Lagi-lagi Zein bersikap mencurigakan. Membuat semangatku yang tadi menggebu-gebu jadi letoy kembali. Ada apa lagi kali ini? Tapi, ya sudahlah. Asal dia nggak selingkuh dan masih setia kepadaku, itu udah cukup."Ya udah, Zein. Kalau kamu nggak mau, juga nggak papa kok," ujarku pasrah. "Kamu marah?""Ya enggak dong. Ngapain juga marah. Nggak penting juga kok. Ya udah deh. Kita nggak usah kemana-mana. Aku mau tiduran aja di kamar.""Aku ikut ya, Yas."Dih, enak aja. Sori ye. Hari ini aku lagi nggak mood. Kesel sama sikap kamu. "Kamu di luar aja deh, Zein. Aku lagi pengen istirahat sendirian. Kamu lanjutin aja bercocok tanamnya. Nanam cabe kek. Siapa tau bulan depan udah bisa panen," sindirku. Aku pun ngeloyor pergi dan masuk ke kamar. Tak lupa juga mengunci pintu. Saat ini, meski dipaksa aku juga nggak akan rela. Bad mood, iyyuh... .Duh, kok Zein tiba-tiba berubah kek gitu sih. Kan cuma anniversary aja. Apa baginya merayakan hari jadi pernikahan itu nggak penting? Atau bisa jadi dia
"Mau ketemuan dimana?" tanyanya lagi. "Biasalah. Palingan juga di mall.""Mall mana?""Ditempat biasa lho, Zein."Duh, kok nanyanya sampai detil banget sih. Untung Zein tau mallnya ada di mana. Jadi aku tinggal bilang aja. Lagian, ngapain juga aku bohong. Zein juga nggak akan mungkin mau nyusulin aku ke sana. "Pulangnya jangan malam-malam ya, Yas."Dih, kalau bisa jangan pulang sekalian kali, Zein. Biar hari ini terlewat. Nggak perlu dilalui berdua sebagai peringatan satu bulan pernikahan kita. Moment tersedih tau nggak. "Aku naik taksi online aja ya, Zein. Kalau kamu mau nyuci mobil, aku juga nggak ngelarang kok." Aku tertawa geli. "Kenapa nggak bawa mobil?"Ya kali bawa mobil, Zein. Alasan aku pergi kan karena kamu lagi sibuk nyervis kendaraan. Apa kata dunia kalau mobilnya aku bawa. Ketauan dong lagi jablay di hari Minggu. "Ya udh deh. Aku pergi dulu, ya. Bye bye Zein?""Hati-hati ya, Yas. Kalau mau pulang telpon aku, ya. Biar aku jemput."Dih, sori ye. Nggak akan. Aku nggak
Aduh! Mati aku. Kenapa Zein tiba-tiba bisa muncul di sini? Bukannya tadi dia bilang tidak ingin kemana-mana? Kan jadi masalah lagi. Kenapa juga si Rama tiba-tiba muncul. Bikin sebel aja! Zein menatap sinis memandang Rama. Emang ini anak, kalau urusan sama laki-laki terlihat sangat garang. Macho banget lagi. Bikin bulu mataku kembali merinding disko. Rama tak menjawab, hanya mengangkat bahu saja. Mungkin maksudnya bilang 'Sori, gue nggak tau kalau suaminya ada di sini.'Ituh! Tanpa meminta, Zein langsung memegang tanganku dan menggenggamnya. Kelihatan marah sih. Mukanya tegangan tinggi. Disentuh dikit aja langsung kesetrum. Lututku aja udah merasa gemetar. "Ayuk pulang!" Dia langsung menarikku untuk berdiri. Seperti kerbau yang dicucuk hidung, aku langsung menurut dan mengikuti langkahnya dengan cepat. Aneh. Sedikitpun nggak ada niatan untuk melawan atau meronta-ronta minta dilepaskan. Apa perasaan takut Zein marah, lebih besar dari rasa marahku sendiri? Iyyuh...seorang Tyas kalah
Aku mulai bangkit, dengan bantuan Zein pastinya. Dengan jalan agak terpincang-pincang, dia dengan setia memapahku. "Kamu beneran nggak papa, Yas? Aku nggak tega lihat kamu kek gini. Aku gendong aja, deh."Zein mulai menunduk untuk meraih betisku, namun aku tetap saja menolak. "Aku nggak mau, Zein.""Kenapa?""Malu tau!""Oh, malu digendong sama suami kayak aku?""Apaan sih, ngambek melulu. Kek anak kecil deh. Siapa suruh kamu tadi jalannya cepat-cepat. Percuma dong nyusul ke sini, kalau nyatanya aku di tinggal juga. Udah, buruan sana pulang. Aku bisa pulang sendiri, kok," rajukku. "Oh, ya, ya. Alasan. Pasti pengen diantar pulang sama cowok yang tadi, kan?" Dia balas merajuk. "Ish, Zein." Aku memukul lengannya. "Ngalah dikit kenapa, sih. Kalau istri ngambek tuh, dibujuk. Bukan malah ikutan ngambek!"Dia kembali tersenyum. Hmmm... kan manis banget senyum kek gitu. "Ya, udah kita duduk dulu, ya. Biar sakitnya ilang." Aku mengangguk.Akhirnya dengan jalan agak terpincang-pincang, kam
"Kok kamu ngomong kek gitu sih, Zein?" tanyaku sambil menatap wajahnya. "Aku? Ngomong apa?" sahutnya gelagapan. Dih, dia bisa gengsi juga ternyata. Bukannya dia sendiri yang barusan bicara panjang lebar tentang betapa takutnya dia kehilangan aku. Pake nggak ngaku lagi. "Ya udah deh, nggak usah dibahas. Kita lupain aja kejadian hari ini. Aku juga udah mau pulang, kok," lanjutku kemudian. "Kaki kamu masih sakit?""Ya sakit dong, Zein.""Aku anter ke rumah sakit, ya?""Duh, lebay deh. Segini doang. Pulang yuk. Aku mau tiduran aja di rumah. Lagi bad mood," rajukku. "Nggak jadi jalan-jalan?""Ish... norak. Becandanya nggak lucu," gerutuku. Jelas-jelas semua kejadian ini berawal dari penolakan dia untuk jalan-jalan denganku. Bisa-bisanya sekarang, setelah semua yang terjadi dia menggoda buat ngajak jalan-jalan lagi. Iyyuh... Zein udah mulai nakal rupanya. Aku melepaskan sepatuku, dan bangkit dengan jalan sedikit terpincang. Sepertinya mata kakiku juga ikut keseleo. Tapi nggak papa j
"Lho, emang kenapa?""Kan udah ada kamu yang ngurutin." Aku membesarkan bola mata ke arahnya."Ish... Zein. Jorok. Jijik tau nggak." Aku memukul-mukul tangannya yang barusan tadi mengurut kakiku. Dia tertawa sambil memegangi perutnya. Sepertinya dia merasa sangat senang melihatku seperti itu. "Kenapa, sih?""Jorok tau nggak. Jangan sentuh-sentuh, ih.""Bercanda kali, Yas," ujarnya sambil terus tertawa. "Bohong. Pasti beneran tuh. Pikiran kamu kan selalu aja mesum.""Ya iyalah. Siapa juga yang bisa nahan diri lama-lama kalau dekat kamu. Ini aja otak aku udah travelling kemana-mana.""Ish, nggak mau. Enak aja." Aku mendorong tubuhnya. "Hayo mau kemana? Nggak bisa jalan, kan? Mau lari kemana lagi? Udah nyerah aja." Dia semakin mendekatkan dirinya."Ish, Zein nakal. Cari kesempatan." Aku kembali mendorong dadanya. Namun tenagaku tentu saja masih kalah jauh. Apalagi dengan keadaan kakiku yang sekarang ini. Aku kembali mencoba menjauhkan diri dari tubuhnya yang semakin merapat. "Zein
Dengan kaki yang masih terasa sakit, aku mencoba bangkit dan berdiri. Berusaha menyambut kedatangan Ibu mertua dan juga adik iparku. "Udah, Nak Tyas. Ndak usah bangkit. Nanti kakinya tambah sakit," ucap Ibunya Zein penuh perhatian. Iapun mendekat untuk menghampiriku. Dengan sungkan, aku meraih dan mencium punggung tangannya dengan takzim. Jangan heran dong. Kan udah jadi mertua beneran. Secara aku dan Zein udah nggak main kontrak-kontrakan lagi. Seperti yang horang-horang bilang, kalau mau sama anaknya, ya harus terima orang tuanya dong. Jadi nggak salah kan, kalau sekarang aku bersikap baik sama Ibu dan adiknya Zein. "Ibuk datangnya kok nggak bilang-bilang? Kan bisa Zein jemput," ucap Zein, sambil melepaskan atribut pembantunya itu. Iyyuh...malu-maluin aja deh. "Nggak apa-apa, Zein. Nanti malah ngerepotin. Ibuk sama Zahra jadi khawatir, saat kamu nelpon tadi malam. Takut kaki istri kamu kenapa-napa."Duh, Zein udah ngadu duluan rupanya. Pantes aja Ibunya cepat-cepat datang ke s
"Lho, jadi ngapain ngajak masuk ke kamar?""Aku cuman mau ngomong, biar Ibuk dan Zahra nggak denger.""Ada apa, Yas?""Ibuk sama Zahra kayaknya kecapean tuh. Suruh nginap di sini aja. Tapi kamu beresin kamar sebelah, ya. Ganti sprei sama bawa handuk sama perlengkapan kamu yang lain. Ntar ketauan lagi, kalau selama ini kita tidurnya di kamar terpisah.""Iya juga, sih. Tapi, udah sah nih, aku pindah ke kamar kamu?"Aku tersenyum dan mengangguk. "Kan kita udah nggak punya kontrak lagi," jawabku malu-malu. "Makasih ya, Yas.""Ish, makasih apaan sih. Udah dibahas juga tadi malam." Aku mulai sewot. "Makasih juga udah baik sama keluarga aku.""Keluarga kita kali, Zein. Udah deh, jangan sungkan-sungkan gitu. Buruan beresin. Ntar Ibuk sama Zahra keburu bangun tuh. Kalau kakiku juga nggak sakit, aku pasti udah bantuin kamu dari tadi.""Iya. Nggak apa-apa. Beresin kamar segitu doang, gampang. Apalagi pindah ke kamar kamu. Bikin tambah semangat, Yas.""Ish, Zein bisa aja deh. Buruan, gih.""Iy