MJD 3
“Jadi kamu lebih memilih berdua sama wanita miskin di kontrakan sempit seperti ini daripada menemaniku jalan-jalan pagi?” matanya memicing tajam.
Cecilia Pradipta Putri, gadis bermata sipit dengan rambut sebahu itu menyilangkan tangan di dada. Dia sudah berdiri dengan pongah sambil menatap ke arah kami. Dwi Rama menoleh padaku sekilas, kemudian berdiri. Lelaki itu menghampiri Cecilia---wanita yang sudah lama tergila-gila padanya.“Cecil … kamu kho ngomongnya gitu?” ucapnya. Dwi Rama tidak mungkin berkata kasar, menolak maupun melawan. Karena posisinya di perusahaan bisa-bisa dipertaruhkan. Aku sudah tahu itu dari rekan-rekan kerja yang lain. “Kamu mau aku bilangin Papah kalau kamu sudah bohongin aku, putri kesayangannya?” Kulihat gadis itu memanyunkan bibirnya manja sambil menatap lelaki yang masih berdiri tidak jauh darinya itu.Dwi Rama menghela napas. Dia menoleh keAmplop itu masih tergeletak didekat kakiku. Sementara gadis itu pergi begitu saja meninggalkanku.Tuti datang dari dalam sambil mengibas-ibaskan tangannya yang masih basah. Dia melirik amplop yang tergeletak didekat kakiku.“Eh amplop apaan itu? BTW tadi ada suara siapa?”Dia jongkok memungut amplop itu.“Dari Lina,” jawabku singkat sambil menatapnya.“Oh,” ucapnya sambil memonyongkan bibirnya. Dia melihat ke dalam amplop itu dan memeriksanya.“Kenapa dia marah-marah?” selidikku.“Biasalah, Din … aku butuh suntikan dana … mungkin dia bosan minj
"Apakah kemarin itu dia berbohong? Mengatakan ibunya sakit dan membutuhkan uang?”Kulihat Tuti dan lelaki itu berjalan bergandengan menuju sebuah sepeda motor mega pro yang terparkir tidak jauh dari sana. Mereka duduk berboncengan dan melaju berbaur dengan keramaian.Aku menatap punggungnya yang perlahan menghilang ditelan belokan. Ternyata aku masih benar-benar mentah di dunia luar ini. Tuti yang kukasihani ternyata hanyalah seseorang yang pandai berakting. Rupanya salah ada satu jenisskillbaru yang kini kutahu yaitu keahlian berpura-pura.“Eh, pagi-pagi ngelamun? Kamu mikirin apa, sih?”Dwi Rama sudah datang dengan membawa dua porsi sarapan. Dia satukan dalam satu plastik berwarna putih.“Enggak,” jawabku dengan malas.Dia malah terkekeh kemudian menyalakan kembali mobiln
"Apakah dia orang kaya yang menyamar sepertiku? Ataukah dia pebisnis barang haram terlarang yang sedang bersembunyi dari buronan polisi?” Otakku mulai menerka-nerka sambil tak luput memperhatikan gerak-geriknya.Dia terburu-buru menyimpan gawai mahalnya kembali ke dalam saku jaket itu setelah selesai menelpon. Aku berdiri dan menghampirinya untuk membayar satu porsi ketoprak yang rasanya agak berbeda dari ketoprak yang biasa kubeli. Enak sih, tapi agak aneh.“Berapa, Bang?” Aku berdiri dan menghampirinya.“Sepuluh ribu,” jawabnya singkat. Wajahnya tetap sedingin salju.“Duhhh … bikin greget aja, sih!” batinku sambil menyodorkan uang selembar lima puluh ribuan padanya.Dia menerimany
Aku melempar pandang sembarang. Namun siapa sangka seseorang ternyata tengah berdiri mematung di samping gerobaknya di seberang jalan. Sedang apa lelaki salju itu di sana? Kenapa dia seperti melihat ke arahku?“Kenapa aku jadi geer gini … lagipula siapa aku sampe harus diperhatikannya!” gumamku sambil memutar kembali tubuhku, terus berjalan melewati pintu gerbang.Aku menyapa security yang berjaga hari ini.“Pagi, Mbak Dinda!”Yang jaga hari ini rupanya Irwan---security paling sok keren di sini. Aku tersenyum dan menganggukan kepala.“Pagi Pak Irwan … wah rambutnya hari ini rapi sekali, ya?” sapaku sambil terus berlalu.Kulihat
"Hah, kenapa juga jadi dia yang repot … justru ini semakin menarik, bagaimana mungkin aku akan kalah jika yang memutuskan ditolak atau diterimanya sebuah keputusan itu ada di tanganku!”Kita lihat nanti apa yang akan kuberikan padamu, Mak Lampir. Selamat menunggu hari yang akan berkesan sepanjang hidupmu.Aku berjalan kembali ke kubikel tempatku bekerja. Menghabiskan hari ini dengan bosan. Sesekali melihat jam, mengambil air minum, membuat teh. Kapan kerjanya? Ya gitu, ketika pikiran sedang tidak sinkron hanya ini yang terbayang untuk dilakukan.Eh tiba-tiba teringat tukang ketoprak jaim. Gimana dia ya kalau jualannya lagi rame? Tetap cool kayak tadi gak ya? Eh, terus kalau dia kerja di kantoran kayaknya keren, ya? Tapi kho ganteng-ganteng mau ya jualan ketoprak?Pi
"Wah, tetangga baruku ternyata dia? Kenapa dunia jadi sesempit ini ya?" Entah kenapa satu tarikan senyum tersungging di bibirku.Aku masuk ke dalam membawakan barang-barang pindahanku. Kulihat dia pun sudah menghilang dalam bangunan itu. Hanya gerobaknya terparkir di depan kontrakan.Setelah semua barang masuk aku bergegas merapikan tempatku yang baru. Kontrakan ini lebih luas dan lebih nyaman dibanding tempat lamaku. Bangunan yang kutempati kebetulan juga memang bangunan baru.Menjelang sore aku tengah bersantai duduk di ruang depan. Pintu yang sedikit terbuka memudahkanku mengawasi gerak-gerik orang yang berada di luar. Salah satunya dia, penjual ketoprak langgananku yang belum kutahu Namanya.Malam ini adalah malam minggu pertamaku yang akan terbebas dari drama. Bapak GM yang
"Awww!” pekikku ketika tubuh ini tiba-tiba terseret ke pinggir jalan dengan cepat.Seperti sebuah dejavu, kini dia menyemalatkanku lagi untuk kedua kalinya. Kami seolah sedang saling berpelukan meski tidak terjatuh.Beberapa menit kami saling terdiam dan mengumpulkan kesadaran. Tiba-tiba sebuah hantaman keras dari belakang membuat lelaki yang tadi menolongku terhuyung. Dia terjerembab ke sebelah samping.“Kurang ajar!!!”Sebuah hantaman melayang kembali tepat di pelipisnya. Aku terkesima, sejenak tidak mengerti harus berbuat apa.“Berani-beraninya mengganggu wanitaku malam-malam!” pekik orang itu lagi sambil melayangkan kembali sebuah pukulan tetapi kali ini kesadaran Si Abang ketoprak itu sudah pulih. Pukulan itu di
Aku terdiam. Benar perkataannya. Aku tidak tahu apa-apa tentang dia. Bahkan namanya saja aku lupa. Tadi sore kalau tidak salah si Kakek menyebutkan namanya, tapi aku benar-benar lupa.Langkah panjangnya berderap cepat. Aku cukup tersengal-sengal mengikutinya dari belakang. Entah ide gila dari mana ini. Aku tiba-tiba saja ingin ikut menjenguk padahal baru saja hari ini kami bertemu. Mungkinkah karena kakek itu tadi pagi terlihat ramah padaku? Ataukah karena memang aku ingin menghindari Dwi Rama yang membuat hidupku menjadi pusing tujuh keliling.Punggung lebarnya membelok memasuki satu ruangan. Ruang rawat kelas tiga. Kecurigaanku yang tadi sudah mecuat tentang jati dirinya kembali sirna. Ternyata dia mengambil ruang rawat kelas terendah di rumah sakit ini. Ya, aku mengerti mungkin kembali pada masalah keuangan.Namun ucapan yang penuh percaya diri darinya tadi membuatku tidak berani menawarkan ban