Share

KEJADIAN YANG MASI MENEKAN

Aku segera mengambil wudhu untuk salat Dhuha dan istikharah, lalu aku lanjut membaca Al-Qur'an untuk lebih menenangkan hatiku.

Suara Adzan dzuhur pun berkumandang, aku ambil wudhu lagi lalu salat dan lanjut membaca Al-Qur'an lagi.

Tanpa henti terus mencari secercah salju untuk menyejukan hati ini yang terasa gersang.

"Sudah dulu ngajinya, kamu makan dulu," lirih Bunda, aku bahkan tidak menyadari kalau sejak tadi Bunda ada di sampingku.

Kututup kitab suci di depanku, lalu ku peluk Bunda dengan begitu erat, enggan sekali rasanya aku melepaskan pelukan ini.

"Bunda bisa merasakan apa yang sekarang sedang berkecamuk dihati, Zahra. Apa Zahra masih mencintai Farel?"

Masih dalam pelukan aku mengangguk.

"Tapi tidak lebih besar cinta Zahra kepada Allah, kan?"

Aku terus mengangguk hingga tangispun pecah.

"Kamu pasti tahu, kan? Kisah Khadijah binti Khuwalid, Saudah binti Zam'an, Zainab binti Khuzaimah. Mereka adalah wanita pilihan yang dipercaya Allah untuk menerima ujian begitu berat," ucap Bunda, melepaskan pelukanku lalu mengusap airmata yang berlinang.

"Tapi aku tidak sekuat mereka, Bun!"

"Kalau Allah sang maha agung saja percaya akan kemampuanmu, kenapa kamu tidak meyakinkan hati.

"Bun..." kupeluk Bunda sekali lagi.

"Aku pasti bisa. Tanamkan itu dalam dirimu, bukankah saat ini kamu sedang berjalan menuju ridhoNYA"

Aku akan terbang bersama permadani keikhlasan dan membiarkan hembusan takdir yang akan menentukan arahnya.

Entah akan kulabuhkan pada siapa hati ini, sementara pemiliknya dulu telah kembali. Farel, kenapa kamu harus datang?

****

Setelah makan siang selesai, aku disuruh Bunda membeli benang warna putih di toko pak Amin. Jarak antara rumah dan toko tidak terlalu jauh, jadi tidak memakan waktu lama untukku kembali pulang.

Sebuah mobil terparkir di depan rumahku. Mobil siapa?

"Assalamu'alaikum, Bun!" Aku langsung masuk.

"Wa'alaikumsalam," sahut Bunda.

Ada seorang dokter di samping Bunda, sedang memegang tangan beliau untuk memeriksa.

"Hai, Zahra? Aku Siska, Dokter pribadi keluarga almarhumah Pak Handi dan Bu Liliana, orang tua Alvin. Aku disuruh Alvin untuk datang kesini memeriksa keadaan Bu Aminah," sapa Dokter Siska sementara tangannya mulai memasukan peralatan medisnya ke dalam tas.

"Kondisi ibu semuanya baik. Asal jangan telat makan lagi, ya!" Dokter Siska memberi nasehat.

Selesai memeriksa Bunda, Dokter Siska bergegas untuk kembali pulang.

Kamu begitu memperdulikan Bundaku, kak. Sampai-sampai kamu mengirim Dokter kesini. Inikah salah satu cara kamu menyentuh hati ini? Hati yang dulu kamu lukai...

"Coba Bunda tebak apa yang sekarang kamu fikirkan," terka Bunda tersenyum sambil menatapku.

"Apa?" Aku membalas senyuman Bunda.

"Bunda yakin hati kamu sedang memikirkan kebaikan Alvin, kan?"

Ku tundukan kepala, tidak mau Bunda melihat wajah yang sedang dirundung pilu ini.

"Alvin sedang berusaha menjadi hamba yang lebih baik, Ra.

"Bunda lebih setuju kalau aku sama kak Alvin?"

" Memberinya kesempatan, sama seperti membantunya berjalan dijalan Allah. Tidakkah itu baik untuk kamu yang sekarang sedang mencari ridho Allah"

" Tapi Bun,,,"

"Bunda hanya tidak ingin kamu mengingkari janji yang kamu buat sendiri. Kamu sudah menerima Alvin sebagai calon suamimu, kalau kamu sampai berubah fikiran karena hatimu masih mencintai Farel, Bunda tidak bisa membantu kamu mengatakannya pada Alvin, kamu harus mengungkapkannya sendiri, Bunda tidak tega," tegas Bunda. Dan aku sangat mengerti akan maksudnya.

***

Sungguh lelah hati ini, ingin sekali aku mengikuti sang mentari yang sudah mulai meninggalkan siang, menumpahkan cahayanya pada sang rembulan. Namun, sepertinya malam ini rembulanpun enggan nampak, menjadikan malam berkabut awan mewakili perasaanku yang kian mendung.

Gerimis menjelang subuh, menyisakan tetesan embun di pagi hari. Dedaunan begitu segar dipandang mata. Andai hati ini bisa sesejuk itu.

"Kamu jangan pulang terlambat, ya! Hari ini Alvin akan datang bersama ustadz Iman untuk membicarakan pernikahan kalian," ucap bunda mengingatkanku. Pagi ini aku ingin pergi mengajar.

"Iya, Bun!" jawabku, sambil menghabiskan nasi goreng dihadapanku.

Setelah pamit akupun langsung pergi kesekolah Paud tempatku mengajar. Di sana semua muridku sudah menunggu. Melihat kedatanganku mereka berhamburan dari tempat duduk berlari memelukku.

Seperti biasa, bercanda gurau dengan anak-anak adalah hal yang membuatku bisa tertawa lepas saat ini. Hingga tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aku harus kembali pulang dan bersiap untuk bertemu dengan kak Alvin.

"Clara, Mbak yang biasa jemput kamu belum datang?" Aku menghampiri salah satu muridku yang masih berdiri didepan pintu.

"Iya, Bu!" jawabnya.

Aku pun mengajak Clara duduk di kursi taman tempat para murid biasa bermain.

Kami bernyanyi Asmaul husna sambil menunggu seseorang datang menjemputnya.

"Clara, kamu di sini?" Suara seorang lelaki mendekat ke arah kami. Begitu aku mengengok. Farel? Dia Farel.

"Zahra," ucap Farel seakan tak percaya.

Clara merangkul tubuh Farel minta digendong.

"Maaf ya sayang, paman telat." Farel mendaratkan ciuman dipipi clara.

Ketika aku hendak pergi, Farel meraih tanganku, tetapi aku langsung menepisnya.

"Maaf," lirihnya.

"Zahra, apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?" tanya Farel sekali lagi menghentikan langkahku.

"Nabi Ibrahim sangat mencintai anaknya, Namun beliau tidak berani melawan perintah Allah untuk menyembelih anak kesayangannya itu."

"Tapi aku tidak menyuruhmu melawan perintah Allah, Zahra. Aku hanya meminta kamu untuk mengakui perasaanmu terhadapku dan membatalkan pernikahanmu."

"Aku sedang belajar berdamai dengan hatiku, Rel. Aku tidak mau melawannya lagi dengan menolak jalan takdir yang sudah Allah beri untukku.

"Kamu tahu aku, Ra! Aku bisa melakukan apa saja hanya untuk mendapatkanmu, kamu ingat itu, kan!" teriak Farel, Namun aku terus melangkahkan kakiku .

"Aku mohon, maafkan aku. Assalamu'alaikum!" Aku berlari meninggalkan Farel dan Clara.

Aku memang akan selalu ingat hal-hal bodoh yang pernah Farel lakukan saat mengejar cintaku. Dia nekat meminjam pengeras suara dan menghebohkan seisi sekolah dengan berteriak di tengah lapangan "I love you, Zahra". Atau, ketika kami marahan, dia meminta tolong guru olahraga kami untuk menyuruhku memaafkannya, aku begitu malu, membuatku jadi terkenal dikalangan para guru sebagai julietnya Farel. Kekonyolannya dan perhatiannya itu yang membuatku sulit untuk melupakan Farel.

****

Desiran dihati masih terasa sama, yang dulu aku sebut cinta. Namun, aku juga tidak bisa mengingkari janjiku kepada lelaki pemberi gamis yang saat ini aku kenakan. Ku rias wajah ini sesederhana mungkin, tidak ingin mengundang syahwat seperti dulu aku berdandan.

Aku keluar menuju ruang tamu, ternyata di sana sudah ada kak Alvin dan ustadz Iman.

"Silahkan diminun!" Bunda datang menyuguhkan minuman, kemudian duduk di sampingku.

"Terimakasih sudah mau memakai pemberianku," lirih kak Alvin.

"Iya," jawabku singkat.

"Zahra, apa bersedia kalau pernikahannya dilaksanakan 2 minggu lagi?" tanya Ustadz Imam tanpa basa-basi.

Sesingkat inikah? Aku harus bersanding dengan kak Alvin, apa aku bisa membuang fikiranku tentang Farel hanya dalam waktu 2 minggu, sementara cinta ini telah tersiram kembali setelah sebelumnya kubuat layu.

"Zahra bersedia pak ustadz!" jawab Bunda, memegang tangan yang sedikit gemetar ini.

Aku menoleh ke arah Bunda, melihatnya tersenyum sambil mengangguk meyakinkanku.

"Zahra, mau mahar apa?"

"Wanita yang paling berkah, ialah yang mudah maharnya. Izinkan aku menjadi istri pembawa keberkahan suami dengan tidak mempersulit maharku."

"Alhamdulillah!" seru kak Alvin dan Ustadz Iman berbarengan.

Hari pernikahan sudah ditentukan, semua yang mengurus dari pihak kak Alvin karena akan diselenggarakan di rumahnya.

Sekali lagi aku pasrahkan hidupku padaMU ya Allah, Engkau yang memberiku hidup baru ketika sebuah gunting sengaja aku goreskan tepat dinadiku.

Aku ingin mati saja. Ayah meninggalkanku sendiri dalam kamar setelah memboyong tubuhku dari semak-semak tempat kak Alvin menodaiku, aku dibaringkan di atas ranjang. Melihat ada gunting dimeja, aku nekat untuk mengakhiri hidupku.

Astagfirullah.

Betapa bodohnya aku saat itu.

"Terimakasih ya, Nak! Bunda yakin kalian akan menjadi keluarga yang sakinah," ucap Bunda, selepas kepergian kak Alvin dan Ustad Iman.

Bagaimana aku bisa melakukan kewajibanku sebagai seorang istri, nanti? Apakah kak Alvin bisa menghilangkan rasa takut yang sejatinya kak Alvin lah pembuat takut itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status