Keesokan harinya, Angkasa tengah mengendarai mobilnya menuju rumah Lana—calon istrinya yang akan dia nikahi setelah satu bulan pernikahan Bari dan Rumi. Namun kini, sebagai lelaki dewasa yang bertanggung jawab, tentu ia akan mengatakan yang sebenarnya pada Lana dan juga orang tua Lana, perihal pernikahannya yang terpaksa dengan Rumi.
Wanita cantik berusia tiga puluh dua tahun itu sudah berdiri di depan pagar rumah untuk menyambut sang calon suami. Memang Angkasa mengirimkan pesan pada Lana, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju rumah wanita itu. Begitu mobil Angkasa berhenti di depan rumah, Lana memberikan senyum terbaikya, lalu menggeser pagar—membukanya dengan sangat lebar. Angkasa menurunkan spionnya.
“Halo, Sayang. Aku rindu sekali,” sapa Lana dengan senyuman hangat. Hati Angkasa pun semakin gusar. Ia tersenyum canggung, lalu mematikan mesin mobil.
“Abang dari rumah sakit? Bagaimana kabar Bari? Lana dengar dari Lalita—Bari kritis ya, Bang?” seperti biasanya, Lana menggandeng tangan kekasih hatinya jika mereka baru berjumpa seperti ini. Satu ciuman mendarat di kening Lana, biasanya. Namun pagi ini tidak dan wanita itu pun merasa sedikit ada yang berbeda dengan calon suaminya.
“Abang kenapa? Sakit? Ayo duduk dulu, biar Lana buatkan air jahe untuk Abang.” Lana memperilakan Angkasa untuk duduk di ruang tamu, lalu wabita itu bergegas berjalan ke dapur.
“Wah, ada calon mantu rupanya. Sehat kamu, Sa?” sapa ramah Pak Haris—ayah dari Lana.
“Sehat, Pa,” jawab Angkasa sambil mencium punggung tangan Pak Haris. Angkasa kembali duduk dan tersenyum tipis pada lelaki paruh baya di depannya.
“Ada apa ini, tumben pagi-pagi sudah kemari? Apa Bari sudah pulih?” tanya Pak Haris.
“Pa, ini … mm … kemarin itu Bari kritis, Pa dan ia meminta sesuatu yang amat konyol pada saya.” Angkasa menjeda kalimatnya, lalu menarik napas dan mengumpulkan kembali keberaniannya untuk berkata yang sejujurnya.
“Permintaan apa?” tanya Pak Haris nampak tak sabar. Angkasa yang begitu gugup, akhirnya mengambil tisu di atas meja untuk mengeringkan keringat sebesar biji jagung yang sudah membanjiri kening dan juga lehernya. Ia merasa tengah berad di padang pasir pukul dua belas siang, padahal ini baru pukul delapan pagi.
“Bari meminta saya untuk menikahi Rumi dan saya mengabulkan itu. Kemarin saya dan Rumi sudah menikah.”
“Apa? Coba ulangi, Bang!” titah Lana dengan tangan yang gemetar menaruh nampan di atas meja. Pak Haris pun tergugu sesaat. Ia berharap ini hanya halusinasi.
“Lana, ya ampun, Sayang … saya terpaksa melakukannya. Ini semua karena Bari begitu memohon pada saya. Saya tidak punya pilihan lain se ….”
Byur!
“Bajin*an kamu, Bang! Kamu mempermainkan aku dan keluargaku. Katakan ini semua tidak benar, katakan!” Lana berteriak histeris sambil meremas rambutnya dengan kasar. Angkasa mendekat dengan wajah dan baju yang basah karena dilempar teh jahe hangat oleh Lana. Untung saja bukan air mendidih, jika tidak, dapat dipastikan wajahnya akan melepuh.
“Lana, maafkan Abang. Pa, maafin, Pa. Saya benar-benar ada pada pilihan yang sulit. Lana kamu tahu aku mencintai kamu’kan? Semua ini aku lakukan karena terpaksa,” ujar Angkasa dengan suara serak. Lelaki itu pun tengah sekuat tenaga menahan air mata agar tidak tumpah. Sumpah demi apapun ia mencintai Lana dan ingin menikahinya, tetapi takdir membawanya harus menikahi Rumi. Haruskan ia protes pada Tuhan?
Bersambung

Pastikan kalian screenshoot pembelian ebooknya"Ma, Helena sudah menyelesaikan semua utang almarhum, Papa. Rumah kita akan tetap menjadi milik kita. Mama cepat sembuh ya. Helena akan lakukan apapun agar keluarga kita baik-baik saja dan Mama lekas sembuh." Helena mengusap air mata yang membasahi pipinya.Wanita paruh baya yang hanya bisa terbaring tak berdaya di tempat tidur karena stroke, memandangi putri bungsunya sambil tersenyum hangat."Terima kasih, Helena, tapi ... bagaimana cara kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya wanita itu lirih sambil terus memperhatikan putrinya dari atas sampai bawah. Hampir setahun Helena tidak pulang dan begitu pulang tubuh putrinya menjadi sangat berisi."Payudara kamu kenapa basah, Helena? Kamu b-baru melahirkan? K-kamu punya bayi?" mulut wanita itu terbuka lebar dengan mata melotot. Ia menelan ludah susah payah mencoba menarik kembali tebakannya atas penampilan putrinya.Satu hal yang dilupakan Helena pagi
Segala cara dikerahkan Bari untuk membangunkan Tiara, tetapi istrinya bagaikan mati suri, bukan tidur. Pria itu memutuskan memberi waktu pada Tiara untuk terlelap. Hari ini mungkin istrinya sangat kelelahan mengurus Nara, sedangkan dirinya sudah puas tidur dan benar-benar belum mengantuk.Satu jam lagi ia berencana membangunkan Tiara. Kini Bari berjalan keluar kamar untuk membuat kopi. Secangkir kopi mungkin akan menurunkan sedikit kadar hormon se*s yang benar-benar mengepul di kepalanya.Tunggu! Jika ia minum kopi sekarang, maka permen herbal untuk stamina itu pasti tidak akan bekerja dengan baik. Bari yang sudah meraih toples kopi, kembali meletakkan wadah kopi di tempatnya, lalu ia menuangkan air ke dalam gelas. Dirabanya saku celana, lalu dengan tekad yang sangat bulat, ia memasukkan kapsul herbal ke dalam mulutnya.Tidak hanya dengan satu gelas air putih, tetapi Bari menggunakan dua gelas sekaligus air putih untuk men
"Oh, jadi obat yang diberikan pemilik toko herbal itu obat tidur? Pantas saja saya tidur sampai dua puluh jam. Ya ampun, Sayang, maaf ya, gara-gara saya kita tidak jadi malam pertama. Kamu gak marah'kan, Sayang?" Bari menatap wajah Tiara dengan perasaan yang tidak enak. Ia khawatir istrinya kecewa dengan kebodohan yang ia lakukan."Kenapa harus marah? Saya malah bersyukur. Dunia saya aman dari suami mesum," jawab Tiara sambil terkekeh. Bari menggaruk rambutnya yang tidak gatal, lalu tersenyum dengan sangat manis di depan wajah Tiara."Ada apa?" tanya Tiara tidak mau membalas tatapan Bari."Kamu cantik," puji Bari lagi masih menatap senang wajah istrinya."Kamu bau, Mas. Mandi gih! Sebelum aku dan Nara muntah karena bau ketiak dan jigong kamu," balas Tiara sambil mendorong tubuh Bari menjauh."Oke, ini juga mau mandi. Bukan hanya kalian, suami tersayang kamu ini pun mau muntah mencium aroma
Tiara menoleh pada benda bundar yang menempel di dinding. Ini sudah pukul dua belas siang dan suaminya belum juga bangun. Bari tidak bisa dibangunkan. Ketika Tiara mengguncang tubuh suaminya, lelaki itu hanya melenguh dan melanjutkan tidurnya.Masih harus menunggu enam jam lagi untuk mendapat dua puluh jam. Itu tandanya jam enam sore nanti Baru bangun. Ia tidak tahu harus bagaimana keadaan suaminya nanti. Tiara khawatir Bari kelaparan setelah lama tidur. Bukan hanya lapar perutnya, tetapi juga hasratnya. Mengingat suaminya sudah istirahat dalam waktu yang sangat lama.Nara juga tidur di dalam box. Ia ingin membantu Bibik di dapur, tetapi tidak diperbolehkan. Tidak ada yang bis ia kerjakan di rumah besar suaminya selain melamun dan memandangi dua insan yang terlelap dengan sangat nyenyak.Bep! Bep!Ponselnya berdering, tanda pesan WhatsApp masuk. Keningnya berkerut saat menatap layar ponsel yang kontak peng
"Ini, silakan diminum langsung, bonus dari saya, jadi begitu sampai di rumah, permennya sudah bekerja dengan baik dan bis langsung berjuang hingga titik darah penghabisan, ha ha ha ...." Bari ikut tergelak mendengar gurauan si pemilik toko herbal. Dengan memantapkan hatinya, Bari meraih gelas yang berisi air cukup banyak. Segera dimasukkannya permen itu ke dalam mulut, lalu ia minum air sebanyak-banyaknya hingga gelas kosong."Terima kasih, Mas. Kalau cocok nanti saya langganan," ujar Bari yang sudah siap berpamitan."Ditunggu, Mas, pokoknya sering-sering aja main kemari. Dijamin tidak mengecewakan. Oh, iya, satu pesan saya, jika sedang mengonsumsi obat herbal jenis apapun untuk vitalitas pria, sebaiknya banyak minum air putih ya, agar pinggang tidak sakit," terang lelaki itu dengan senyuman terkembang.Bagaimana ia tidak senang? Bari bukan hanya membeli satu strip permen, melainkan satu dua yang berisi 20 strip permen kua
Pria bertubuh tinggi dan tidak terlalu gemuk itu melangkah santai masuk ke dalam kamar. Ia melihat Tiara tengah memberikan asi milik Helena yang memang sudah disiapkan sepuluh botol untuk Nara. Semalaman hingga pagi lagi Helena menampungnya dan hasilnya cukup mengejutkan.Sepuluh botol ukuran 110 ml dan itu bisa dikonsumsi Nara kurang lebih sepuluh hari. Tiara memberikan asi pada Nara sambil berbaring miring memunggungi pintu kamar. Terlalu asik dengan bayinya, Tiara tidak menyadari bahwa Bari sudah mengunci pintu dan berjalan perlahan menuju ranjang."Apa Nara banyak menyusu?" tanya Bari yang tiba-tiba sudah duduk di belakang tubuh Tiara. Wanita itu menoleh ke belakang, lalu tersenyum sambil mengangguk."Banyak sekali. Lihatlah, satu botol ini habis. Sekarang Nara sepertinya sangat mengantuk," jawab Tiara antusias."Saya pun sama, he he ...." Tiara merasakan perasaan yang tidak enak."Mak