertawa melihat keduanya. Ia bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata Galang, meski dibungkus dengan canda."Lanjut ngobrol lagi, Galang," kata Pak Sentosa. "Saya pengen tahu lebih banyak tentang kamu."Galang mengangguk sopan. "Siap, Pak. Apa saja yang mau Bapak tanyakan, saya jawab."Pak Sentosa mengubah posisi duduknya, lebih santai. Ia menatap Galang dengan penuh perhatian."Kerjaan kamu apa sekarang, Galang?"Galang tersenyum. "Saya pekerja lepas, Pak. Lebih banyak di bidang fotografi, videogrPart 31Setelah menghabiskan waktu ngobrol dengan Pak Sentosa, Galang berdiri sambil tersenyum sopan, membungkukkan badan sedikit sebagai bentuk pamit.“Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak. Terima kasih sudah menerima saya dengan baik,” ucap Galang dengan nada hangat.Pak Sentosa mengangguk, menepuk bahu Galang pelan. “Hati-hati di jalan. Jangan lupa, kerja keras itu penting.""Siap, Pak, saya akan kerja keras, biar bisa makin diterima di keluarga ini dan bisa jagain Indah."Galang menoleh pada Indah, tersenyum kecil. Indah mencubit pelan lengan Galang begitu mereka sudah berdiri di teras."Berani juga kamu ngomongnua," gumam Indah.Galang mendongak, matanya menatap Indah dengan pandangan hangat yang membuat jantung Indah berdebar lagi."Kalau urusannya tentang kamu, aku harus berani apa aja," bisik Galang ringan.Indah mendengus pelan, berusaha menutupi degup hatinya. "Ih, sok banget."
Pak Sentosa mengangguk pelan. "Iya, itu bener. Anak saya ini memang paling nggak tahan kalau suasana terlalu formal."Galang tersenyum, lalu dengan suara sedikit lebih lembut, ia menambahkan, "Saya juga nggak tahan, Pak, kalau lihat Indah cemberut. Makanya sebisa mungkin saya mau lihat dia tersenyum terus."Indah mengerucutkan bibir, melirik Galang sebal namun tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.Pak Sentosa tertawa melihat keduanya. Ia bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata Galang, meski dibungkus dengan canda."Lanjut ngobrol lagi, Galang," kata Pak Sentosa. "Saya pengen tahu lebih banyak tentang kamu."Galang mengangguk sopan. "Siap, Pak. Apa saja yang mau Bapak tanyakan, saya jawab."Pak Sentosa mengubah posisi duduknya, lebih santai. Ia menatap Galang dengan penuh perhatian."Kerjaan kamu apa sekarang, Galang?"Galang tersenyum. "Saya pekerja lepas, Pak. Lebih banyak di bidang fotografi, videogr
Part 30Pak Sentosa berdiri dari kursinya, merapikan letak kaca matanya."Besok, ajak dia ke sini. Ayah mau ketemu."Indah merasa terkejut mendengar permintaan ayahnya. "Ada apa, Yah, kok tiba-tiba?""Ayah cuma mau ngobrol saja."Indah hanya mengangguk setuju, meski hatinya sedikit gelisah. Setelah makan malam, Indah duduk di balkon kamarnya sambil memegang ponsel. Matanya tertuju pada layar ponsel.[Galang, besok ada waktu? Bisa datang ke rumah?]Setelah beberapa detik, layar ponsel Indah berkedip dan muncul panggilan video dari Galang. Indah menghela napas, lalu menerima panggilan itu.Galang muncul di layar dengan senyuman santainya. "Halo, Ndah," sapanya.Indah sedikit tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. "Hai, Galang. Maaf ganggu malam-malam," ucapnya sambil memandangi layar.Galang menggeleng. "Nggak ganggu kok, aku malah senang tiba-tiba kamu tanya kayak gitu. Ada apa nih, hmm?"Indah menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kata-kata. "Ayah bilang dia mau ketemu k
Indah ragu sejenak, matanya menatap keluar kafe yang semakin sepi, lalu kembali ke arah Galang yang kini berdiri sambil merapikan jaketnya.Setelah beberapa detik berpikir, Indah akhirnya tersenyum kecil dan mengangguk."Ya udah ... makasih ya, Galang. Aku numpang, ya."Galang membalas senyumannya, lalu membuka payung besar yang tadi ia bawa."Ayo. Nanti kamu kedinginan kalau kelamaan di sini."Indah mengambil tasnya, dan dengan langkah cepat, mereka berdua keluar dari kafe, berlari kecil di bawah hujan menuju mobil Galang yang terparkir di halaman cafe.Begitu masuk ke dalam mobil, kehangatan dari heater langsung menyelimuti tubuh mereka yang sempat terkena angin dingin. Indah menggosok-gosokkan tangannya sendiri, mencoba mengusir rasa dingin yang masih tersisa.Galang melirik sekilas, lalu tanpa banyak bicara, menaikkan suhu penghangat mobil sedikit lagi.Mereka melaju perlahan melewati jalanan yang tergenang air. Di luar, lampu-lampu kota tampak mengabur karena hujan yang terus men
Part 29Saat arisan bulan berikutnya tiba, suasana terasa berbeda. Kali ini mereka memilih bertemu di sebuah kafe kecil, lebih santai daripada biasanya di villa.Satu persatu anggota berdatangan, tapi sampai acara hampir dimulai, Rinta tak juga muncul.Ayu melirik sekeliling, lalu bertanya, "Eh, Rinta mana ya? Biasanya dia paling heboh."Fina menghela napas pelan. "Kayaknya dia nggak bakal datang, deh."Farah mengangguk setuju. "Iya, dia mungkin malu gara-gara masalah Alvin."Nora menimpali, "Sejak kejadian itu, gue liat dia juga udah jarang banget aktif di medsos. Biasanya tiap hari update story pamer ini itu, sekarang bener-bener sepi."Indah yang duduk santai sambil meminum es tehnya, hanya berkomentar singkat, "Mungkin dia butuh waktu."Ayu berdecak pelan. "Ya udahlah, biarin aja. Yang penting arisan kita tetap jalan. Kita sekarang fokus sama peraturan baru aja."Fina membuka daftar absen di ponselnya. "Oke, kita tandain aja Rinta absen tanpa kabar hari ini. Kalau tiga kali bertur
Bu Ratna memeluk dirinya sendiri, merasa dunia ini begitu kejam. Rinta, yang duduk di sampingnya, meremas tangan tantenya dengan kuat, namun hatinya terasa hancur. Di luar ruangan, di area pengadilan, tampak beberapa polisi membawa Alvin dan Pak Dimas menuju mobil tahanan. Tatapan Alvin kosong, tak ada kata-kata yang bisa dia ucapkan. Di sisi lain, Pak Dimas hanya bisa menunduk, matanya penuh penyesalan, seperti tak ada harapan lagi.Bu Ratna dan Rinta keluar dari ruang sidang, terisak sambil berpegangan tangan. Mereka berjalan pelan, seakan enggan meninggalkan tempat yang telah mengubah hidup mereka selamanya.Sementara itu, Alvin menundukkan kepala. "Kenapa ini harus terjadi, Pa?" suaranya terdengar hampir putus asa. "Kita punya segalanya. Kenapa kita malah menghancurkannya?"Pak Dimas menghela napas panjang, menatap Alvin dengan tatapan kosong."Terkadang, anakku, kita terlalu terjebak dalam permainan yang kita buat sendiri. Terl