Habis isya, di rumah Ratih sudah mulai kembali sepi. Panitia sudah selesai menurunkan tenda dan mengembalikan kursi-kursi dan perkakas ke tempat penyewaan. Begitu juga urusan dapur. Sejak habis asar, semua sudah dibereskan.
Dini dan suaminya sudah berangkat bulan madu. Namun, di rumah Ratih masih ada beberapa saudara jauh yang menginap.
Ratih dan Rizal turut menemani mengobrol.
”Sana, Mbak Ratih. Mas Rizal sudah capek itu. Mau istirahat kasihan,” ujar salah seorang kerabat.
Strategi Rizal pura-pura menguap ternyata cukup jitu.
Dia memang capek. Namun, tak enak kalau mohon diri istirahat. Padahal masih sore.
”Nggak, kok, Pakde. Masih belum ngantuk.” Rizal pura-pura berkilah.
Ibu Ratih memberi kode. “Sana, Nduk. Temani Masmu.”
“Ayo kita bubar. Nanti Nak Rizal malu.” Bapak Ratih menambahkan.
Terpaksa, ngobrol-ngobrol sementara bubar. Tapi, sebenarnya mereka hanya pindah tempat
Rizal hampir terlonjak kaget. Dia baru bangun usai limbung karena terlalu semangat berbuka puasa setelah dua tahun menduda. Lampu kamar masih menyala. Di sebelahnya, seseorang terbungkus selimut hingga kepala. Rizal mengingat-ingat. Dia baru sadar kalau terbangun di kamar yang asing. Apalagi melihat dirinya sendiri, dengan tampilan yang tak biasa. Untungnya, kamar Ratih tak ada AC. Sehingga tak membuatnya kedinginan. Refleks Rizal menepuk jidatnya, saat dia menyadari, di mana keberadaannya. Tapi… kenapa Ratih menyelimuti dirinya hingga ke kepala? Bahkan, Rizal tak ingat apa-apa. Apakah dia lupa doa sebelum tidur? Atau malah gosok gigi dan berwudhu seperti kebiasaannya sebelumnya. Pasti ini karena ketiduran, batinnya. ”Ratih....Ratih....” panggil Rizal. Pria itu mencoba menepuk bagian tubuh yang kemungkinan adalah pundak. Seseorang terbungkus selimut tidak menyahut. ”Dik?” Rizal mengubah panggilan. Dia yakin, pasti Ratih suka dengan panggilan barunya ini. Rizal mendekatkan kepa
“Wah, sayang coba nggak banyak orang.” Rizal bergumam saat masuk kamar Ratih. Dia baru saja pulang dari masjid.“Kenapa?” tanya Ratih. Dia tengah bersiap-siap. Hari itu dia harus boyongan ke rumah orang tua Rizal. Dia sibuk memasukkan baju-baju ke koper kecilnya. Apalagi Rizal mengatakan akan langsung ke Bandung setelah dari rumah orang tuanya.“Kan masih sempet.” Rizal mengecek jam di ponselnya.“Sempet apanya?’ Ratih menghentikan gerakannya. Tapi Rizal hanya senyum-senyum saja.“Sempet apa, Mas?” Ratih menatap Rizal sambil mengerutkan kening.”Sempet mandi sekali lagi.””Ngapain mandi lagi. Tadi kan udah. Nggak tahu apa, mandi harus antri. Ada ibu, ada bapak, ada paklik, ada Hasan.” Ratih mengabsen penghuni rumahnya.Rizal menggeleng. Tak menyangka dia punya istri sepolos Ratih. Usia boleh matang, tapi pikiran masih suci!”Kamu makin lama, makin aneh. Aku kayak hidup dimana. Nggak nyambung,” protes Ratih.”Ini baru sehari. Bayangkan kita akan hidup bersama sampai mati.” Rizal mengha
Prita datang dengan baju santai. Dia tidak datang di pengajian.“Dik, Prita ini temannya Desti.” Rizal mengenalkan sepupunya pada Ratih. ”Udah kenalan tadi?” tanya Rizal. Karena saat dia datang, Prita tampak sedang mengobrol dengan Ratih. Meski menurut pandangan Rizal, mereka tidak ngobrol hangat. Lebih pada Prita yang mengintimidasi Ratih.Meski Rizal sedikit khawatir, namun, segera ditepiskan. Dia hanya ingin menunjukkan pada saudaranya, bahwa Ratih adalah pilihan terbaik. Dia bisa mengatasi semuanya.Di ruang tamu itu, Ratih tak sendiri. Ada budenya Rizal yang sekaligus ibunya Prita. Sementara saudara Rizla yang lain masih sibuk urusan beres-beres dan urusan dapur.“Ya udah, kalian ngobrol dulu. Sama-sama cewek kan biasanya nyambung,” ujar Rizal. Dia bergegas meninggalkan Ratih dan Prita. Lagi pula, di luar masih banyak panitia yang belum bubar. Tidak enak kalau tidak gabung membantu beres-beres di luar.&ldqu
Rizal ke kamar mandi. Meski dia bukanlah ustadz yang banyak tahu agama, namun, kedekatannya dengan teman-teman yang paham agama sejak SMA dan pergaulan di kampungnya yang dekat dengan masjid, membuatnya sedikit tahu banyak hal.Rizal mengambil air wudhu. Kemarahan akan sirna bersama siraman air wudhu.”Astghfirullohaladzim. Ampuni hamba ya Alloh. Hamba khilaf.” Rizal membatin.Baru dua malam menikah, dia tak dapat menahan diri. Padahal dua tahun adalah hal yang dapat dilaluinya.Sekelebat bayang tentang rencananya ke Bandung, membuat Rizal kembali tersenyum. “Sabar, tak lama lagi,” gumamnya dalam hati.Rizal kembali ke kamar. Ratih masih terduduk di kasur bawah. Posisinya masih sama dengan saat dia keluar.Sebenarnya dia ingin bicara, namun rasa ego lebih mendominasi. Akhirnya Rizal memilih tidur di ranjang bersama putrinya.Meski sudah terbayang esok hari dia akan menghabiskan malam dengan Ratih, namun rasa ingin membuat Ratih menyesal dengan penolakannya ingin Rizal tunjukkan.Denga
”Aku bisa jelaskan. ” Rizal mengambil minum di atas meja. Lalu memberikan pada Ratih. “Minumlah dulu.” Rizal melihat mata Ratih sudah berkaca-kaca. Dia berjanji tak akan menyakiti Ratih. “Dik, aku sudah bilang padamu. Aku sudah memutuskan kamu yang jadi istriku. Dan aku tak akan kembali ke Desti. Apa jawaban itu tidak cukup bagimu,” ujar Rizal. Ibu jari Rizal bergerak menyeka buliran yang mulai menetes di sudut mata Ratih.“Lalu, kenapa kamu masih menyimpan barang Desti? Kenapa kamu tidak membuangnya?” tanya Ratih. Sebelumnya Prita mengatakan padanya, kalau Rizal sengaja menyimpan semua benda Desti. Dan itu memang faktanya. Semua barangnya masih ada. Rizal menahan geram. Ini pasti bagian dari akal-akalan Prita menghancurkan semuanya. Buat apa? Apa untungnya? Toh dia sudah menikah dengan Ratih. ”Sudah dua tahun, Mas. Dan akmu masih menyimpannya.” Ucapan Ratih, mengingatkan Rizal dengan ucapan ibunya. Awalnya Rizal hanya menunda-nunda saja. Toh, tak mengganggunya. Dia tak punya p
”Jam berapa kalian berangkat?” tanya Bapak Rizal setelah Rizal kembali dan duduk bersama mereka.”Batal, Pak.” Tapi tak terlihat kekecewaan di wajah Rizal.“Nggak jadi ke Bandung?” tanya Ratih.“Iya. Tadi di Wa aku nggak baca. Makanya barusan di telpon. Mungkin mereka khawatir klo dah berangkat,” sahut Rizal.”Jadi, kita langsung ke Jakarta?” tanya Ratih lagi.”Iya.””Hari ini?”Gantian Rizal yang heran. Kenapa Ratih terlihat antusias. Tidak seperti kemarin saat dia mengatakan hendak ke Bandung.”Heem.””Serius?”Rizal mengerutkan keningnya.”Kenapa? Kamu udah nggak betah?”Ekspresi Ratih berubah. ” Bukan gitu. Aku betah kok.” Ratih melirik kedua mertuanya. Nggak enak dibilang nggak betah.Namun, Ibu Rizal malah tersenyum,” Ibu paham. Namanya pengantin baru,
”Apa Bunda mau ambil Papa?” tanya Sasti. Wajah polos itu menatap Rizal. Dia meregangkan pelukannya. Rizal menaikkan satu alisnya. Matanya melirik sekilas ke Ratih. Lalu sebuah senyum terbibit di bibir pria itu. Rizal tahu, Sasti habis main dengan teman-temannya. Sudah biasa dia mendapatkan aduan apa saja dari putrinya. Resiko hidup menduda. ”Bunda?” Rizal mengalihkan pandangan sekilas pada Ratih lagi. Sasti mengangguk. ”Mana bisa Bunda ambil Papa. Lihat, badan Papa saja lebih besar.” Rizal berdiri, menegakkan punggungnya, dan memperlihatkan seberapa besar posturnya pada putrinya. ”Papa bisa lari kalau diambil sama Bunda.” Rizal memperagakan dirinya berlari di tempat. Sasti tertawa melihat gaya Rizal. ”Emang Bunda sama Papa mau pergi?” tanya Sasti lagi setelah tawanya menyurut. ”Iya. Papa kan harus kerja. Uangnya buat Sasti Sekolah, jajan, beli mainan....” Sasti menoleh ke Ratih. ”Kerjanya sama Bunda?” Ratih tergagap. Dia dari tadi hanya melihat komunikasi anak dan bapak. Da
“Mau ngapain?” Ratih terlihat panik. Sementara Rizal berekpresi datar.Pria itu tak canggung menenteng kardus oleh-oleh ibunya, juga tas nya dan koper Ratih.Rizal sengaja membiarkan Ratih bertanya-tanya. Semakin melihat Ratih panik, dia semakin suka.”Zal...” Ratih kesal. Rizal tak menanggapi pertanyaannya.”Gimana?” tanya Rizal dengan senyum jahil.Dia suka, kalau Ratih sudah sengaja memanggil namanya tanpa sebutan ”Mas” artinya sedang jengkel.Rizal membuka pintu kamar hotel. Dia bukan pria romantis, yang bisa saja memesan kamar khusus paket bulan madu, namun itu tak dilakukan. Baginya, mengajak menginap Ratih di hotel saja, sudah merupakan kejutan istimewa.Bukan!Rizal sengaja tak mengajak Ratih ke rumahnya. Bagi Rizal sudah cukup kenangan bersama Desti. Dia tak ingin mengotori lembaran barunya bersama Ratih dengan bayang-bayang Desti."Mau istirahat dulu, apa langsung jalan?" tanya Rizal saat mereka sudah tiba di kamar. ”Heh?” Ratih mengernyit.”Atau kamu mau yang lain?” Lagi-l