Angkasa pulang dengan wajah merah karena disiram air hangat oleh Lana. Ia sama sekali tidak marah, karena hal lebih buruk dari ini ia siap menerimanya. Semua adalah kesalahan dirinya yang tidak bisa bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. Angkasa tidak sanggup mendengarkan suara teriakan sekaligus tangisan Lana karena kekecewaan dan kemarahan wanita itu pada dirinya. Semua telah terjadi, mulai kemarin ia sudah resmi menjadi suami dari Rumi dan ia akan meneruskan tanggung jawab itu sampai Bari benar-benar sembuh.
Gadis yang sudah engkau anggap sebagai anak, bagaimana bisa engkau perlakukan sebagai istri. Sangat aneh dan pastinya tidak nyaman. Berkali-kali Angkasa menghela napas kasar, sambil terus berusaha fokus pada kemudinya. Hari ini ia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sudah ham;ir seminggu terbengkalai. Di rumah sakit sudah ada Rumi yang menunggui Bari, sehingga ia bisa meninggalkan sebentar untuk bekerja.
Sementara itu, di rumah sakit, Rumi masih setia menggenggam jemari Bari, berharap lelaki itu membuka mata, lalu tersenyum padanya. Sudah semalaman setelah melewati masa kritis, Bari belum membuka mata. Sempat sadar sebentar, lalu terlelap kembali.
Rumi memperhatikan cincin yang ia pakai di jari manisnya. Cincin itu seharusnya dipakaikan oleh Bari, tetapi kini malah calon mertua yang kini menjadi suaminya yang telah memakaikannya. Ia tersenyum miris dengan hati yang pedih. Kenapa harus ia segera menunaikan permintaan Bari yang saat itu hampir kehilangan kesempatan hidupnya? Seandainya ia bisa bersabar beberapa menit lagi, pasti pernikahan asal-asalan ini tidak akan terjadi. Yah, Rumi menganggap pernikahnnya dengan Angkasa adalah pernikahan asal-asalan yang seharusnya bisa gugur.
“Rumi, kenapa kamu masih di sini? Pulanglah sebentar untuk beristirahat. Jangan sampai kamu juga ikutan sakit dan malah dirawat lagi,” tegur Tiara pada adiknya. Rumi menoleh sekilas, lalu menggeleng lemah. Tiara meletakkan rantang yang sudah ia bawa dari rumah untuk bekal makan siangnya bersama Rumi di rumah sakit.
“Kenapa? Mau menunggui Bari terus? Nanti juga sadar. Doakan saja, yang penting sekarang Bari sudah melewati masa kritisnya,” ujar Tiara lagi dengan hangat.
“Ah, iya … semua pakaianmu sudah Mbak antar ke rumah Pak Angkasa. Baru kali itu Mbak masuk ke rumah arsitek terkenal. Bagus dan sangat mewah. Kamu beruntung sekali Rumi.”
“Heh, mana bisa aku bahagia, Mbak. Aku dinikahi calon mertuaku sendiri. Apa menurut Mbak, aku harus bisa bersikap seolah-olah Papa Angkasa adalah Bari, lelaki yang aku cintai? Oh, tentu tidak bisa, Mbak.” Tiara berjalan mendekat pada adiknya, merangkul pundak Rumi dengan hangat, menempelkan kepalanya di kepala adiknya.
“Ini adalah salah satu keunikan takdir yang ditetapkan oleh Tuhan. Kita tidak pernah tahu, pada siapa Tuhan memilihkan jodoh untuk kita. Karena yang menurutmu terbaik, belum tentu sama dengan penilaian Tuhan. Saran Mbak, jalani dulu semua ini dengan sebaik-baiknya. Bukankah kamu menghormati Pak Angkasa? Maka perlakukan ia layaknya kamu hormat pada orang tua kita, kecuali suatu hari Tuhan membolak-balikkan hatimu, untuk tiba-tiba bisa mencintai Pak Angsaka.
“Baiklah, Mbak. Saya akan pulang ke rumah Papa Angkasa, tetapi tidak sekarang. Saya masih ingin menemani Bari, siapatahu kekasih hati saya ini sadar dan bisa kembali tersenyum pada saya.”
Tiara pun mengalah, ia membiarkan adiknya menikmati waktu berdua dengan Bari. Keduanya bahkan menghabiskan makan siang dengan lahap sambil berbincang membicarakan hal-hal ringan tentang apa saja. Tiara memang sengaja ijin cuti tiga hari dari toko roti tempatnya bekerja untuk menemani Rumi.
Angkasa sudah berada di jalan menuju rumahnya. Tubuhnya sangat lengket dan terasa begitu gerah. Sehabis mandi dan beristirahat sebentar, baru ia memutuskan untuk ke rumah sakit kembali. Angkasa menekan klakson mobil dua kali, lalu tak lama kemudian Pak Yanto membukakan pintu pagar rumah rumahnya. Angkasa membuka jendela mobil, sambil mengangkat tangan sebagai tanda menyapa Pak Yanto.
Seperti biasa, ia berjalan masuk ke dalam rumah dengan sedikit tergesa. Ada Bik Susi yang menyapanya ramah, begitu kakinya menaiki anak tangga pertama. “Selamat malam, Tuan,” sapa Bik Susi ramah.
“Malam, Bik.” Angkasa tersenyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam kamar.
Cklek!
“Eh! K-kamu …”
“Aaargh!”
Bugh!
Lelaki itu membanting pintu kambali. Wajahnya pucat pasi bagai baru saja melihat hantu. Di dalam kamarnya, sudah ada Rumi yang tengah membuka handuknya, seperti baru saja selesai mandi.
Bersambung
Ha ha ha rejeki suami tua.

“Bibik bisa ceritakan kepada saya, ada apa ini sebenarnya?” tanya Angkasa pada Bik Susi yang tengah duduk melantai sambil memilin ujung bajunya karena gugup. Rumi duduk di seberang Angkasa dengan wajah menunduk malu. suatu kecerobohannya karena tidak mengunci pintu, sehingga Angkasa tanpa sengaja melihat tubuhnya yang hanya memakai bra saja.“Begini, Tuan, tadi siang ada Non Tiara, katanya Kakak dari Non Rumi. Kata Mbak Tiara mulai hari ini Mbak Rumi tinggal di sini karena sudah sah menjadi istri Tuan. Maaf, Tuan, karena saya pun diperlihatkan foto ijab qabul di rumah sakit kemarin, saya jadi mempersilakan Non Rumi untuk menempati kamar Tuan. Mana saya berani membiarkan majikan saya tidur di kamar tamu,” terang Bik Susi mencoba menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi.Angkasa hanya bisa menghela napas berat sambil memijat pelipisnya. Tidak mungkin juga dia meminta Rumi untuk pindah ke kamar tamu malam ini. a
Bari masih belum sadarkan diri. Lelaki itu masih memejamkan mata dengan sangat rapat setelah lewat dua hari masa kritisnya. Angkasa dan Rumi bergantian menjaga Bari, sesekali juga Tiara ikut menemani Rumi di rumah sakit. Acara pernikahan yang akan digelar besok di sebuah ballroom hotel, tentu menyita banyak waktu Angkasa dan juga Rumi, sehingga untuk hari ini mereka tidak bisa menunggui Bari di rumah sakit.Semua ikut sibuk, termasuk anggota keluarga Angkasa yang terdiri banyak pasukan. Ada yang menjadi pagar ayu, pagar bagus, pengiring pengantin dan lain sebagainya. Rumah Angkasa sudah ramai orang yang masing-masing memiliki tugas, termasuk dirinya yang kini tengah mencoba beskap yang akan ia pakai besok, ditemani Brittania—bungsunya yang cuti kuliah dari Yogya untuk melihat pernikahan sang kakak. Yah, Angkasa tidak menceritakan perihal kejadian yang menimpanya dan Rumi, sebelum putrinya itu sampai di rumah.“Aku sebenarnya tidak sepenuhn
Sakitnya tidak seberapa, tetapi malunya sungguh luar biasa. Itulah yang dialami Rumi saat ini. Perbuatan Lana yang menyiramkan air ke wajahnya membuat Rumi sukses menjadi tontonan banyak orang dan seketika itu juga menjadi buah bibir. Untung saja make up yang dikenakannya sangat bagus dan tidak mudah luntur, tetapi tetap saja wajahnya dan baju pernikahannya menjadi basah.“Maafkan Lana, Rumi. Saya tidak tahu kalau dia sampai nekat membuat keributan seperti itu,” ujar Angkasa dengan perasaan bersalah sekaligus iba. Karena semua yang terjadi bukanlah salah Rumi ataupun dirinya. Ini semua takdir dan kita tidak bisa menolaknya. Angkasa duduk di samping Rumi yang tengah di betulkan kembali rias wajahnya. Baju resepsinya pun telah diganti dengan yang lebih bagus dan membuat Rumi semakin cantik dan memesona. “Tidak apa-apa, Pa. Jika saya menjadi Tante Lana, mungkin hal lebih nekat dari ini berani saya lakukan. Saya mengerti per
"Pa, boleh saya cium tangan ibu sambung saya?" tanya Bari dengan begitu formal pada Angkasa."Boleh saja, tetapi jangan gunakan perasaanmu," sela Bulan tegas membuat semua mata memandangnya.Wajah Angkasa mendadak membeku begitu pun Rumi. Suasana meja makan yang harusnya hangat, mendadak begini hening dan mencekam. Bari mengambil tangan Rumi, lalu mencium punggung tangan wanita itu dengan begitu hikmat.Rumi gemetar dan bergetar. Tidak bisa ia membohongi hatinya, bahwa hanya Bari yang mampu membuat seluruh saraf di tubuhnya melemah seketika. Bagaikan baru saja tersengat listrik bertegangan tinggi. Bari mencium punggung tangan Rumi bukan dengan hidungnya, melainkan dengan bibirnya. Angkasa tak bisa berbuat banyak, selain memijat pelipisnya yang mendadak sangat sakit."Rumi, ambilkan Angkasa nasi dan ikan. Angkasa suka sekali ikan. Emak rasa kamu tahu itu," titah Bulan mencaikan suasana yang masih saja mencekam."Baik, Mak," jawab R
“Kenapa menangis?” tanya Angkasa bingung. Rumi masih terisak setelah membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. “Bukankah seharusnya saya yang menangis karena hanya bisa melihat tanpa boleh menyentuh?” tanya Angkasa lagi membuat Rumi semakin gemetaran. Pria dewasa itu tertawa pendek, lalu menyentuh kepala Rumi dengan lembut dan pelan. Layaknya seorang ayah yang tengah menenangkan anaknya yang menangis. “Maafkan saya jika membuat kamu takut. Saat di rumah nanti, saya akan pindah kamar, jika kamu tidak nyaman satu ranjang dengan saya,” kata Angkasa lagi dengan bijak. Lalu ia pun kembali berbaring dengan meletakkan guling di tengah-tengah. Ia tidak mau memaksakan Rumi yang saat ini pasti sangat malu dan ketakutan padanya. Angkasa memilih memejamkan matanya kembali dengan posisi telungkup, karena ia terpaksa menidurkan sesuatu yang tadi sempat bangun. Sungguh sua
“Papa sudah menebak akan hal ini. Hm … baiklah, Papa akan mengalah, tetapi tidak sekarang. Kalau kalian menghormati Papa, tolong jaga marwah Papa di depan semua orang, terutama keluarga. Papa akan mengalah kamu tidak mengganggu Papa dan Rumi saat kami masih berstatus sah sebagai suami istri. Jika kamu masih terus menganggu, maka kalimat talak itu tidak akan pernah keluar dari mulut Papa. Rumi, kamu paham’kan? Ayo sekarang ikut Papa,” ujar Angkasa dengan tegas. Bari bungkam, Rumi pun dengan terpaksa mengangguk dan mengikuti langkah Angkasa. Ia juga pasrah saat Angkasa menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam lift. Pintu lift tertutup, Angkasa dan Rumi masih saja diam, tetapi Angkasa tidak melepas genggaman tangannya pada Rumi. Wanita itu sudah panas dingin dengan napas terasa sedikit sesak. Ia sangat takut pada ekspresi wajah Angkasa yang menyimpan amarah. “Apakah saya begitu buruk sebagai seorang lelaki sehingga
Bari termenung di kamar hotel. Sore ini, papanya akan berangkat berbulan madu bersama Rumi dan hal itu membuatnya seperti tidak terima. Sekeras apapun ia mencoba ikhlas, tetap saja belum bisa.Sebuah ide muncul di kepalanya. Jemarinya dengan mahir mengetik pesan pada Nia, bertanya pada adiknya itu perihal tempat bulan madu yang akan dikunjungi oleh papanya. Namun pesannya hanya ceklis satu. Bari pun memutuskan untuk menelepon Nia, tetapi tidak diangkat.Kini Bari mengirimkan pesan WA pada sepupunya yang ikut menginap di hotel. Dia mengajukan pertanyaan yang sama pada sepupu laki-lakinya itu, tetapi kondisinya masih sama seperti Nia. Hanya ceklis satu. Ada enam orang yang ia kirimkan pesan WA, tetapi tidak ada satu pun yang aktif.Dengan menghela napas gusar dan mengumpulkan keberanian, Bari mengirimkan pesan pada Rumi secara langsung. Ia sangat berharap Rumi mau menjawab pertanyaannya. Jika ia tidak bisa mengganggu, paling tidak ia bisa melihat kekasihnya dari k
"Awas kamu, Rumi! Lihat saja pembalasan saya nanti!"Brugh!Lana menabrak tubuh Rumi, saat akan pergi ke kamar mandi. Rumi terhuyung dan hampir saja terbentur dinding penyekat antara kabin dan kamar mandi. Untunglah Angkasa menahan tubuh Rumi sehingga istrinya tidak harus terbentur."Kamu gak papa? Ayo, kita duduk lagi." Angkasa memperhatikan wajah Rumi yang masih memberengut kesal. Ia menuntun wanita itu untuk duduk kembali di kursinya, lalu memasangkan kembali sitbelt."Rumi, kamu gak papa'kan? Itu tadi ... terima kasih," ujar Angkasa dengan hati yang berbunga-bunga."Karena saya sudah menampar Tante Lana. Berarti nanti malam saya tidak perlu tidur memeluk Bang Angkasa ya?" tawar Rumi dengan menyeringai tipis. Angkasa tergelak sambil menggelengkan kepalanya."Untuk hal itu, tidak ada negosiasi. Tetap seperti kesepakatan awal. Lagi, di Lombok itu dingin. Kalau gak pelukan nanti masuk angin loh.""Huu! Modus!"