"Dia nanyakin, Mami. Kabarnya, gimana? Udah punya anak berapa? Udah punya cucu apa belum?""Terus, nanyakin apa lagi, Pi?""Ya elah, Mami kok kepo banget. Emang ada apa sih?" tanyaku penasaran. "Dokter Faisal Itu, Yas. Mantannya Mami," jelas Papi. "Belum sempat jadian loh, Pi. Pasti Papi cemburu, deh." Timpal Mami. "Nggak lah, Mi. Buat apa Papi cemburu."Kok aku nggak ngerti dan makin kepo aja, nih. "Emang ceritanya, gimana sih, Pi? Kok Mami juga kenal?""Gini, Yas ceritanya. Dulu itu, Dokter Faisal temen dekat Papi, terus Mami naksir tuh sama dia. Tapi Mami malu bilang langsung sama dia, taulah Mami kalian inikan dulu gengsian orangnya. Jadi, Mami minta Papi yang nyampaiin jadi posnya mereka. Setelah Papi sampein, Dokter Faisal menolak dengan alasan mau fokus kuliah dan ngejar karir dulu. Kecewa tuh, Mami," jelas Papi, sambil senyum-senyum. "Nggak gitu juga, ceritanya, Pi," sergah Mami malu-malu. "Pasti Papi nggak nyampein tuh ke orangnya karena Papi suka sama Mami, iyakan, Pi."
"Bin!" Aku keluar dari ruangan,tempat Zein dirawat dan bergabung dengan yang lain. Tempat yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga pasien, beristirahat. "Iya, Yas.""Aku minta tolong, ya. Mulai besok kamu yang ngurus perusahaan!""Siap...siap."Dih, langsung nyahut. Nolak dulu kek. Emang nggak ada segan-segannya ya ini orang. Malu dikit napa."Tapi ingat ya, Bin. Jangan ambil kesempatan!""Ya elah, Yas, Yas. Masih aja, ya! Suudzon terus.""Woiya dong, Bin. Sebagai teman yang baik, aku kan harus selalu ngingatin kamu, supaya jangan merusak persahabatan kita selama ini, hanya karena masalah uang.""Iya, iya. Makasih ya udah ngingetin aku. Entar kalo urusan kamu udah selesai sekalian aja bawa BPK sama KPK buat geledah rumah aku, Yas," jawabnya sewot. Dih, tersinggung. Sensi amat. " Untuk apa?" tanyaku pura-pura bego. "Untuk meriksa. Kalo kamu nggak percaya sama aku.""Aku percaya, loh Bin sama kamu. Makanya aku ngingetin, biar amanah yang aku kasi nggak kamu salah gunain," b
Sebenarnya, Zein nggak mau kalau Ibuk tahu dia sedang dirawat di rumah sakit seperti ini. Katanya takut nyusahin Ibuk, dan membuat orang tua itu cemas. Akan tetapi, setelah kompromi sama Papi dan Mami, kami mutusin agar Ibuk tetap di beritahu secepatnya. Soalnya, jika diberitahu belakangan nanti, seperti yang Zein katakan. Takutnya Ibuk malah berkecil hati, dan merasa tidak dianggap sebagai keluarga. Kan jadi repot lagi urusannya. Taulah kalau golongan dari kalangan bawah inikan, perasaannya terlalu sensitif menilai sesuatu hal. Ini fakta ya, bukannya aku yang ngarang. Makanya aku minta tolong sama Bino untuk menjemput ke sana langsung. Setelah si Bino nanti sudah sampai, Baru Mami yang akan nelpon, bilangin kalo Zein sedang sakit dan mobil lagi menuju rumah mereka buat menjemput. Mudah-mudahan Ibuk nggak kenapa-napa. . "Sayang, kami pulang dulu, ya!" Aku pamit pada Zein setelah menjelang sore. Malam ini, Ada Nita dan Papi yang bersedia menemani Zein disini. Sebenarnya, Papi dis
Akhirnya operasi Zein selesai. Kami yang tadinya harap-harap cemas dengan hasilnya, mendadak menarik napas lega. Operasinya berjalan lancar. Kini Zein harus mendapat perawatan pasca operasi di ruangan ICU. Tanpa terasa air mataku mengalir begitu aja. Ternyata, jarak hidup dan kematian itu hanya sepersekian detik saja. Apa yang mau kita banggakan lagi di dunia ini? Adik-adikku mengusap bahuku dengan lembut. Mencoba menguatkan aku yang terlalu down karena masalah ini. Ditambah lagi usia kandunganku yang semakin tua. Apa yang kulakukan kalau Zein belum pulih dan tak bisa berjalan?Kuatkah aku mengahadapi kelahiran ini sendiri, tanpa Zein yang seharusnya mendampingi? Dokter bilang, Zein tidak mungkin langsung sembuh dan normal seperti sedia kala. Butuh waktu untuk masa pemulihan. Asal dia semangat, semua bisa berjalan lebih cepat. Setelah satu harian di ruang ICU, akhirnya Zein kembali ke ruangan. Ruangan VVIP yang super mewah pastinya. Tentunya setelah dia sadar, dan tekanan darahnya
"Pasti karena aku cantik kan, Zein?" ucapku penuh percaya diri. "Iya, kamu cantik."Pipiku bersemu kemerahan kaya artis-artis korea. "Selain itu....""Selain itu, apa?" tanyaku penasaran, karena ia menghentikan kata-katanya. "Selain itu, kamu kalau jalan lucu. Mirip badut." Dia tertawa ringan. "Ish... Zein! Udah mulai nakal, ya. Goda-godain aku."Dia semakin tertawa. Dan aku merasa senang melihat wajah cerianya lagi. Tanpa sadar aku menerkam tubuhnya dan masuk dalam dekapannya. "Eh, eh, kenapa nih? Main peluk-peluk aja. Pasti kangen uwu-uwu nih," godanya lagi. "Enggak, kok. Cuman terharu aja. Aku pikir kita nggak akan bisa lagi kek gini. Aku takut banget," aku menangis sesenggukan. Zein ikut memelukku dengan erat. "Ini semua berkat doa kamu, Yas. Kamu istri yang baik buat aku. Makasih ya, Yas. Udah mau nerima aku apa adanya.""Aku juga ya, Zein. Makasih udah nyelamatin aku dari rasa malu dan menutupi semua aibku di masa lalu.""Jangan bicarakan itu lagi, Yas. Bagiku kamu tetap
"Ingat ya. Kamu itu aku bayar buat jadi suami bohongan. Jadi nggak usah nuntut ini itu. Aku nggak sudi tidur bareng sama kamu," ucapku tegas kepada laki-laki yang tadi pagi baru saja mengucapkan ijab kabul di hadapan Ayahku."Iya, Tyas. Aku mengerti," sahutnya dengan lembut."Kalau begitu, malam ini kamu tidur di sofa. Nanti kalau kita pindah ke rumah baru, baru tidur di kamar masing-masing.""Iya, iya. Aku ngerti. Aku juga tau diri untuk nggak macam-macam sama kamu.""Bagus lah. Awas ya, cari-cari kesempatan. Perjanjian kita batal, dan kamu harus balikin semua uang yang aku kasi. Kalau enggak, selamat tidur di penjara," ucapku sinis, lalu naik ke atas ranjang dan menutup tubuh dengan selimut.Terdengar dia menghela nafas kasar, lalu berjalan menjauh. Mungkin langsung ikut berbaring di sofa karena lelah.Kami baru saja selesai dari acara resepsi mewah yang diadakan oleh keluargaku di hotel mewah. Papi dan Mami begitu senang, karena akhirnya aku memutuskan untuk menikah.Ya, aku seoran
Pagi ini aku sengaja mandi dan membasahi seluruh rambutku. Agar semua keluarga tahu, bahwa aku dan Zein telah melewati malam pengantin. Tak lupa aku menyuruh laki-laki yang masih meringkuk di sofa itu melakukan hal yang sama.Masih menggunakan piyama sutra dan rambut yang sengaja tak kukeringkan, aku keluar dari kamar. Menuju ke ruang keluarga, sembari menunggu sarapan pagi selesai disiapkan."Pagi, semua!" sapaku penuh percaya diri. Sengaja ku kibas-kibaskan rambutku agar wangi shampo merebak dan tercium sampai ke rongga hidung keluargaku."Wah, ada pengantin baru, nih," sapa Nita, adik bungsuku."Iya, nih. Udah basah aja," imbuh Tiwi, adik keduaku."Ya, iya dong. Ngapain di tunda-tunda," sahutku dengan semangat. Untung Mami dan Papi belum muncul, hingga aku tak terlalu sungkan untuk mengumbar soal malam pertama palsu itu."Padahal banyak tamu yang datang dan dilayani saat pesta semalam. Eh, malah langsung ena-ena aja. Nggak ada capek nya ya, kak?" ledek Nita lagi. Tiwi ikut tertawa.
Aku bergegas membuka pintu kamar untuk menyusulnya. Namun aku terkejut, saat tau dia masih berdiri di depan pintu, menungguku. Dengan gaya elegan, aku mensejajarkan diri. Kemudian kembali bergelayut manja merangkul lengannya melewati keluargaku yang sedang berkumpul. "Dah, Papi. Dah, Mami. Dah semuanya..." Aku berpamitan sambil memutar-mutar telapak tangan ala miss universe kepada mereka. "Duh, mesranya.""Nempel terusss...""Enak punya suamikan, Mbak...""Makanya nikah jangan ditunda-tunda."Secara bergantian mereka menggodaku yang tengah bergandengan mesra dengan suamiku. Membuat pikiranku senang bagai di awang-awang. Hati-hati di jalan, kalian," pesan Mami setengah berteriak. "Iya, Mi!""Iya, Mi!" Aku dan Zein menjawab serempak. .Hari ini kami kembali melihat rumah yang akan kami tempati. Hadiah dari Papi, sebagai kado pernikahanku. Aku tak ingin berlama-lama di sana. Sangat lelah berpura-pura, demi meyakinkan mereka bahwa pernikahan kami benar-benar bahagia. Sudah sejak ti