Share

DINIKAHI PUTRA SUAMIKU
DINIKAHI PUTRA SUAMIKU
Author: Parikesit70

Bab 1 : Jodoh dari Tante

“Luna, kemarilah sayang,” panggil Subroto dengan suara nyaris tak terdengar pada putri semata wayangnya yang sedang membaca sebuah buku di ruang santai usai mereka menikmati sarapan pagi di hari Sabtu yang cerah.

Luna melirik ke arah Subroto yang saat itu duduk di sebuah kursi roda. Sudah dua tahun ini, Subroto mengalami kelumpuhan setelah mengalami serangan stroke pertama. Tampak Luna menghampiri Subroto yang tengah santai menikmati acara televisi kabel.

“Ada apa Pa?” tanya Luna memandang lekat Subroto yang berada persis di sebelah kursi roda lelaki berusia enam puluh tahun.

“Sayang, kemarin siang sewaktu kamu di kantor, Om Susetyo datang ke rumah,” ucap Subroto sembari mengecilkan volume pada televisi yang ditontonnya.

“Tumben. Untuk apa Om Susetyo ke rumah? Apa dia kesini sama tante Jessica?” tanya Luna dengan raut wajah dan intonasi suara yang seketika berubah.

“Dia sendirian ke rumah. Tapi, rencananya malam ini mereka mau ke rumah untuk mengenalkan keponakan tantemu yang baru saja lulus S2 di London,” ungkap Subroto saat dilihat Luna menunduk dan memainkan jemari tangannya.

“Mau kenalan sama Luna? Duh! Buat apa sih, dia itu pake acara mau kenalkan Luna sama ponakannya? Papa sendiri tahu ... orang seperti apa tante Jessica itu? Lagian, apa juga tujuan si nenek lampir itu pamer keponakannya yang baru lulus S2? Dengarnya aja males...,” keluh Luna.

“Luna ... Om dan tante kamu mau menjodohkan keponakannya sama kamu. Katanya biar bibit, bebet, bobotnya bagus. Apalagi lelaki itu seusia kamu. Kalau Papa sih, semua tergantung sama kamu. Papa berharap kamu cepat mendapatkan jodoh yang terbaik. Papa hanya takut nggak sempat lihat kamu menikah,” harap Subroto pada putri semata wayangnya.

Luna yang mendengar ketakutan Subroto dan tujuan dari Om serta tantenya ke rumah nanti malam untuk menjodohkan dirinya membuat raut wajah cantik Luna diselimuti rasa sedih. Kemudian, Luna yang memiliki paras cantik jelita itu pun, bertanya serius pada Subroto.

“Paa, apa memang setiap orang itu diwajibkan untuk menikah?” tanyanya.

“Luna, bukan masalah wajib atau nggak ... Tapi, tujuan menikah itu agar wanita dijauhkan dari fitnah dan Papa pikir, kamu juga perlu seorang lelaki yang akan jadi tempat bercerita serta berkeluh kesah," jawab Subroto atas pertanyaan putrinya.

"Paa, kadang Luna berpikir untuk nggak menikah. Soalnya dari sepuluh teman baik Luna yang udah berkeluarga hanya dua orang aja yang suaminya nggak selingkuh. Rasanya susah sekali cari suami seperti Papa," ungkap keresahan hati Luna pada sang papa.

Dengan mengelus punggung tangan putrinya, Subroto kembali menasihatinya.

"Luna ... pernikahan bagi sebagian orang juga digunakan untuk mendapatkan keturunan, agar dalam keluarga mereka ada generasi penerus. Kalau kamu nggak punya niat untuk menikah, siapa kelak yang akan meneruskan perusahaan Papa? Hanya kamu harapan Papa satu-satunya, sayang," rayu Subroto lembut.

Luna terdiam dan merasa sangat terpojok dengan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah disinggung sama sekali oleh papanya. Kini kedua orang yang saling mengasihi terlihat menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Subroto memandang dengan penuh kasih sayang pada putrinya yang terlihat berpikir keras atas sebuah pernikahan.

Sedangkan yang dilakukan Luna hanya menatap jemari kakinya yang panjang dan putih bersih, seolah wanita cantik itu tengah menghitung waktu yang telah dilewatinya. Kembali terdengar suara Subroto memberikan petuah pada sang putri.

“Luna, kamu harus mulai memikirkan masa depanmu sebagai wanita dan jadilah seorang ibu. Usiamu akan terus bertambah. Sayang, kamu kelak akan memerlukan seorang di sampingmu. Seorang lelaki baik dan bertanggung jawab untuk berbagi cerita. Walaupun selama ini Papa melihat kamu mampu menjalankan usaha yang telah Papa rintis selama ini. Namun, sekuat apa pun seseorang pasti ada masa dimana ia memerlukan seseorang dalam hidupnya," imbuh Subroto yang tak secara langsung mendorong sang putri untuk menerima perjodohan yang dilakukan oleh Jessica yang dibenci oleh Luna, karena tabiat dan perangainya yang sombong serta suka memutar balikkan fakta saat almarhumah sang mama ada.

“Baiklah, kalau memang untuk kenalan dulu akan Luna pertimbangkan. Tapi, kalau Luna nggak suka sama orangnya ... Papa jangan paksa ya,” tawarnya pada Subroto sembari tersenyum dan memegang tangan sang papa.

Semua itu dilakukan Luna demi membuat hati Subroto sedikit tenang. Karena belakangan ini Subroto sering sakit-sakitan. Kemudian, Subroto memegang tangan Luna seraya menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui apa yang jadi keputusan sang putri.

Lalu, Subroto kembali berkata, “Papa harap lelaki itu adalah lelaki baik. Karena Papa juga nggak mau kamu punya suami yang tingkah lakunya buruk. Pokoknya, saat makan malam nanti kita akan lihat, apakah lelaki itu pantas atau nggak untuk kamu."

“Makasih Paa... Papa juga harus janji untuk terus sehat yaa," pinta Luna seraya beranjak dari sofa tunggal dan mencium pipi Subroto dengan kasih sayang.

Waktu pun beranjak dari detik ke menit dan menit ke jam. Pergantian hari juga berlanjut, dari pagi menuju siang dan siang menuju sore hari. Sampai akhirnya, saat jam menunjukkan pukul tujuh malam, seorang sekuriti membukakan pintu gerbang rumah Subroto. Sebuah mobil mewah keluaran terbaru masuk ke halaman rumah yang luas dengan bangunan bergaya eropa milik Subroto.

Dua orang lelaki tampan dan satu orang wanita cantik dengan anggun keluar dari mobil tersebut dan disambut oleh seorang kepala pelayan bernama Dicky.

“Selamat malam Tuan Susetyo dan Nyonya. Silakan ... Tuan Broto sudah menunggu,” sambutnya menganggukkan kepala dan mempersilakan ketiga tamu yang telah keluar dari mobil menuju ke pintu utama rumah mewah tersebut dengan melewati beberapa undakan sebelum sampai di teras.

Dicky mempersilakan masuk dan seorang pelayan dengan seragam berwarna ungu bernama Wati mengajak ketiga tamu langsung menuju ruang makan.

“Silakan Tuan dan Nyonya..., Tuan besar sudah menunggu di ruang makan bersama Nona Luna,” salamnya berjalan di depan ketiga tamu dengan sedikit membungkuk kala mengantar ke ruang makan.

Terdengar Jessica menggerutu pada suaminya yang tak lain adik dari Subroto, ketika sang pelayan menuntun mereka ke ruang makan, "Aneh sekali mas Broto itu. Masa kami langsung ke ruang makan sih..., dia pikir kita ke rumah dia untuk numpang makan?"

“Mami, udahlah jangan menggerutu. Mami tahu sendiri kan, gimana Mas Broto? Semua masalah pasti akan diselesaikan di meja makan,” sahut Susetyo kala mendengar keluh kesah Jessica saat mereka berjalan menuju ruang makan.

Sementara lelaki berusia sekitar 35 tahun berwajah tampan yang ikut serta bersama pasangan suami istri itu, melangkah disisi kanan Jessica dan terlihat melirik ke arah Jessica tanpa berkomentar.

Sesampai di ruang makan, Luna menyambut kehadiran ketiga orang tamu dengan berdiri dari tempat duduknya dan menyalami ketiga orang dengan senyum kecil.

“Apa kabar, Mas?” sapa Susetyo mencium tangan kakak tertuanya yang telah duduk di meja makan diikuti oleh Jessica istri dari adik kandungnya dengan berbasa-basi.

“Sehat terus ya, Mas Broto...,” ucap Jessica.

“Ayo silakan duduk ... Ini pasti keponakanmu, kan?” tanya Subroto memindai wajah lelaki tampan dengan rambut lebat serta jambang tipis dan rapi.

"Dia ini bukan keponakanku langsung Mas. Andrew itu anak dari sepupuku yang tinggal di Bandung,

"Oh, begitu," jawab singkat Subroto.

“Malam Om..., kenalkan saya Andrew,” sapa seorang pemuda dengan tinggi kira-kira 180 centi meter memakai kaos dan celana jeans.

“Luna, kenalkan ini Andrew. Dia baru dua hari di Jakarta. Kelamaan tinggal di London dia. Soalnya, sejak lulus SMA dia dapat bea siswa dan kuliah disana sekalian kerja juga. Sampai akhirnya dia menyabet gelar master ilmu komunikasi. Kalau aja maminya nggak marah-marah, ini anak kagak mau balik ke Jakarta. Maminya mau dia cari istri ... bukan pacar. Biar hidupnya bisa teratur," terang Jessica menjelaskan status keponakan jauhnya.

Luna menyalami Andrew tanpa menimpali ucapan sang tante. Kemudian, mereka menikmati makan malam ala hotel yang seluruh makanannya di pesan dari restoran ternama.

Di meja tersebut, Luna hanya mendengar dan mengamati setiap orang yang membicarakan banyak hal dengan sesekali ikut nimbrung untuk hal yang diketahui saja dalam satu meja makan dengan jamuan istimewa. dua puluh menit kemudian perjamuan dilanjutkan ke ruang santai. Subroto dibantu oleh Dicky duduk pada kursi rodanya. Sedangkan ketiga tamu dan Luna berjalan menuju ruang santai.

Sesampai di ruang santai, Jessica yang lebih dominan dari suaminya langsung berbicara pada pokok tujuannya ke rumah Subroto. Ia pun menyampaikan perjodohan itu pada Subroto saat mereka telah duduk di ruang santai dengan sofa-sofa empuk berbahan lembut.

“Mas Broto ... seperti yang tadi diomong di ruang makan. Andrew ini lagi cari istri. Makanya, aku jadi ke pikiran untuk menjodohkannya sama Luna. Gimana menurut pendapat Mas?” tanya Jessica memandang ke arah Subroto dan melirik ke arah Luna lewat ekor matanya.

“Jessica, aku sebagai orang tua hanya bisa merestui saja. Kalau memang Luna setuju, aku pun setuju,” tutur Subroto memandang ke arah Luna, Andrew dan adiknya Susetyo.

“Luna, bagaimana dengan kamu? Papamu menyerahkan semuanya ke kamu. Kalau Tante ini, cuma penyambung lidah saja. Kalau kamu menikah sama Andrew ... kamu bisa jadi Nyonya besar yang hanya kumpul-kumpul sama teman-teman sosialita kamu. Tante jamin, Andrew akan mampu meneruskan perusahaan papa kamu,” celoteh Jessica kala mengajukan Andrew menjadi calon suami Luna.

Mendengar celoteh Jessica, membuat Luna bergumam dalam hatinya, ‘Dasar matre. Dia pikir aku bodoh? Emang siapa sih dia yang enak-enakkan ngasih usul untuk ambil alih perusahaan papaku.’

Jessica yang memandang Luna terdiam dengan pandangan jauh menegur sang keponakan, “Luna, gimana ini..., apa kamu mau kami jodohkan dengan Andrew? Tante jamin, kamu pasti akan hidup bahagia kalau menikahi Andrew.”

Luna yang tidak bisa dipaksa dan mempunyai jiwa yang bebas pun berpendapat dan menjawab sang Jessica, “Tante ... Terima kasih sudah mencarikan jodoh untuk saya. Tapi ... masalah kebahagiaan, nggak ada seorang pun manusia yang bisa menjamin kebahagiaan orang lain. Lagi pula, saya belum mengenal Andrew. Menikah itu bukan seperti membeli kucing dalam karung.”

Mendengar jawaban Luna yang agak keras, membuat Andrew yang merasa ditolak mentah-mentah pun menjawab, “Tante ... Aku juga nggak mau kalau sampai ada paksaan pada diri Luna. Jadi, aku pikir lebih baik beri Luna waktu untuk berpikir. Kalau gimana, biarkan kami mengenal pribadi kami masing-masing dahulu, supaya kami bisa memahami karakter dan keburukan kami juga. Agar di kemudian hari tidak ada lagi penyesalan.”

Mendengar jawaban bijak dari Andrew, membuat Luna memberikan poin plus atas lelaki tampan yang terlihat sangat tenang dan dewasa dalam mengambil sikap. Begitu juga dengan Subroto, lelaki tua itu sangat suka dengan jawaban dari calon menantu yang dipilih oleh adik iparnya.

“Baiklah Mas, kalau memang begitu ... kami pamit dulu. Semoga saja, dengan saling bertukar nomor telepon keduanya akan lebih akrab satu dan lainnya,” pamit Susetyo adik bungsu Subroto.

Setelah, Andrew bertukar telepon dengan Luna, mereka pun berpamitan. Luna mengantar mereka hingga teras dengan menyalami ketiga tamu yang merupakan kerabatnya. Setelah itu, Subroto dan Luna membicarakan lelaki yang baru saja mereka kenal dengan segala tutur kata yang sopan serta sikap intelektualnya yang membuat mereka terkesan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status