"Aku diusir Papa, Chi. Makanya aku ke sini. Mobilku juga disita Papa karena itu memang masih miliknya. Aku hanya mendapat motor butut untuk bisa datang ke sini. Rumah impian kita, sudah Papamu over kredit pada orang lain. Uang muka yang sudah masuk, dibayarkan sepenuhnya, tapi semuanya diambil Papamu, Chi. Aku tidak kebagian sepeserpun. Padahal kamu ingat 'kan, DP rumah itu tujuh puluh lima persennya adalah uangku. Tapi aku hanya gigit jari. Aku kehilangan semuanya, termasuk kamu. Cintaku ...." Rakana berucap dengan lirih. Dagunya terasa bersarang di bahuku. Bohong jika aku merasa biasa saja. Bohong jika aku baik-baik saja. Rakana membuatku kesulitan menentukan sikap.
Aku masih mematung. Aku pun baru tahu, kalau rumah di salah satu cluster itu sudah Papa urus. Enam bulan yang lalu, aku dan Rakana memang menandai satu rumah dengan uang muka sebagai tanda jadi. Rumah itu akan kami cicil setelah kami menikah dan langsung menempatinya. Namun rencana tinggalah rencana. Kenyataan tak seindah yang direncanakan. Andai Rakana tidak mencurangiku, mungkin semua masih baik-baik saja sekarang. Mungkin kami akan tetap menikah dan bersama. Tapi ... akh. Rakana yang sudah menghancurkan semuanya. "Kamu pantas mendapatkannya. Sangat pantas. Itu semua tidak sebanding, dengan rasa sakit dan malu yang harus kami tanggung. Kalau kamu merasa kehilangan, lalu bagaimana dengan aku? Hatiku hancur, Raka. Ragaku seperti dihempas dari langit ke tujuh hingga ke dasar bumi. Hatiku bahkan rasanya remuk berkeping-keping. Gak usah kamu merasa paling menderita. Dari sisi manapun, aku lah yang paling tersakiti di sini. Aku, Raka! Aku!" teriakku tapi suaraku tak cukup nyaring. Perasaan ini berbenturan. Marah, benci, kesal, tapi membuang perasaanku begitu saja pun tidak bisa. Sudut hati masih menyimpan namanya. Relung jiwa masih terendap kenangan bersamanya. Seluruh memori dipenuhi saat-saat indah kami berpacaran. Terlalu sulit melupakan tapi juga begitu sakit kenyataan. Aku harus bagaimana? "Aku minta maaf, Chi. Maaf." Suara Rakana begitu luruh. Wajahnya terasa membenam di pundakku. "Aku sama sekali tidak berniat mengkhianati kamu. Aku tidak serius dengan Faula. Aku hanya mencintai kamu. Pada Faula, hanya karena aku butuh pelarian. Itu saja. Seandainya kamu bisa aku sentuh, aku jamin, ini tidak akan pernah terjadi. Seandainya kamu memberikan apa yang pernah aku minta, hari ini pernikahan kita pasti akan tetap berlangsung. Sekali pun saat menikahi kamu, aku sudah mencuri start dan kamu tidak lagi suci. Aku tidak akan mempermasalahkan itu, karena aku sendiri yang sudah mengambilnya. Seandainya kamu mau memenuhinya sekali saja, aku tidak akan pernah mendatangi Faula, Chi. Aku hanya mencintai kamu. Hanya kamu," bisik Rakana tepat di daun telinga. "Cukup, Raka. Cukup. Aku muak mendengar semuanya. Terserah kamu mau tetap menyalahkan aku atau apa. Tapi camkan baik-baik dalam otakmu, jangan pernah samakan aku dengan Faula yang bisa seenaknya kamu tiduri. Aku menjaga apa yang memang harus dijaga. Sekarang jalani hidup kita masing-masing. Dan satu lagi, berhenti mengatakan cinta. Karena itu cuma bullshit! Lepaskan, aku mau keluar sekarang!" tegasku tak ingin lagi berlama-lama terjebak dengan Rakana. Atau dia akan terus merayu dan membual. "Chi—" "Shut up! Lepaskan aku sekarang!" Tidak ada sahutan lagi, hanya terasa gerakan kepala darinya. Pelukan Rakana masih terasa erat membelit di pinggang ini. "Lepas, Raka ...." Suaraku melemah kali ini. Jujur aku memang lelah. Tidak lagi bertenaga untuk berdebat. Perlaha pelukan yang melingkar di pinggangku mulai mengendur lalu terlepas. Tanpa ingin menoleh, aku melangkahkan kaki menuju pintu. Memutar kuncinya dengan mudah hingga pintu dapat dibuka. Buru-buru aku keluar dan berjalan cepat sampai kembali ke dalam kamar utama. Setelah menutup pintu, aku tersentak kaget. Punggungku mentok membentur daun pintu di belakang, dan baru menyadari jika lampu kamar sudah terang benderang. "Dari mana kamu?" tanya Bang Fahad mengagetkanku. Ia sudah terduduk di kasur sana sambil menatap lurus padaku. "Da—ri dapur, haus," jawabku cepat. Meredakan segala kekagetan dan juga gugup yang melanda, aku lekas melangkah menuju tempat tidur. Rasanya kayak maling kepergok. Huh! Aku berusaha bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa antara aku dan Rakana tadi. Karena memang tidak ada apa-apa 'kan? Pelan-pelan aku naik ke kasur dan membenahi selimut menutupi kaki. Berperang melawan kegugupanku sendiri. Akhirnya aku kembali terbaring di tempat tidur. "Astaga!" pekikku kaget luar biasa. Mataku membola karena Bang Fahad tiba-tiba berada di atasku saat aku memutar tubuh hingga terlentang. Kedua tangan kekar itu mengungkung tubuhku berada di bawahnya. Refleks kedua tanganku menyilang di depan dada. Manik hitam pekat Bang Fahad menatapku cukup tajam. Tatapannya begitu mengunci dan aku terpaku dibuatnya. "Haus? Haus belaian dari mantan pacar yang sekarang menumpang di rumah saya maksudnya?" tanyanya terdengar sangat kurang ajar. Mataku kian membeliak lebar. "Jaga mulut anh——" Sanggahanku terpotong karena jari telunjuk Bang Fahad menempel tepat di bibirku begitu cepat. Sorot matanya makin tajam menatap. Seolah menelisik tiap inchi dari wajahku ini. "Dengar! Sejak saya bercerai sepuluh tahun yang lalu dan menyandang status duda sekian lamanya, saya tidak pernah lagi tertarik dengan sebuah pernikahan. Saya menikmati kesendirian dengan penuh rasa bahagia. Tapi hari ini, malam ini, semua harus berubah. Gara-gara kamu dan Rakana, saya harus mengambil keputusan ini. Saya harus menikahi kamu dan menggantikan Rakana menjadi suami kamu. Gara-gara kalian, saya harus terikat lagi pada satu hubungan sakral. Kalau bukan demi nama baik keluarga kami, saya tidak akan mau menikahi kamu. Lebih baik saya menduda seumur hidup daripada harus menikah dengan bekas perempuan dari adik sendiri!" ujar Bang Fahad yang lagi-lagi menyudutkanku. Rahangku mengeras mendengarnya berkata demikian, seiring dengan jarinya yang telah menjauh dari bibirku. Adik dan kakak ternyata sama. Sama-sama brengseknya. "Aku bukan barang. Aku dan Rakana memang lama berpacaran tapi aku berani bersumpah, kalau aku tidak semurahan yang Anda katakan! Aku tidak pernah dipakai Rakana!" sahutku. Rasanya lelah juga membela diri tapi tetap disudutkan. Satu sudut bibir Bang Fahad tertarik ke atas. "Oh ya? Kalau begitu, layani saya malam ini. Buktikan kalau kamu memang bukan bekas pakai Rakana. Buktikan, kalau saya memang tidak mendapat ampas! Kalau ucapan kamu benar, baru saya akan percaya dan mencoba menerima pernikahan ini!" .*************Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut dari celah gorden yang tidak sepenuhnya tertutup. Udara vila masih dingin, tapi kehangatan tubuh Bang Fahad yang memelukku dari belakang membuatku enggan beranjak. Dadanya naik-turun perlahan di punggung, napasnya teratur dan damai.Aku menoleh pelan, memandangi wajahnya yang tertidur.Lelaki ini ....Lelaki yang dulu pernah membuatku pergi sejauh mungkin, kini jadi alasan terbesarku untuk kembali. Luka yang dulu menyakitkan, entah sejak kapan berubah menjadi pijakan untuk bangkit dan percaya lagi.Pelan-pelan, aku menggenggam tangannya yang melingkar di pinggang. Tak ingin melepas. Tak ingin lupa.“Kamu sudah bangun?” tanyanya dengan suara serak khas pagi hari.Aku mengangguk kecil. “Iya. Tapi aku belum mau bangun. Boleh?”Dia mengeratkan pelukannya. “Boleh. Mau sampai siang juga boleh. Mau sampai kita tua juga boleh.”Aku tersenyum, menutup mata sejenak. Meresapi rasa tenang yang bahkan tak pernah kuduga bisa kurasakan lagi bers
Seharian kami menghabiskan waktu di luar vila. Hingga tiba malam hari dan rupanya aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh dari dapur.Begitu keluar dari kamar, aku menemukan Bang Fahad berdiri dengan celemek bunga-bunga dan di tangannya ada mixer yang sedang menyala.“Abang ngapain?” tanyaku sambil menahan tawa.Dia menoleh dengan ekspresi penuh percaya diri, walau sedikit tepung menempel di pipinya. “Saya lagi bikin kue buat istri tercinta.”Mataku menyipit. “Bikin kue? Emang bisa?”“Bisa dong. Bisa gagal juga sih, tapi ... niatnya aja udah manis kan?”Aku tertawa sambil berjalan mendekat. “Tepungnya aja nempel di hidung. Udah kayak badut ulang tahun.”Dia nyengir, lalu tiba-tiba mencolekkan sedikit adonan dalam wadah ke ujung hidungku. “Nah, sekarang kita kembar.”“Bang! Ini lengket tau!” Aku coba membersihkannya, tapi dia malah kabur ke ruang tengah setelah menyemburkan lagi tepung ke arahku, membuatku harus mengejarnya sambil tertawa-tawa.“Kalau kamu bisa nangkep sa
Usai sarapan dan sedikit bersantai di teras vila, Bang Fahad menggandeng tanganku menuju dermaga kecil di belakang vila. Terdapat sebuah perahu kayu mungil sudah terikat di sana, mengapung tenang di atas danau yang berkilau di bawah sinar matahari siang.“Mau keliling danau pakai perahunya?” tanyanya sambil menatapku penuh semangat.Aku menatapnya ragu. "Abang yakin bisa mendayung? Jangan-jangan baru mulai udah nyangkut di tengah.”Dia tertawa renyah, lalu meraih pelampung untukku. “Kalau bersama kamu, saya mendadak seperti petugas damkar, apapun pasti bisa saya lakukan."Kami lantas naik ke perahu pelan-pelan. Perahu mulai bergerak perlahan, menyisakan riak kecil yang tenang di permukaan air.Aku duduk di ujung yang berhadapan langsung dengan Bang Fahad, sementara dia mulai mengayuh dengan tenang dan teratur.Angin menerpa wajah kami, lembut dan menenangkan. Pemandangan sekeliling terasa seperti lukisan hidup, pepohonan rindang, suara burung dari kejauhan, dan sinar matahari yang men
Satu bulan usai malam paling romantis itu, kami akhirnya berangkat. Keadaanku tiap harinya kian membaik. Aku sudah mampu berjalan dengan normal lagi, meski sesekali masih ada sakit yang terasa.Hari ini kamu pergi. Bukan ke luar negeri, bukan pula ke kota besar yang ramai dan gemerlap. Hanya ke sebuah vila tersembunyi di daerah perbukitan, tempat di mana suara alam jauh lebih lantang daripada deru kendaraan. Tempat yang dipilih Bang Fahad sendiri, tempat yang katanya sudah lama ingin ia kunjungi bersamaku.Perjalanan kami ditemani udara sejuk dan senyum yang tak pernah lepas dari wajah kami. Aku duduk di kursi penumpang sambil sesekali meliriknya, dan setiap kali itu terjadi, Bang Fahad selalu sempat menangkap pandanganku.“Kamu ngelihatin saya terus, kenapa?” tanyanya sambil nyengir, matanya masih fokus ke jalan.Aku mengangkat bahu dengan wajah sok polos. “Salah, ya? Ngelihatin suami sendiri?”Dia tertawa kecil. “Enggak. Cuma takut kamu gak kuat nahan rasa cinta aja, nanti meledak d
Waktu terasa lambat saat aku harus hidup bergantung di kursi roda. Tidak ada hari yang terlewat tanpa obat dan terapi. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa bantuan dari Bang Fahad padaku. Hingga detik ini, terhitung sudah lima bulan aku menjalani semuanya. Dukungan dan kesetiaan Bang Fahad tidak perlu diragukan. Dia ada di setiap saat aku membutuhkannya.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pelan tapi pasti, aku sudah mulai bisa berjalan meski hanya baru di dalam rumah. Keadaanku berangsur membaik dan semua ini tidak lepas dari dukungan penuh Bang Fahad selama aku menjalani terapi."Saya senang, akhirnya kamu bisa jalan lagi, meski masih pelan-pelan," ucap Bang Fahad saat kami duduk bersama di sofa ruang televisi pagi hari setelah selesai sarapan."Semua karena bantuan Abang juga. Kalau tanpa Abang, aku gak yakin bisa membaik seperti ini," jawabku apa adanya.Bang Fahad tampak menggeleng. "Enggak, Chi. Semua karena usaha dan kegigihan kamu juga.
Hari demi hari berlalu.Aku belum juga mampu berjalan. Hidupku masih terus bergantung pada kursi roda, tetapi gips yang semula membungkus kakiku sudah dilepaskan. Pergelangan kakiku tidak sempurna bentuknya. Aku masih harus menjalani terapi dan Bang Fahad merawatku dengan sangat telaten selama ini.Seperti pagi ini, dia sudah membawa semangkuk bubur hangat ke kamar dan bersiap menyuapiku. Namun, aku menundanya."Kamu belum laper?" tanya Bang Fahad yang duduk di sisi tempat tidur.Aku menggeleng pelan. "Belum. Tapi ... aku ngerasa gerah banget. Boleh gak minta tolong?"Dia menatapku penuh perhatian. "Boleh, dong. Kamu mau apa?""Aku pengen mandi dulu, mau keramas."Dia mengangguk mantap. "Oke. Ayo, saya bantu."Bang Fahad bergerak cepat menggulung lengan kausnya, mengambil baskom dari lemari kecil, handuk bersih, dan sampo favoritku yang disimpan di rak pojok."Emm, saya gendong aja ya?" tanyanya setelah