”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
“Maafkan aku, Nadia. Aku nggak bisa.” Jus jeruk yang di hadapanku segera kusesap untuk membasahi tenggorokan yang mulai mengering karena mendengar permintaan Nadia, teman SMA-ku.Ini adalah pertemuan keduaku dengannya, setelah kami bertemu secara tak sengaja dalam suatu acara kantor.Meski aku dan Nadia teman SMA, dahulu kami tak cukup dekat, namun, sebatas kenal satu sama lain. Aku kenal dia, dan dia pun mengenalku.Tak kuduga, pertemuan kali ini, dia intens untuk membicarakan teman SMA sekaligus seseorang yang penah singgah namun juga melukaiku. “Ratih, Rizal sudah berubah. Dia minta maaf padamu,” ucap Nadia di sela keraguanku.Bulan lalu, alumni SMA ku mengadakan reuni. Tentu saja, aku tak berminat untuk datang. Dan gara-gara reuni itu pula, kini Nadia datang dengan misinya.Bukan tanpa alasan. Usiaku sudah nyaris kepala tiga dan statusku masih sendiri. Ini bukan karena pilihanku, tapi karena takdir memang mengharuskan aku bersabar.Usia yang kian merangkak, dan tak kunjung datangn
“Nduk, usiamu sudah tidak muda lagi. Ibu sama Bapak tidak masalah kalau kamu menikah sama duda. Sudahlah tidak usah pilih-pilih. Apalagi kamu kan sudah kenal siapa Rizal itu,” ujar Bapak. Aku tahu, Bapak menyampaikan itu dengan hati-hati.Hari itu aku pulang ke rumah orang tuaku. Meski aku kerja di Jakarta, paling tidak, sebulan sekali aku menyempatkan diri untuk menengok Bapak dan Ibu. Dua adikku pun kerja di luar kota. Kami bergantian pulang.Kepulanganku kali ini, berbeda dengan kepulanganku biasanya. Aku sengaja bicara serius dengan Bapak mengenai rencana Nadia, meski sebenarnya aku tidak setuju. Tapi, berulang kali Nadia memintaku, agar aku menyampaikan maksud baik Rizal ini ke Bapak dan Ibu. Bahkan, sampai tadi pagi, Nadia masih mengingatkanku.Awalnya, aku berharap Bapak dan Ibu tidak menyutujui perjodohanku dengan Rizal. Apalagi status Rizal yang duda beranak satu. Umumnya, orang tua yang punya anak gadis, belum dapat menerima jika yang meminang seorang duda. Namun, kenapa yan
“Ratih, aku tahu kamu marah padaku. Tapi, plis. Kasih aku kesempatan.” Rizal sore itu menemuiku di kantor usai jam kerja. Dia ingin mengajakku bicara.Aku sebenarnya malas. Aku kecewa pada Rizal. Pertama kecewa dengan masa lalu dimana dia pernah menghinaku. Yang kedua kecewa dengan kelancangannya datang kepada orangtuaku bersama orang tuanya tanpa membicarakan dahulu padaku. “Aku memang tak pernah berarti bagimu. Sehingga, datang ke rumah pun kamu tak memerlukan persetujuanku. Lalu, kenapa aku harus memberimu kesempatan?” balasku. Apa dia pikir dengan memaksakan datang ke rumahku, dan membawa serta anaknya, hatiku akan melunak dan menerimanya? Tidak akan!“Ratih. Aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Tolong beri aku kesempatan. Aku ingin membayar semua perlakuan burukku padamu di masa lalu,” tukasnya. Café yang berada di seberang kantorku ini sudah mulai ramai. Banyak karyawan kantor yang mampir ke sana, sembari menunggu jalanan terurai karena macet saat jam pulang kerja. Sebenarnya,
Suasana area ruang tunggu bandara pelan-pelan mulai ramai, karena jadwal keberangkatan semakin mendekat. Banyak penumpang mulai masuk memenuhi ruang tunggu.Gadis kecil di sebelahku ini berceloteh dengan riang, seolah kita sudah lama saling mengenal. Sebenarnya aku termasuk orang yang sulit akrab dengan anak-anak. Aku sering kehabisan bahan ngobrol dengan anak kecil. Namun, Sasti sangat pandai membuat rasa canggungku hilang. Aku hanya cukup menanggapi celotehannya. “Dia tak punya teman di rumah. Jadi, dia suka sekali mendapatkan teman bicara,” jelas Rizal. Lelaki itu duduk di sisi kanan Sasti. Sementara aku berada di sisi kirinya. Orang yang tak tahu, bisa saja menyangka kami adalah suami istri yang bahagia. Ingin rasanya aku mengorek dimana mamanya Sasti. Tapi, rasanya tak pantas aku tanyakan saat ada Sasti di sini. Mungkin, nanti saat anak itu sedang tidak bersama kami. Yang aku tahu dari Nadia, Rizal sudah menduda selama dua tahun. “Mamanya sudah menikah lagi.” Rizal seperti
Mataku mengerjap. Aroma minyak kayu putih tercium di sekitarku. Sudah lama aku tak pernah pingsan. Aku benar-benar shock mengetahui kenyataan kalau aku pun hendak dilamar. Bagiku pernikahan itu menentukan masa depan seseorang. Aku tak boleh gegabah. Mungkin itu juga yang menyebabkan hingga usia mendekati kepala tiga aku masih memilih sendiri. Setiap ada lelaki yang mendekat, aku memilih untuk menjaga jarak. Dan entahlah, sampai kapan itu akan terus terjadi, aku tak tahu. “Nduk, tamunya sebentar lagi datang. Kamu sebaiknya segera bersiap,” tutur Bulik dengan lembut, saat aku masih terbaring di kasur.Aku mengangguk, lalu berusaha bangkit. “Kamu tidak usah mikir macem-macem. Paklikmu sudah tahu siapa Nak Rizal itu. Anaknya baik. Rajin ke masjid. Nggak bakal jahat sama kamu,” terang Bulik di sela-sela merias wajahku. Aku hanya menurut saja. Rumah Paklik dengan rumah Rizal memang cukup dekat. Tak heran kalau Paklik mengenal Rizal dengan baik.Mendengar kata jahat, tiba-tiba hatiku