Share

Meminta Pertanggung Jawaban

Alhamdulilah ya, akhirnya perjuanganmu selama hampir 4 tahun dijawab juga sama Allah. Bapak doakan semoga kamu sama bayimu sehat-sehat terus ya.”

“Amin. Ow iya Nak, kamu mau ngomongin apa?”

 “Sebelumnya, Aisyah harap Bapak sama Ibu setelah obrolan ini tidak kecewa sama Aisyah,” ucap Aisyah yang sudah mencoba memberanikan diri.

            Seketika suasana berubah menjadi senyap.

“Maksudmu apa to, Nak?”

Aisyah menarik napas dalam, “Hah, sebenarnya…aku sama Mas Bima sudah cerai, Pak Bu.”

Gelas teh yang dipegang Ayahnya seketika terjatuh, “Apa? Cerai, astaghfirullah Nak, kamu jangan becanda ya!” ucapnya memastikan.

“Ya, ini beneran?” tanya Asih-ibunya.

“Iya, Bu. Aisyah nggak becanda.” Aisyah tertunduk lesu

“Kalian kenapa bisa memutuskan untuk bercerai? Saat perjuangan kalian berdua dijawab sama Allah.”

“Bukan berdua, Bu tapi cuma Aisyah.”

“Maksud kamu?”

“Aisyah yang meminta cerai dari Mas Bima, karena Mas Bima memutuskan untuk menikah lagi dengan alasan aku tidak segera hamil.”

“Ya Allah! Nak. Kesurupan apa si Bima itu, sampai tega berbuat demikian dengan anakku,” ucap ayahnya tak kuasa menahan tangis.

“Maafin Aisyah, Pak. Sudah buat kalian kecewa, Aisyah tidak bisa menjaga pernikahan Aisyah.”

“Kamu nggak salah, Nak. Ayah yang salah telah menikahkanmu dengan lelaki tidak bertanggung jawab seperti itu.”

Asih mendekap Aisyah, “Ya Allah anakku satu-satunya, tega kamu menyakiti anakku Bima.”

“Bagaimana pun anak yang ada di kandunganmu itu adalah tanggung jawabmu, dia harus tau dan harus bertanggung jawab!” ucap ayahnya geram.

“Tapi, Pak. Aisyah takut.”

“Kamu nggak usah takut, bapakmu ini masih hidup! Sekarang juga kamu siap-siap sekarang juga kita temui si Bima! Ibu juga ikut!”

“Iya, Pak. Nak, lebih baik sekarang kamu nurut saja sama Bapak.”

            Mereka bergegas bersiap dan segera berangkat ke Jakarta untuk menemui Bima, di sisi lain Aisyah tampak khawatir, ia mengkhawatirkan respon Bima yang tidak baik dan sikap ayahnya yang tak bisa dikontrol karena ayahnya sedang marah besar serta kecewa terhadap perlakuan Bima padanya.

“Assalamualaikum. Permisi (sambil mengetok pintu).”

“Iya, sebentar (membuka pintu rumah).”

“Oh, jadi ini istri barunya Bima, mana suami kamu?” ucapnya geram.

“Aisyah,” ucap Jihan kaget.

Aisyah menatap Jihan dalam, “Tolong panggil, Mas Bima!”

“Mas, Mas Bima. Ke sini!” panggil Jihan panik.

“Iya, sebentar.”

            Bima segera keluar, betapa terkejutnya ia melihat Aisyah dan keluarganya sudah berada di hadapannya secara tiba-tiba.

“Aisyah,” ucapnya kaget.

“Dasar! Lelaki tidak bertanggung jawab!”

“Maksud bapak apa? Tiba-tiba datang ke rumah nggak sopan begini sama saya!” ujar Bima yang mulai tersulut emosi.

“Untuk orang seperti kamu, saya tidak perlu bersopan-santun! Kamu sudah tega menyakiti hati anak perempuan saya satu-satunya, asal kamu tahu saya sebagai orang tua yang membesarkannya seumur hidup tidak pernah memperlakukannya seperti itu! Sakit hati saya, LAKI-LAKI MACAM APA KAMU!”

“Oh, jadi anak kesayangan bapak ini sudah mengadu, ya! Bagus kalau bapak sama ibu sudah tau, anak bapak ini tidak bisa memberikan saya dan Mama saya kebahagiaan yang utuh jadi bukan salah saya dong! Lagian anak bapak sendiri yang minta cerai,” ucap Bima tanpa merasa bersalah sedikit pun.

“Salah! Kamu salah besar, bukan anak saya yang kurang tapi kamu nggak pantes mendapatkan kebahagiaan. Intinya sekarang kamu harus tanggung jawab, kamu harus menerima anak saya kembali!”

“Bapak.” Aisyah terkejut dengan pernyataan ayahnya

“Anak saya hamil! Dan kamu masih punya tanggung jawab penuh terhadap bayi yang ada di kandungannya itu.”

“Drama apalagi sih ini? Aisyah pasti kamu sengaja kan ngelakuin semua ini, karena Mas Bima nggak ngasi kamu harta gono-gini” ucap Jihan.

“Ucapan Jihan ada benarnya, kamu pasti sengaja kan membuat kebohongan ini! Kenapa? Kamu menyesal sudah meminta cerai, sampai kamu ngemis-ngemis kayak gini,” ucap Bima lancang.

“PLAK (satu tamparan telak mendarat di pipi Bima) berani-beraninya kamu ngatain anak saya ngemis dan pembohong! Kami ke sini hanya meminta pertanggung jawaban kamu untuk anak kamu sendiri, Bima!” ujarnya geram.

“Bapak pikir saya percaya! Kalau pun benar mungkin anak bapak dihamili sama jin kali makanya bisa hamil,” ucapnya sembari tertawa.

            Aisyah menangis dan terkejut akan respon Bima yang di luar dugaannya, ia mulai khawatir dengan anak yang ada di kandungannya itu, “Ya Allah, Nak. Cobaan apalagi ini, bahkan kamu belum lahir pun harus di hadapkan dengan Ayah yang tidak menerima kehadiranmu,” ucap Aisyah dalam hati.

Ayah Aisyah sudah sampai di puncak amarahnya, “Astaghfirullah, Bima. Kamu memang benar-benar manusia yang sudah tidak punya hati! Saya berubah pikiran untuk tidak akan menyerahkan anak saya pada iblis sepertimu. Tapi ingat! Sampai saya masih bernapas di dunia ini, jangan harap kamu bisa menyentuh atau bahkan hanya untuk melihat anakmu kelak!”

           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status