Hany terkejut saat melihat jam sudah pukul sebelas lewat, ia takut besok pagi kesiangan, karena jam enam pagi harus sudah ke dermaga menunggu speedboat. Dilihatnya suaminya sudah tertidur nyenyak, Hany segera ikut naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Halim. Namun, matanya enggan terpejam.
Halim yang merasa terganggu dengan ulah istrinya yang tidak mau diam, akhirnya membalikan badan menghadap sang istri.
"Kalau enggak bisa tidur kasih tahu," ucap Halim sambil memeluk sang istri.
Hany hanya tersipu malu, dia tidak akan bisa tidur kalau tidak berada di pelukan suaminya, hal itu yang membuatnya selalu mengikuti kemana Halim pergi.
Tak lama keduanya kembali terlelap, hingga alarm membangunkan Hany. Wanita itu melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul empat tiga puluh menit, itu artinya sebentar lagi adzan subuh berkumandang.
Saat menjelang subuh di desa selalu ramai tempatnya di parit kecil di belakang rumah, warga menampung air untuk mencuci baju, karena saat masih subuh air pasang belum surut.
Hany tersenyum saat melihat mak Wati yang sedang mengisi drum dengan air, wanita itu menghampirinya.
"Mak tumben sendiri?" tanya Hany sambil memegang plastik yang buat nampung di keranjang.
"Eh, Ibu Hany. Saya kira siapa," kata Wati sopan sambil tersenyum.
"Iya tumben sendiri biasa dibantu Ririn?" tanya Hany lagi
"Tadi sudah saya bangunin, Bu! masih ngantuk katanya," jawab Wati
"Begini Mak, adik saya Adam sedang mencari pengasuh buat jaga anaknya, kalau orang sini ada yang mau tolong bilang ya," ucap Hany
"Oh, iya InshaAllah nanti kalau ada yang mau saya suruh langsung menemui ke rumah Bu Hany," ujar Wati
"Terimakasih loh, Mak. Ya sudah saya mau siap-siap mau ke kota dulu," pamit Hany sambil tersenyum tulus.
Setelah kepergian istri juragan beberapa warga mendatangi mak Wati untuk menanyakan ada apa tumben pagi-pagi Bu Hany sudah menemuinya.
"Enggak ada cuma tanya basa-basi saja," jawab Wati karena tidak ingin menjadi perbincangan tetangganya.
"Walah, kirain ada apa!" kata salah satu tetangga biang gosip di samping rumahnya.
Mak Wati hanya tersenyum tipis, dari dulu dia tidak suka menjadi bahan perbincangan tetangganya, entah itu baik atau buruk yang jelas dia tidak suka. Baginya hidupnya kini susah ngapain mengurusi kehidupan orang lain.
Menjelang pagi, Ririn menyambut hari dengan semangat, bangun pagi ikut membantu Mamak menyiapkan sarapan dan minum untuk Bapak dan ketiga adiknya.
Hanya ubi kayu yang dicincang dadu kemudian dikukus, setelah masak baru ditaburi kelapa parut. Ditemani dengan teh hangat buatannya, mereka menikmati dengan lahap rasa gurih dari kelapa parut yang dicampurkan garam makin menambahkan rasa enak sarapan pagi ini.
Mamak datang sambil membawa tembakau yang direndam pakai air, setelah itu langsung dibalurkan ke kaki dan tangan. Saat di sawah banyak binatang yang menghisap darah, tapi bukan vampir. Pacet kalau kata orang desanya, biasa ia akan menempel di kulit, setelah kenyang menghisap darah dia akan lepas sendiri.
Takut? tentu tidak, karena Ririn sudah terbiasa dengan binatang itu. Kata Bapak biar sehat karena pacet dan lintah itu minum darah kotor. Namun, gadis itu antara percaya dan tidak.
Ririn melangkahkan kakinya untuk ke sawah, karena ini bukan hal pertama untuknya. Gadis itu sudah tidak sedih lagi karena tidak bisa melanjutkan sekolah, tapi kini ia harus mencari ongkos untuk mencari kerja di kota dengan ijazah yang dimilikinya.
Kata mbak Minah di kota itu untuk jaga toko biasanya tamatan SMA, tapi gadis itu yakin asal ia mau berusaha pasti akan ada jalannya.
Seperti biasa sampai di sawah mereka langsung mengambil padi yang akan ditanam, ada yang bagian dawud, ada juga yang menanam.
Jujur sampai sekarang Ririn masih bingung, kenapa saat ia menanam padi harus jalan mundur? kenapa tidak menyamping! kata mamak biar padinya yang sudah ditanam tidak terinjak lagi.
Saat waktu istirahat mereka tidak berpatokan dengan jam, tapi selalu melihat jika matahari sudah tepat diatas kepala. Berarti itu jam dua belas siang.
Ririn segera pergi ke parit kecil dekat sawah, saat yang lain sedang berkumpul istirahat sambil makan siang.
"Rin, sini makan!" teriak mbak Minah memanggilnya untuk makan siang dengan yang lainya.
Gadis itu hanya tersenyum, tapi lebih baik dia memancing saja. Biasanya di parit banyak ikan gabus, dicarinya ulat yang ada di daun pisang untuk dijadikan umpan.
Pancingnya sudah diikatkan di bambu memakai tali pancing yang dikasih Bapak kemarin, setelah itu ia menancapkan bambu ke tanah agak dalam. Harapannya nanti saat sore ada ikan yang memakan umpanya.
Mbak Minah memberikan rantang kepada Ririn, ia menyisihkan makanan untuk gadis itu. Nasi dengan sayur gulai pucuk ubi dan tempe goreng menu siang ini yang dikirimkan Uwak ke sawah.
Dengan lahap Ririn menikmati makan siangnya dengan angin yang sepoi-sepoi. Mbak Minah duduk di sampingnya.
"Nduk, besok sepertinya sudah siap karena yang ikut banyak." Kata Minah sambil makan tempe goreng.
"Iya mbak, semoga nantinya ada lagi," jawab Ririn sambil mengunyah makanan.
"Rin, katanya adik mbak bosnya lagi mencari orang untuk bersih-bersih di rumahnya. Apa kamu mau?" tanyanya. Ririn tanpa ragu langsung mengangguk, entah mengapa dia begitu lega mendengarnya.
"Kalau mau besok lusa kamu pergi ke kota, masalah ongkos nanti pakai uang mbak aja dulu," ujar Minah sambil tersenyum.
"Beneran mbak, makasih ya mbak nanti kalau udah gajian aku ganti," ucap Ririn sambil tersenyum.
"Alah ... gayamu Nduk! kerja saja belum sudah ngomong gaji," ledek Minah sambil tertawa.
Ririn hanya tersenyum menanggapi ledakkan mbak Minah barusan, kini mereka mulai bekerja lagi untuk menanam padi.
Setelah selesai para pemborong mulai pulang, tapi Ririn ingat segera berlari kecil ke arah parit. Seketika matanya berbinar saat melihat tali pancingnya bergerak.
Perlahan ditariknya bambu yang menancap di tanah tadi, setelah itu Ririn menariknya dengan pelan. Gadis itu begitu senang ternyata dapat ikan gabus dengan ukuran sedang. Kini dilihatnya pancing yang lainnya, ia tersenyum karena dapat ikan mujair.
"Alhamdulillah, nanti bisa buat lauk untuk adik-adiknya di rumah," kata Ririn dengan lirih.
Hari semakin sore Ririn segera pulang, takut kemalaman di jalan. Sampai rumah dia segera membersihkan ikan yang didapatnya tadi.
Rini sedang mencari kayu bakar untuk masak sore ini, Ririn yang melihat adiknya seperti kesusahan menarik batang kelapa kering berniat membantunya.
"Dek, .kayu bakarnya habis ya?" tanya Ririn sambil menghampiri adiknya.
"Iya Mbak, kata Bapak besok baru cari," jawab Rini
"Sini biar mbak saja, kamu ambil golok saja sana!" perintah Ririn
Tak lama Rini sudah datang membawa golok dan memberikan kepada Kakaknya, Ririn segera membelah batang kelapa yang kering untuk dijadikan kayu bakar.
Karena sudah merasa cukup Ririn segera mengangkatnya ke dalam rumah, dilihatnya adiknya sedang memotong kacang panjang untuk disayur.
"Dek, mbak mandi ya," pamit Ririn kepada Rini
"Iya Mbak," jawabnya sambil memotong kacang panjang yang tinggal sedikit lagi.
Ririn dan Rini dari kelas dua SD sudah diajarkan memasak oleh Mamaknya.
Lama-kelamaan Ririn dan adiknya sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah, hal itu yang membuat Mamaknya kadang menyuruhnya untuk memasak.
Mungkin bagi gadis itu sudah terbiasa bekerja berat, tapi untuk teman sebayanya merasa belum waktunya. Ririn jarang ikut berkumpul seperti yang lainnya, dia lebih suka menghabiskan waktunya untuk ke sawah entah memancing atau memetik hasil panen kedua orang tuanya.
Menjelang magrib Ririn duduk santai sambil melihat remaja di desanya bermain volly di lapangan samping rumahnya, tak lama ada seseorang datang sambil tersenyum menghampirinya.
"Rin," sapa Bagas sambil duduk di samping gadis yang begitu ia rindukan.
Pria itu Bagas namanya anak juragan Halim, Ririn yang terkejut hanya tersenyum tipis, apalagi saat ada beberapa remaja dan tetangganya melihatnya sedang mengobrol dengan Bagas.
"Kamu masih sama, enggak perubahan, Rin." kata Bagas sambil tersenyum.
"Lah, emangnya harus berubah seperti apa Mas?" tanya Ririn sambil menatap ke arah lapangan.
"Kamu masih Ririn yang dulu aku kenal," jawab Bagas
Ririn hanya tersenyum tipis, baginya apa yang harus dirubah. Dia hanya ingin merubah nasib perekonomian keluarganya, Ririn bukannya tidak tahu kalau Bapak memiliki hutang kepada Juragan, hingga setiap panen janggung maupun padi harus di jual kepada Pak Halim.
Gadis itu berharap kalau nanti ada modal bapaknya akan menanam jagung maupun padi pupuknya beli sendiri. Selama ini Bapak selalu dapat pinjaman pupuk dari Juragan dan akan dibayar saat panen.
Ririn melihat adiknya datang menghampirinya tersenyum, Rini menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagas hanya terkekeh melihat gadis kecil di depannya.
"Mbak Mamak suruh pulang," bisik Rini di telinga Kakaknya.
Ririn tak menjawab, tetapi dia menganggukkan kepalanya. Kedua gadis anak Pak Yanto itu segera pamit kepada Bagas, Ririn berjalan beriringan dengan adiknya.
"Mbak, siap-siap sampai rumah kena ceramah mama Dede," ujar Rini sambil ngacir mendahului kakaknya.
Ririn sudah saat masuk lewat pintu belakang sudah ditatap tajam oleh Mamanya, hingga ia susah untuk menelan salivanya. Dia bingung kesalahan apa yang sudah dibuatnya hingga ratu di rumah ini terlihat begitu marah padanya.
Mamak menghampiri Ririn, ia menarik telinga putrinya hingga gadis itu tak berani berteriak ataupun untuk mengaduh. Setelah tangannya pegal barulah wanita paruh baya itu melepaskan telinga anak bungsunya.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu, Rin?" tanya Mamak sambil menunjuk wajah Ririn pakai centong nasi.
Ririn hanya menggelengkan kepalanya, ia takut untuk menjawab, Mamaknya akan semakin emosi nanti kepadanya. Wanita paruh baya itu memukul dadanya beberapa kali membuat anak di depannya panik.
"Mak," kata Ririn
"Mamak mohon jauhin Bagas, Nduk. Kita tidak sama dengan keluarganya, tetangga sudah mulai menggunjingkan kedekatanmu dengan anak Juragan Halim, Rin!" seru Mamak sambil terisak.
Ririn tertegun mendengarnya, jadi hanya karena ini ia dipanggil suruh pulang. Gadis itu tak ingin melihat wanita yang sudah melahirkannya itu bersedih.
"Mamak enggak usah khawatir, Ririn akan menurut dan itu demi kenyamanan keluarga kita," ujar Ririn sambil mengusap air matanya.
*****
Sabar ya Rin …. Tunggu episode selanjutnya
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
Malam ini seperti biasa, aktivitas di rumah Ririn mulai menyiapkan makan malam. Saat sore tadi mamak bilang suruh rebus beton(biji nangka), biar bisa buat cemilan malam. Makan malam ini pakai lauk ikan goreng dari hasil pancingan sore tadi, tapi yang membuat selera makan lebih nikmat ada sambal terasi dan sayur bening kacang panjang. Setelah selesai makan Ririn ikut membantu Mamaknya menyimpan sisa nasi ke dapur, sekalian dia bikin minum buat bapak kopi hitam dengan gula satu sendok takar. Gadis itu menghidangkan beton di mangkuk, bapak hanya tersenyum sambil menikmati rokoknya saat melihat apa yang dibawa anaknya. "Mbak...kok dapat beton dari mana?" tanya Reno sambil mengupas kulit beton. "Mamak tadi yang mengambi
"Kamu mau menculik anak saya, hah!" Bentaknya. "Eh copot! siapa yang mau culik, Mas. Anak ini kehilangan Bundanya, makanya saya mau mengantarnya. Main tuduh culik saja!" kata Ririn kesal. "Dasar gadis aneh!" Umpatnya sambil pergi menggendong putrinya meninggalkan Ririn yang mulutnya masih komat-kamit mengumpatinya. "Untung ganteng, tapi sayang kaku seperti kanebo," gerutu Ririn Tanpa menunggu lama Ririn berbalik, tapi ia dikejutkan dengan munculnya ibu Hani istri juragan Halim. "Rin, sini ikut Ibu," ucap Hany sambil tersenyum menarik tangan gadis itu menuju ruangan dimana tempat keluarga besar juragan berkumpul. Deg, dada Ririn terasa sesak saat melih
Menjalani memang tak mudah memutuskan, itulah yang kini melintas di otak Ririn, sejak dia batal ke kota untuk mencari kerja, gadis itu memantapkan hatinya untuk membantu kedua orang tuanya di sawah. Sampai di rumah dia melihat Rini sedang mencuci piring bekas sarapan tadi, adiknya hanya tersenyum melihat sang Kakak yang baru pulang. "Mbak mandi sana, kok malah santai," kata Rini sambil menyusun piring yang sudah bersih. "Dek, nanti kalau mbak mau ke kota apa kamu enggak apa-apa?" tanya Ririn sambil menatap punggung Rini yang sedang sibuk menata gelas di rak. "Iya nggak papa, Mbak. Kata Bapak batal, tapi Juragan menyarankan bisa ke kota kerja sama mertuanya, apa Mbak mau?" tanya Rini. Ririn terdiam, walau dalam hati dia i
"Ririn pingsan, Pak!" seru mak Wati "Kenapa bisa, Mak?" tanya Pak Yanto sambil bertanya kepada istrinya. Tak lama Ririn membuka matanya, dilihatnya banyak tetangga dan juragan juga, gadis itu mencoba bangun walau kepalanya masih pusing, Mak Wati memberikan teh hangat untuk putrinya. "Kamu kok bisa pingsan di kandang kambing, Nduk?" tanya Mak Wati. "Tadi Ririn lihat sesuatu yang mengerikan, Mak," jawab Ririn lemah "Gendruwo lagi, Mbak?" tanya Rini. Ririn hanya mengangguk sambil bergidik ngeri ingat apa yang dilihatnya tadi, tak lama para warga pamit begitu juga dengan juragan sedangkan Adam menatap gadis yang juga menatapnya dengan datar. "Sekarang kamu istirahat, biar besok enggak telat," kata Mak Wati. "Iya Mak," jawab Ririn. Tak lama Ririn berjalan ke kamarnya untuk istirahat. ***** Mentari pagi mulai mengintip dari celah-celah langit, dedaunan yang masih basah terlihat segar terselimuti embun.
Mobil yang dikemudikan oleh mang Ujang, tanpa terasa sudah sampai di depan rumah berlantai dua. Ririn begitu takjub melihat halaman yang luas dan taman dipenuhi berbagai bunga yang terlihat terawat. Adam selama di mobil hanya diam, pria itu kembali lagi dingin sejak bertemu dengan mantan istrinya di Bandara tadi. Melihat majikanya cuek kepada wanita yang duduk di sebelahnya, mang Ujang mengajak Ririn turun, sedangkan gadis itu tidak menyadari kalau pria di sebelahnya tadi sudah tidak ada lagi di mobil. "Mang, ini rumah Ibu Mirna?" tanya Ririn sambil menatap pintu besar di depanya. "Iya Non," jawab mang Ujang. "Mang, jangan panggil, Non. Saya ke sini mau kerja." ujar Ririn sambil mengikuti mang Ujang yang berjalan lebih dulu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti, tanpa terasa Ririn sudah hampir tiga tahun bekerja di rumah Ibu Mirna. Gadis itu setiap bulan minta tolong ke majikanya untuk mengirimkan uang gajinya ke juragan Halim. Semenjak ia merantau belum pernah sekali pulang, karena menurutnya daripada uangnya buat ongkos pulang lebih baik dikirim ke orang tuanya! apa lagi sekarang Bapak sedang ingin membangun rumah, karena rumahnya yang dulu dindingnya sudah mulai rapuh. Rumah di kampung yang dulunya hanya berdinding anyaman bambu, kini Bapak menggantinya dengan papan. Gadis itu juga begitu senang saat juragan dan istrinya berkunjung ke Jakarta. Ibu Hany mengatakan kalau keluarganya di kampung baik-baik saja dan sekarang rumahnya sudah bagus. Ririn yang mendengar itu, ingin sekali dia pulang, rasa rindu dengan
Tak lama handphone Adam bergetar, pesan dari Mamanya menyuruhnya menjemput Sasa dan membawanya ke rumah sakit tak jauh dari tempatnya berada. Adam tanpa pamit ia langsung membayar makananya, pria itu baru ingat kalau sudah meninggalkan Ririn di sekolah tadi. "Astagfirullah, kok bisa aku tinggalin gadis aneh itu!" kata Adam dengan memukul kemudi dengan keras. Sampai di sekolah Adam melihat putrinya sudah menunggunya, Sasa yang melihat Ayahnya yang datang hanya sendiri merasa sedih. "Maaf. Ayah terlambat, sayang." Kata Adam sambil menggendong putrinya. "Ayah, Bunda mana?" tanya Sasa saat masuk ke mobil Ayahnya. "Bunda, mungkin sudah ada di rumah, Nak." Jawab Adam dengan lembut
Pagi ini tak secerah biasanya, matahari tampak malu-malu menunjukkan sinarnya. Awan hitam menutupi keindahan dari pencerah bumi, pertanda akan segera turun hujan. Di kamar yang besar, Ririn sedang melihat ke arah jendela sambil termenung, entah apa yang dipikirkannya Setelah hampir dua minggu ia istirahat, dia tidak pernah lagi bertemu Adam. Pagi ini semua libur karena hari weekend. Ibu Mirna selalu mengajak cucunya untuk berjalan pagi ke taman. Tadi Ririn hendak ikut, tapi wanita paruh baya itu melarangnya karena luka di kaki dan tangannya belum kering betul. Ririn keluar dari kamar saat jam menunjukan pukul sebelas siang, rumah terlihat sepi. Dia berjalan menuju dapur, dilihatnya Bik Imah sedang membuat sesuatu. Gadis itu mendekati wanita paruh baya itu sambil mengejutkannya. "Dor," teriak Ririn mengejutkan Bik Imah. "Copot-copot, copot!" latah bik Imah sambil melempar spatula dari tangannya. "Ririn!" teriak Bik Ida yang terkena sasaran spat