Walau sempat kembali ragu, Mika memantapkan hatinya untuk menerima Janu dan menandatangani surat perjanjian pra-nikah mereka. Yang mana poin utamanya adalah ini hanya berlaku sementara, baik Mika maupun Janu tidak boleh mencampuri ranah pribadi terlalu dalam, tidak ada kontak fisik, tidak diperbolehkan untuk merasa cemburu pada satu sama lain, dan mereka bebas menjalin hubungan di luar pernikahan mereka.
Mirip seperti kawin kontrak tapi tidak ada sistem pembayaran. Setelah bercerai pun, mereka tak akan meributkan harta gono-gini, soal harta bersama diatur oleh Janu.
Pernikahan secepatnya diatur, bertepatan dengan waktu pendaftaran masuk universitas. Mika langsung diboyong ikut ke rumah Janu, tak lagi tinggal bersama bundanya. Janu pun tak merasa canggung sama sekali, berbalikan dengan Mika yang tiap detik jantungnya selalu nyaris meledak. Dengan santai, Janu mengambil sofa sebagai tempat tidurnya. Ranjang bisa dipakai sepenuhnya oleh Mika.
Yang menjadi pusat utama Janu hanya studi Mika, tiap hari dia mengingatkan Mika untuk belajar sungguh-sungguh, mengulang kembali materi yang dia pelajari di sekolah. Keinginan Mika juga sudah bulat untuk melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi. Dua bulan dari sekarang, dia akan segera mulai mengikuti ospek.
***
"Udah seminggu kan kalian menikah, belum kepikiran buat bulan madu?" tanya Mama saat dia datang berkunjung tiba-tiba.
Mika meletakkan segelas teh panas di atas meja tamu dengan gugup. "Kayaknya nggak bisa, Ma. Mas Janu sibuk persiapan awal semester baru, aku juga sebentar lagi mau masuk kuliah," jawab Mika.
Janu yang sedang membaca di hadapan ibunya tampak acuh tak acuh. Sedari awal pernikahan, dia sudah bertekad tak akan ada kata bulan madu dalam kamusnya.
"Jan! Kamu kan guru berdedikasi, masa nggak bisa ambil bulan madu? Satu minggu aja! Mika juga kan belum masuk kuliah. Masih ada waktu." Mama ngotot mendesak.
"Banyak yang lebih penting, Ma." Janu beralasan.
"Jangan ngarang kamu. Mama nggak mau tau. Ini Mama udah siapin tiket dan akomodasi buat kalian." Dengan seenaknya, Mama meletakkan empat buat tiket pesawat pulang-pergi tujuan Singapura.
Mika yang seumur hidup belum pernah ke luar negeri langsung menyambut tiket itu dengan mata berbinar. "Wah, tiket ke Singapura!" serunya penuh semangat. Ekspresinya tak bisa berbohong. "Akhirnya pasport aku bisa berguna juga, udah sempat bikin dari tahun lalu tapi kirain nggak akan kepake." Tanpa sadar, dia mencetuskan apa yang ada di pikirannya.
Sontak Janu langsung menghela napas berat. Dia tak bisa menolak apabila Mika sudah sebegini antusias terhadap rencana gila bulan madu ini.
"Lagian apa juga yang mau diliat di Singapura?! Nggak ada yang menarik. Tinggal keliling aja Jakarta." Janu mengeluh.
Raut muka Mika langsung murung.
"Kamu ngomong apa, sih? Kamu nggak liat tuh Mika begitu antusias? Mika nggak pernah ke luar negeri, kan? Pas banget loh waktunya. Apalagi kan sekarang lagi musim kemarau, cuaca lagi cerah. Enak buat liburan. Satu minggu aja. Teman arisan Mama bahkan udah mensponsori hotel buat kalian, loh."
Ingin sekali Janu berteriak geram mendengar perkataan konyol ibunya. Namun, melihat Mika begitu antusias, hatinya juga jadi terenyuh. Ini akan menjadi pengalaman pertama Mika ke luar negeri. Sayang kalau dilewatkan. Dengan berat hati Janu menanggapi, "Okelah kalau gitu. Terserah aja."
***
"Kamu udah bawa jaket? Bawa baju banyak? Bunda takut kamu kedinginan." Di Bandara, bunda Mika terus membahas soal jaket dan pakaian tebal.
Janu dan ibunya saling memandang. "Bunda, Singapura itu dekat. Iklimnya tropis kok, panas sama kayak di sini. Nggak perlu jaket tebal." Janu menjelaskan dengan sabar.
"Ah, masa sih?! Luar negeri kan pasti dingin. Mungkin juga bersalju. Bunda takut Mika flu."
"Ih, Bunda ..., Singapur itu masih satu kawasan sama Indonesia." Mika ikut dibuat malu oleh bundanya. Lebih baik segera masuk ke ruang tunggu ketimbang menahan malu dengan sikap kampungan Bunda. "Ayo, Mas. Kita masuk sekarang aja."
Mereka berpelukan melepas Mika dan Janu pergi berbulan madu. Seolah akan melepas Mika untuk waktu yang lama, Bunda bahkan menangis sesenggukan. "Bunda apaan sih? Orang cuma pergi seminggu, kok." Mika menggerutu.
Untung Mama cepat menenangkan Bunda sebelum dia membuat drama lebih jauh. Akhirnya setelah sepuluh menit berpamitan, mereka masuk ke tempat boarding pass.
***
Selama di dalam pesawat pun, Janu tampak cuek saja. Sejak mereka menikah, nyaris tak ada yang berubah. Hubungan mereka tak berkembang sama sekali. Mika pun dibuat bingung sendiri. Dia tak menyangka, guru yang dikenal hangat itu ternyata aslinya sangat dingin, sangat cuek. Mereka hanya bicara seperlunya saja.
Pagi-pagi betul, Janu sudah bangun. Dia biasanya pergi berolahraga. Kadang lari pagi mengelilingi taman di dekat rumah, kadang pergi ke lapangan yang agak jauh. Lalu sarapan bubur. Sangat jarang dia menyantap makanan di rumah.
Dua kali dia dibuatkan bekal oleh Mika, dia habiskan tanpa ada kata-kata. Entah pujian atau keluhan. Tak ada. Siang hari di rumah dia sibuk kerja sendiri. Kadang asyik sendiri mengurus kebun rumahnya. Tak pernah dia mengajak Mika bicara berdua atau mengajaknya terlibat dalam kegiatannya.
Malam hari saat Mika sedang menonton TV, Janu biasanya memilih keluar untuk menemui teman-temannya, lalu pulang larut malam setelah Mika terlelap lebih dulu. Entah bagaimana, sikap Janu terlihat seperti sengaja menghindar. Mika juga tak tahu mesti bagaimana.
Tak ada keinginan untuk menjadi dekat memang, tapi setidaknya Mika ingin sedikit lebih mengenal Janu. Apa yang dia suka, apa yang tak dia suka. Semua masih misteri. Janu memang sangat tertutup perihal urusan pribadinya. Mau bagaimana lagi, Mika tak mungkin memaksa juga bila Janu tak berminat untuk dekat dengannya.
Mereka sampai juga di Singapura. Cuaca siang itu lumayan terik. Janu langsung disambut oleh sopir taksi yang siap mengantar mereka menuju hotel yang sudah lebih dulu direservasi oleh Mama.
"Kamu mau istirahat dulu atau langsung liat-liat keluar?" tanya Janu setelah sampai di dalam kamar hotel.
"Eh ..., terserah Mas aja mau kayak gimana." Mika menjawab kikuk.
"Gini aja ya, aku langsung terus terang aja." Janu bicara dengan nada serius. "Kamu bisa keliling sendiri, kan? Mama udah siapkan city tour* (*perjalanan keliling kota yang disiapkan oleh agen travel), kan? Kamu ikut aja. Aku nggak ikut, aku mau keliling sendiri."
Mika tercengang dengan ucapan Janu yang agak sadis sebetulnya. Ini adalah pertama kali dia datang di negeri orang tapi ditinggal sendirian. Segala tantangan harus dia lalui sendiri, terlebih bahasa inggrisnya tak seberapa bagus. Tapi lagi-lagi, Mika tak berani protes. "O ... oke, deh kalau gitu." Dia cuma bisa mengiyakan.
"Bisa kita bicara bentar?" tanya Janu lagi, mulai mendesak.Rossa melirik om dan tantenya lagi. "Sebentar ya, Om," katanya."Jangan lama. Sebentar lagi jadwal penerbangan kita!" tegas sang Om.Rossa mengangguk pelan lalu ikut berjalan bersama Janu menuju pintu keluar bandara. Untuk beberapa lama mereka hanya berdiri berhadapan saling memandang seolah menunggu siapa yang akan bicara lebih dulu."Kamu harus betul-betul pergi sekarang?" tanya Janu akhirnya."Ya. Kayak yang aku bilang kemarin di rumah Bapak, om aku pindah tugas ke Kalimantan.""Kamu nggak akan kembali lagi?"Helaan napas Rossa menjadi lebih panjang. "Aku nggak tau soal itu, belum aku pikirkan.""Bukannya kamu bilang kamu mau lepas dari jerat om kamu? Terus kenapa kamu ikut pergi?"Alih-alih terharu dengan perhatian yang diberikan Janu, amarah Rossa justru meninggi. "Emangnya ada pilihan lain buat aku?! Emangnya aku udah lulus?! Selama aku masih di bawah peng
Hampir satu menit lamanya Mika terdiam memandang pintu rumah bundanya dengan mata kosong. Apa yang terjadi terakhir kali mereka jumpa masih membebani hati, tapi dia kuatkan juga niatnya lantas mengetuk pintu kemudian."Bun ... Bunda ..." sapa Mika ragu-ragu.Ternyata sang Bunda tengah memasak di dapur ketika pintu dibuka oleh Mika sebab tak dikunci. "Mika! Bunda kira kamu nggak akan ke sini lagi ..." ucap Bunda terlihat agak canggung."Ya Bunda juga nggak berusaha untuk menghubungi aku," sahut Mika sambil duduk di sofa tua.Kompor yang masih menyala dipadamkan lebih dulu untuk kemudian Bunda ikut bergabung dengan Mika di ruang depan. "Mika ..." Suara bunda Mika terdengar lesu. "Bunda malu," ungkapnya sambil duduk di depan Mika."O, Bunda masih bisa ngerasa kayak gitu? Wajarlah," sahut Mika agak sinis, amarahnya belum padam sepenuhnya."Kamu ke sini mau ngomel-ngomel lagi? Bunda kan udah mengakui kesalahan ...""Nggak, kok. Aku juga ud
"Mas baru pulang?" sapa Mika yang sedang menuruni tangga untuk ke dapur, dan tepat saat itu pintu utama terbuka dan Janu masuk dengan muka datar.Sesaat Janu cuma terdiam, menatap Mika dengan wajah tanpa ekspresi. Yang terbayang di pikirannya hanya pengakuan Rossa tadi. Perlukah untuk menanyakannya langsung kepada Mika? Janu sendiri tak tahu mesti berbuat apa sekarang."Mas kenapa? Mau makan? Aku siapkan dulu ya." Mika yang kebingungan pun bergegas untuk mencairkan suasana yang kaku.Setelah Mika sampai di pantri, Janu ikut menghampiri. Dia kumpulkan nyali untuk membuka keresahan yang tertimbun di dadanya. "Ka ...""Hm?" toleh Mika terheran-heran. "Mas mau minum teh?"Janu menggeleng. "Ada sesuatu yang serius yang harus Mas tanyakan ke kamu,""Apa? Ngomong aja, Mas. Ada apa?" Mika menunggu dengan perasaan tak nyaman dan was-was."Kamu ada hubungan sama Raga?" tanya Janu tepat pada sasaran.Seketika wajah Mika memucat, tangannya
Rossa sedang asyik membaca sebuah novel ketika pintu kamarnya dibuka oleh tantenya."Kamu nggak belajar, Ros?" tanya tante Rossa pelan."Udah tadi. Mau rehat sebentar, Tan," sahut Rossa tanpa beralih dari novel yang dia pegang.Tante Rossa menarik napas sebentar lalu duduk di tepi tempat tidur Rossa. "Ros ... Tante mau ngomong sesuatu sama kamu, om kamu belum cerita ya?""Hm?" toleh Rossa penasaran."Itu ..." Tante Rossa menggaruk tengkuknya ragu-ragu. "Om kamu pindah tugas, Ros. Kayaknya kita bakal pindah bulan depan."Novel di tangan Rossa otomatis berpindah ke atas kasur, sejenak tubuh Rossa membeku. "Hah?! Pindah gimana? Ke mana?!" Matanya melotot, mukanya mulai pucat."Ya ke luar kota," jawab Tante dengan entengnya. "Ke Kalimantan.""Kalimantan?! Jauh banget!" pekik Rossa panik. "Terus sekolah aku gimana, Tan?!""Ya mau nggak mau kamu harus ikut pindah. Ini om kamu nanti mau ke sekolah kamu buat ngurus perpindahan."
Air muka Raga sedikit berubah mendapat pertanyaan bernada seperti itu dari Mika. "Kenapa kamu penasaran?""Jangan salah paham, ya! Bukan ada maksud aku buat ... menggoda kamu! Jangan mikir ke arah sana!" ujar Mika langsung membuat klarifikasi."Hm, siapa juga yang bilang kamu menggoda aku? Nggak ada yang bilang begitu, berarti kan kamu yang ngarep aku mikir ke arah sana.""Heh! Enak aja! Maksud aku tuh ... kamu kan udah ditinggal sama mantan tunangan kamu, apa iya kamu nggak pernah terpikir tentang dia?"Ekspresi Raga terlihat menjadi lebih murung ketimbang sebelumnya, wajah milik seseorang terbayang di benaknya, seseorang yang sudah setengah mati dia coba untuk lupakan."Nggak perlu dibahas," tandas Raga tegas."Kenapa?" Mika masih penasaran."Kalau kamu cuma penasaran doang, jangan ditanya. Kecuali kamu mau bantu aku buat melupakan dia."Mika tertohok mendengar serangan mendadak dari Raga, maka tak dia lanjutkan lagi rasa ing
Menjelang mendekati rumah ibunya, langkah Mika perlahan melambat sebab dia sadari ada sesuatu yang lain di depan pintu rumah ibunya, terdapat sepasang sepatu asing di teras. Sepasang sepatu laki-laki.Kayak bukan sepatu Ayah, dan kalaupun Ayah, ngapain dia di sini?batin Mika terheran-heran. Dia melangkah lebih dekat, dan dia dengar suara dari dalam. Sayup-sayup mulanya, tapi lama-lama kian keras."Kamu bilang mau kasih uang itu secepatnya buat aku!"Suara seorang laki-laki, hati Mika berdegup ganjil. Suara itu tidak dia kenali."Kamu tau kan? Anak aku juga perlu kuliah, dia nggak bisa minta uang dari suaminya terus ..."Kenapa cara bicara Bunda lain banget?batin Mika lagi."Itu bukan urusan aku! Kamu kira uang lima ratus ribu aja cukup?!"Mendengar suara pria itu meninggi dan menjadi lebih intens, Mika langsung membuka pintu tanpa pikir panjang. Seketika dia membeku tatkala dilihatnya ibunya sedang berdua
Dan meski Janu sudah lelah mengomeli Rossa, tapi dia tetap pada akhirnya melunak. "Ayo, kita pergi sekarang."Mata Rossa sedikit membulat. "Pergi? Pergi ke mana?""Toh jam terakhir tinggal lima menit lagi, apa guna kamu masuk kelas sekarang? Sudah jam makan siang juga, saya lapar."Secara tak langsung, Janu menawarkan makan siang kepada Rossa. Maka, dengan antusias Rossa menyahut, "Iya! Oke! Oke aku ikut!"Senyum miring yang samar melengkung di sudut bibir Janu, entah mengapa dia merasa lucu melihat antusiasme Rossa, seperti seekor anak anjing terlantar yang mengikuti siapa saja di jalan agar dibawa pulang. Tragis, tapi manis.***"Kamu yakin nggak mau pesan ice cream bowl?"Habis makan siang, Janu memesan kopi panas untuknya sedang Rossa ragu-ragu. Meski tak diungkapkan, Janu bisa membaca mimik muka Rossa yang sejak tadi memandangi ice cream bowl di buku menu. Air ludahnya sampai sulit dia telan saking kepenginnya d
Langkah Rossa tertahan sebab tiga gadis bertubuh tinggi kini menghadang di hadapannya. Sorot mata dan wajah Rossa langsung berubah, dia mesti waspada. Saat ini dia tengah berada di toilet perempuan, bersama tiga gadis paling kejam di kelasnya."Mau balik ke kelas? Kok buru-buru banget, sih." Gadis yang berdiri di tengah melipat tangan di depan dada."Apa mau kalian? Minggir!" Rossa memberanikan diri membentak."Wah, wah ... jagoan kita udah punya nyali sekarang." Gadis di sebelah kanan ikut menimpali."Aku nggak punya urusan sama kalina, awas!" Rossa berusaha untuk menyingkir, tapi tangan dua gadis di hadapannya langsung menarik dirinya dan mendesaknya sampai dia terpojok di samping cermin besar toilet."Sadar diri dong anak napi!!" teriak gadis yang berada di tengah.Rossa menggigit bibirnya sendiri, sudah kesekian kali dia mendapat hinaan seperti itu. Tidak akan dia biarkan harga dirinya terus terinjak-injak. "Dengar kalian, anak manja. In
Minggu pagi dengan sisa embun akibat hujan deras semalaman. Janu tengah sibuk memotongi rumput di halaman depan sepetak ketika sebuah mobil pick up berhenti di depan jalan, tepat di depan rumah yang ada di seberang rumahnya. Rumah itu memang sudah sekitar dua bulan tak berpenghuni. Pemilik terdahulu adalah seorang perempuan tua, janda. Dia kini menetap di desa bersama anak tertuanya, entah rumah itu dia sewakan atau sudah dijual, baik Janu maupun Mika tak pernah punya hasrat ingin tahu."Mas, kita sarapan dulu, yuk. Aku bikin roti panggang." Mika membawa nampan ke teras lalu meletakkannya di atas meja.Mata Mika sebentar menoleh pula ke depan, melihat perabot-perabot mulai diturunkan dari pick up. "Kita punya tetangga baru?" Mika mendekati Janu yang sekarang sedang membilas tanah dari tangannya."Ya. Kayaknya sih." Janu menyahut cuek. Dia segera duduk di teras, menyeruput segelas kopi panas yang juga baru dibuatkan Mika. Tanpa pikir pan