Share

FAREL YANG TAK INGIN LEPAS DARIKU

Sudah sebelas hari setelah penentuan pernikahanku. Bunda mulai melarangku untuk sering keluar rumah. Aku pun di minta berhenti mengajar setelah kuceritakan perihal Farel pada Beliau.

"Nanti sore Alvin mengundang kita makan malam dirumahnya!"

"Hanya bertiga?" tanyaku sambil terus memasukan semua baju ke dalam koper untuk nanti pindah ke rumah kak Alvin.

"Katanya, akan ada ustadz Iman dan Ustadz Danu beserta istri mereka."

Kututup koper yang sudah penuh, lalu duduk di samping Bunda.

"kenapa Bunda tidak mau ikut tinggal bersamaku, Kak Alvin kan sudah menawarkan," ucapku memandangi wajah paruh baya yang selama ini sabar membimbingku dalam berhijrah.

"Bunda ingin menikmati masa tua, dengan selalu mendekatkan diri pada sang Khaliq. Ntar kalau tinggal bersama kamu, Bunda repot ngajarin kamu masak," canda Bunda, mencubit hidungku.

Aku terkekeh, mengeluarkan kristal bening dari mataku.

"Boleh aku sering main ke sini?"

"Kalau Alvin mengizinkan, kapanpun pintu rumah ini selalu terbuka."

Ku peluk tubuh Bunda.

"Bun, boleh aku pergi ke sekolah? Sebentar saja."

"Mau apa?" Bunda melepaskan pelukanku.

"Kepala sekolah mengundangku, katanya murid-murid ingin mengucapkan salam perpisahan kepadaku."

"Ada Farel?"

"Aku gak tahu, Bun."

"Zahra, besok lusa kamu akan menjadi seorang istri. Bukannya Bunda melarangmu untuk bergaul dengan dunia luar. Namun, kamu tahu kan Farel pasti akan terus berusaha menggoyahkan keteguhan hatimu." Bunda memang sudah tahu kenekadan Farel.

"Bunda tidak mengizinkan?"

Bunda terdiam sesaat. Melihatku yang memasang wajah penuh harap, akhirnya Bunda mengizinkanku pergi.

"Pergilah, tapi jangan lama-lama, ya."

Ku ambil tas slempang kecil, lalu bersiap untuk berangkat ke sekolah.

"Zahra!" Bunda menghentikan langkahku yang sudah hampir sampai di depan motor matic.

"Iya, Bun," sahutku.

"Lidah memang tidak bertulang, Nak. Namun, setiap sayatannya mampu melukai siapa saja. Kamu sudah berucap janji, dengan menerima Alvin sebagai calon suamimu. Maka, jagalah hatimu agar setiap kata yang kamu ucapkan tidak melukai orang lain."

Aku hanya tersenyum, sangat mengerti dengan nasehat Bunda. Aku tahu, saat ini Beliau takut kalau sampai aku berubah fikiran. Bunda juga mengenal Farel, mengenal sikap Farel yang kadang bertindak bodoh.

Kurang dari 15 menit aku berkendara, sampai juga di sekolah. Aku berjalan menuju kelas tempat dulu aku mengajar.

"Kejutan!" seru semua orang yang berada di sana.

Ruangan kelas dihias dengan beraneka bentuk balon, ada kue tart kecil di atas meja.

"Selamat ulang tahun, Bu guru." Clara menghampiriku memberi setangkai mawar.

"Terimakasih, sayang." Kucium pipi Clara.

Ada Farel di sana. Aku yakin ini semua adalah rencananya.

"Semoga panjang umur ya, Bu."

Semua guru di sana mengucap selamat. Kue pun di potong, dan sebagai acara penutup, mereka menyampaikan salam perpisahan.

Farel mendekat ke arahku. Namun, sebelum ia semakin dekat aku meminta izin untuk pamit pulang.

Aku keluar menuju tempat parkir. Ternyata Farel belum menyerah, ia berlari mengejarku.

Saat hendak ku menyalakan mesin motorku, ia mengambil kuncinya.

"Sini, Rel!" pintaku.

"Masih belum terlambat, Ra. Kita bisa meneruskan mimpi yang tertunda."

"Mimpi kita sudah hancur sejak lima tahun lalu."

Farel berusaha menjamah tanganku, namun aku menghindar.

"Lupakan aku, Rel. Aku sudah akan memulai hidup baru. Biarkan aku memperbaiki yang telah hancur dengan menjadi seorang istri."

"Kenapa harus dengan orang lain? Aku akan lebih mengerti keadaanmu, Ra. Apa dia tahu kalau kamu korban pemerkosaan?"

Aku tertunduk mendengar kalimat itu.

"Maaf," lirihnya.

Bagaimana kak Alvin tidak tahu, kalau pemerkosa itu adalah dirinya.

"Kembalikan kunciku!" Sekali lagi aku memohon.

"Tidak, Ra. Sebelum kamu meyakinkanku kalau sudah tidak ada cinta di hatimu untukku."

Harus dengan apa? Meyakinkan hati ini saja susah, kamu membuatku semakin serba salah. Aku tidak bisa terus berlama dengannya seperti ini. Ku tuntun motor tanpa kunci, berusaha meninggalkan Farel yang terus memegangi belakang motorku.

"Cukup, Rel. Hentikan! Kita bukan anak remaja lagi. Bersikaplah lebih dewasa."

"Itu yang sejak tadi ingin aku sampaikan, berhentilah kekanak-kanakan. Berdamai dengan hati macam apa, kalau harus mengorbankan perasaan cinta?"

"Aku akan menikah, Rel. Lusa! Dan aku akan mencintai suamiku," tegasku.

Ia terdiam, untuk pertama kalinya aku berkata kasar pada lelaki yang dulu kusebut pacar. Ku ambil paksa kunci dari tangannya, dan memasukan di lubang kunci motorku.

"Lima tahun, Ra," lirih Farel. Membuat tangan ini kaku untuk memutar gagang kunci.

"Lima tahun aku selalu memikirkanmu, bahkan saat masih kuliah, aku selalu melihat bayangan wajahmu disetiap buku yang aku baca. Aku sudah menggapai mimpiku menjadi pengusaha muda yang sukses, tetapi aku tidak bahagia karena alasanku untuk meraih sukses belum aku miliki, kamu. Zahra."

Aku berusaha tetap menahan, agar tidak hanyut terbawa perasaan. Perasaan yang mungkin akan menggoyahkan hati untuk mengingkari janji.

Perlahan ku putar gagang kunci dan menyalakan motorku.

"Maaf. Assalamu'alaikum."

Akupun pergi meniggalkan Farel yang masih mematung. Tidak bisa terus bersamanya. Aku tidak sanggup mengelakan cinta yang semakin mendekatiku. Cinta yang dengan susah payah ku buang jauh.

****

"Muhammad Farel permana!" teriak pak Agus, guru matematikaku ketika Farel memberikanku setangkai bunga mawar dan sebungkus coklat berbentuk hati di waktu jam belajar.

"Ini hari valentine, Pak. Kaya Bapak gak pernah muda saja," sahut Farel santai.

"Bapak pernah muda, tapi tidak segila kamu. BERDIRI!" bentak pak Agus menyuruh Farel berdiri didepan kelas. Untuk kesekian kalinya ia menjadi bahan tawaan teman sekelas, dan aku yang menanggung malunya.

"Kamu gila," ucapku sembari memakan coklat pemberiannya di belakang sekolah.

"Aku gila karena kamu," jawab Farel mencubit mesra pipi ini.

"Aku gak sabar lulus SMA, kuliah, trus ngelamar kamu."

"GeEr, siapa yang mau dilamar cowok gila kaya kamu," candaku.

"Kalau sampe kamu berani nolak aku, besoknya lagi aku akan mati." Farel setengah mengancam. Dan ancaman itu berhasil membuatku takut.

"Kalau kamu mati, nanti siapa yang bisa bikin aku kesal lagi?" Aku pura-pura merajuk.

"Maaf!" Farel menggelitik pinggangku.

"Apaan, sih. Hentikan! Geli tau!"

"Farel, geli!"

Ia tidak menghiraukanku, tangannya terus menggelitik sampe aku menyerah dan memaafkannya.

"Zahra!" Bunda menyentuh pundakku, membuyarkan lamunanku tentang Farel.

"Alvin sudah menunggu. Kita berangkat sekarang?"

Aku hanya mengangguk.

Ombak terus menerus menerjang karang hatiku, berusaha meruntuhkan ketegarannya. Aku ingin mengikuti jejak pasir yang bersatu dengan ombak. Namun, saat ini aku sedang membentuk tebing kokoh untukku membentengi diri dari badai yang sesekali bisa menerjang.

Kujumpai kak Alvin duduk ruang tamu. Tidak memakan waktu lama lagi kami langsung berangkat kerumah kak Alvin.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status