Seharian kami menghabiskan waktu di luar vila. Hingga tiba malam hari dan rupanya aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh dari dapur.Begitu keluar dari kamar, aku menemukan Bang Fahad berdiri dengan celemek bunga-bunga dan di tangannya ada mixer yang sedang menyala.โAbang ngapain?โ tanyaku sambil menahan tawa.Dia menoleh dengan ekspresi penuh percaya diri, walau sedikit tepung menempel di pipinya. โSaya lagi bikin kue buat istri tercinta.โMataku menyipit. โBikin kue? Emang bisa?โโBisa dong. Bisa gagal juga sih, tapi ... niatnya aja udah manis kan?โAku tertawa sambil berjalan mendekat. โTepungnya aja nempel di hidung. Udah kayak badut ulang tahun.โDia nyengir, lalu tiba-tiba mencolekkan sedikit adonan dalam wadah ke ujung hidungku. โNah, sekarang kita kembar.โโBang! Ini lengket tau!โ Aku coba membersihkannya, tapi dia malah kabur ke ruang tengah setelah menyemburkan lagi tepung ke arahku, membuatku harus mengejarnya sambil tertawa-tawa.โKalau kamu bisa nangkep sa
Usai sarapan dan sedikit bersantai di teras vila, Bang Fahad menggandeng tanganku menuju dermaga kecil di belakang vila. Terdapat sebuah perahu kayu mungil sudah terikat di sana, mengapung tenang di atas danau yang berkilau di bawah sinar matahari siang.โMau keliling danau pakai perahunya?โ tanyanya sambil menatapku penuh semangat.Aku menatapnya ragu. "Abang yakin bisa mendayung? Jangan-jangan baru mulai udah nyangkut di tengah.โDia tertawa renyah, lalu meraih pelampung untukku. โKalau bersama kamu, saya mendadak seperti petugas damkar, apapun pasti bisa saya lakukan."Kami lantas naik ke perahu pelan-pelan. Perahu mulai bergerak perlahan, menyisakan riak kecil yang tenang di permukaan air.Aku duduk di ujung yang berhadapan langsung dengan Bang Fahad, sementara dia mulai mengayuh dengan tenang dan teratur.Angin menerpa wajah kami, lembut dan menenangkan. Pemandangan sekeliling terasa seperti lukisan hidup, pepohonan rindang, suara burung dari kejauhan, dan sinar matahari yang men
Satu bulan usai malam paling romantis itu, kami akhirnya berangkat. Keadaanku tiap harinya kian membaik. Aku sudah mampu berjalan dengan normal lagi, meski sesekali masih ada sakit yang terasa.Hari ini kamu pergi. Bukan ke luar negeri, bukan pula ke kota besar yang ramai dan gemerlap. Hanya ke sebuah vila tersembunyi di daerah perbukitan, tempat di mana suara alam jauh lebih lantang daripada deru kendaraan. Tempat yang dipilih Bang Fahad sendiri, tempat yang katanya sudah lama ingin ia kunjungi bersamaku.Perjalanan kami ditemani udara sejuk dan senyum yang tak pernah lepas dari wajah kami. Aku duduk di kursi penumpang sambil sesekali meliriknya, dan setiap kali itu terjadi, Bang Fahad selalu sempat menangkap pandanganku.โKamu ngelihatin saya terus, kenapa?โ tanyanya sambil nyengir, matanya masih fokus ke jalan.Aku mengangkat bahu dengan wajah sok polos. โSalah, ya? Ngelihatin suami sendiri?โDia tertawa kecil. โEnggak. Cuma takut kamu gak kuat nahan rasa cinta aja, nanti meledak d
Waktu terasa lambat saat aku harus hidup bergantung di kursi roda. Tidak ada hari yang terlewat tanpa obat dan terapi. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa bantuan dari Bang Fahad padaku. Hingga detik ini, terhitung sudah lima bulan aku menjalani semuanya. Dukungan dan kesetiaan Bang Fahad tidak perlu diragukan. Dia ada di setiap saat aku membutuhkannya.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pelan tapi pasti, aku sudah mulai bisa berjalan meski hanya baru di dalam rumah. Keadaanku berangsur membaik dan semua ini tidak lepas dari dukungan penuh Bang Fahad selama aku menjalani terapi."Saya senang, akhirnya kamu bisa jalan lagi, meski masih pelan-pelan," ucap Bang Fahad saat kami duduk bersama di sofa ruang televisi pagi hari setelah selesai sarapan."Semua karena bantuan Abang juga. Kalau tanpa Abang, aku gak yakin bisa membaik seperti ini," jawabku apa adanya.Bang Fahad tampak menggeleng. "Enggak, Chi. Semua karena usaha dan kegigihan kamu juga.
Hari demi hari berlalu.Aku belum juga mampu berjalan. Hidupku masih terus bergantung pada kursi roda, tetapi gips yang semula membungkus kakiku sudah dilepaskan. Pergelangan kakiku tidak sempurna bentuknya. Aku masih harus menjalani terapi dan Bang Fahad merawatku dengan sangat telaten selama ini.Seperti pagi ini, dia sudah membawa semangkuk bubur hangat ke kamar dan bersiap menyuapiku. Namun, aku menundanya."Kamu belum laper?" tanya Bang Fahad yang duduk di sisi tempat tidur.Aku menggeleng pelan. "Belum. Tapi ... aku ngerasa gerah banget. Boleh gak minta tolong?"Dia menatapku penuh perhatian. "Boleh, dong. Kamu mau apa?""Aku pengen mandi dulu, mau keramas."Dia mengangguk mantap. "Oke. Ayo, saya bantu."Bang Fahad bergerak cepat menggulung lengan kausnya, mengambil baskom dari lemari kecil, handuk bersih, dan sampo favoritku yang disimpan di rak pojok."Emm, saya gendong aja ya?" tanyanya setelah
Pelukan itu masih bertahan.Lama.Seakan tidak ada kata yang lebih tepat selain diam yang saling menyampaikan isi hati. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang tenang, ritmenya menyatu dengan napasku yang perlahan mulai normal kembali. Tak ada luka yang benar-benar hilang, tapi pagi ini aku merasa luka itu mulai sembuh lewat cara yang tak pernah kusangka.Setelah beberapa menit, Bang Fahad melepaskan pelukan. Ia menatapku, dan masih dengan sorot rasa bersalah. "Chi?"Aku mengangkat dagu, menatapnya balik.โBoleh saya mulai dari awal?โ tanyanya. โTidak harus langsung. Tidak perlu buru-buru. Tapi ... boleh saya temani kamu dari awal lagi? Belajar ulang tentang kamu, tentang kita?โJantungku berdetak lebih cepat. Bukan karena gugup, tapi karena pertanyaan itu seperti angin sejuk yang datang setelah badai panjang di musim penghujan.Aku tersenyum kecil. โMulai dari awal sekali?โD