"Kok Bunda datang nggak bilang-bilang?"
Mika cepat-cepat merapikan meja yang sedikit berantakan sebab ibunya datang ke rumah tanpa memberi tahu lebih dulu.
"Ya habis kamu juga nggak pernah ngunjungi Bunda lagi sejak kamu nikah. Keasyikan menikmati segala kemewahan ya?" gerutu Bunda sambil seenaknya duduk di sofa.
"Bukan gitu, Bunda. Tapi aku banyak tugas kuliah. Kan Bunda tau aku udah mulai kuliah." Mika berjalan ke dapur lalu merejang air. "Bunda mau minum kopi atau teh?"
"Yah ... masa rumah orang kaya minum teh atau kopi? Minum jus, dong!"
"Jangan bercanda ah, Bun. Norak banget." Mika mulai jengkel.
"Iya ... biasalah! Teh aja. Kamu mah nggak bisa diajak bercanda sedikit. Omong-omong, suami kamu belum pulang?"
"Belum, Bun. Mungkin bentar lagi." Mika menyahut sambil menyiapkan gelas dan gula.
Bunda mengambil remote yang berada di atas meja kemudian menyalakan TV. Matanya sesekali melirik kepada Mika yang masih di dapur. Ketika
Sejak menerima tawaran dari Tasya, ketenangan Mika selama di kampus bisa dikatakan resmi terancam. Penyebabnya jelas, gadis itu selalu menempel dengannya, seperti nasi yang tak sengaja diinjak. Ke manapun Mika pergi, Tasya selalu ikut. Entah itu ke perpustakaan, halaman belakang kampus, bahkan ke toilet sekalipun. Alasannya? Supaya sewaktu-waktu River menjumpai Mika, Tasya ada juga di sampingnya.Bagi Tasya itu bukan masalah, tapi bagi Mika yang ingin waktu belajarnya tak terusik, jelas ini masalah besar. Apalagi Tasya jelas bukan mahasiswa yang rajin, kerjanya cuma bermain ponsel saja, apa guna dia duduk berjam-jam di perpustakaan hanya sekadar menemani Mika. Tapi kegigihannya menunggu River layak diapresiasi. Mika bahkan merasa ini bukan cuma soal patah hati diputuskan tanpa alasan, tapi ini adalah obsesi.***"Bisa kita ngomong bentar?"Kepala Mika tengadah tatkala suara familier menyapa telinganya. Dia dan Tasya yang tengah duduk di bawah pohon kersen
"Kamu minggu depan ada kegiatan nggak, Ka?"Suara Janu dari ruang tamu sedikit membuyarkan konsentrasi Mika yang tengah berjibaku dengan minyak panas di dapur. "Hah? Minggu depan? Hari apa, Mas?" tanyanya sambil membalik gorengan yang mulai berubah warna menjadi kuning kecokelatan di dalam kolam minyak panas."Hari Rabu," balas Janu.Mika membisu sesaat. "Emang ada apaan ya, Mas?""Ada undangan, sih. Biasa ... ada guru yang menikah." Janu menjawab enteng."Bentar, ya, Mas. Aku cek dulu hape-ku."Mika ingat, beberapa hari lalu dia telah membuat janji dengan River, dan seingatnya janji kerja itu akan berlangsung minggu depan pula. Napas panjang meluncur dari bibir Mika yang ranum ketika dia temukan catatan di ponsel pintarnya yang menunjukkan jadwal untuk hari Rabu."Itu jam berapa ya, Mas?" tanyanya lagi untuk memastikan."Mungkin jam tiga. Kenapa? Kamu ada kegiatan di kampus?" Janu memadamkan TV yang sejak tadi tidak d
"Makasih ya, hari ini juga kerja kamu bagus." Kameramen tak segan-segan memberikan pujian kepada Mika. "Oya, kayaknya kita belum pernah kenalan secara resmi ya. Nama aku Randy." Pria muda itu menjulurkan tangan kepada Mika.Gadis muda yang bertugas merias Mika pun bergegas menghampiri mereka. "Ya ... kok aku nggak diajak sih? Aku Dina.""Mika. Maaf ya telat ngenalin diri." Mika tersenyum lebar."Udah belum ini?! Ayo balik, Ka. Kerjaan udah kelar." River yang sejak tadi menunggu mulai tak sabaran."Oya, tunggu dulu, Ver. Kita mau ada promo buat baju couple gitu, kalian berdua bisa, kan? Tapi klien belum kasih tau sih buat kapan waktunya." Dina bertanya."Hah?" River sekilas menatap Mika. "Kenapa harus kami?""Ya siapa lagi coba? Kamu mau sama mantan kamu, siapa tuh namanya?" tanya Randy mengingat-ingat sambil sengaja meledek."Tasya," timpal Dina.River mendecakkan lidah kesal. "Ya udah. Kapan pemotretannya bilang aja.
Pria paruh baya itu mengempaskan tangan Mika dengan kasar, diliriknya Raga dengan mata yang mendelik kemudian berlalu sebab takut juga bogem pria muda yang jelas lebih kuat dibanding dirinya mendarat di pipinya. Bukan hanya rasa sakit yang akan dia tanggung, tapi tentu ada juga rasa malu."Itu siapa?" tanya Raga setelah punggung pria tua itu menjauh.Mika ragu-ragu hendak membuka suara, bola matanya bergerak gelisah dari kanan ke kiri. "Kalau memang nggak mau cerita ya udah." Raga berlagak tak peduli meski setengah mati penasaran."Itu Ayah." Mika akhirnya menjawab pelan."Ayah siapa?""Ayah akulah, siapa lagi? Masa ayahnya tetangga, sih?" Masih sempat Mika berseloroh, menutupi rasa sesak yang sudah membungkus hatinya sejak tadi."Hubungan kalian buruk? Kenapa dia kasar sama kamu?" Raga mengorek lagi.Mika menggosok mukanya dengan telapak tangan, melepas sedikit rasa frustrasi. "Aku nggak tau aku harus cerita sama kamu atau enggak, ta
"Rossa?"Hening. Tak ada jawaban."Rossa?"Sekali lagi Janu yang sedang mengabsen bertanya."Pak, hari ini Rossa nggak hadir." Salah seorang murid akhirnya angkat suara. "Udah tiga hari sebetulnya, nggak ada surat izin juga."Janu sejenak menutup buku absen yang dia pegang. "Apa udah ada inisiatif untuk nyari tau dia kenapa? Ketua kelas? Gimana?"Ketua kelas 12 IPA 2 langsung salah tingkah. "Soalnya Rossa memang sering absen, Pak, makanya ... kami juga bingung harus--""Ya udah, nggak usah alasan kalau memang kamu nggak peduli sama teman sekelas kamu. Biar nanti Bapak yang coba cek." Janu langsung berkomentar dingin. "Next, Sinta?" Lalu dia lanjutkan kegiatannya yang sempat tersendat tadi. Sekalipun dia berkata akan menghindari Rossa, tapi sebagai seorang guru, dia tak bisa berhenti untuk peduli kepada muridnya, hanya sebatas hubungan guru dan murid.***Tangan Janu menggenggam kuat di setir mobilnya, matanya su
"Belum selesai juga, Din?" tanya Randy dari luar ruang rias."Belum, nih. Dikit lagi."Mika agak kagok melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Pakaian yang dia kenakan serta riasan manis di wajahnya membuatnya terlihat berbeda. Tak lama dia keluar bersama Dina."Yuk, langsung aja." Dina langsung memberi arahan agar Mika duduk di titik yang tepat.River yang seharusnya cepat bergerak mendekat malah cengo memperhatikan perubahan drastis pada diri Mika."Kenapa bengong?! Sono cepat!" Dina memukul pelan lengan River.River tersadar dari lamunan dan dengan gaya acuh tak acuh berdiri di samping Mika."Kalian tau kan konsepnya? Pasangan. Jadi coba agak mesra dikit ya, bangun kemistri kalian, oke?" Randy memberi instruksi pula."Iya tau, ah. Bawel." River sedikit menggerutu.Dilihatnya tangan Mika yang menganggur. Haruskah dipegang? Atau dibiarkan saja? Baru pertama kali River segugup ini saat bekerja bersama model perempuan
"Kenapa sih sikap Mas tadi norak banget?" ungkit Mika ketika dia dan Janu tengah menyuci peralatan makan yang baru mereka pakai tadi bersama teman-teman Mika. Mereka sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu."Norak gimana? Emangnya aku bilang apa?" sahut Janu pura-pura naif."Ya Mas pake bilang aku sama River serasi. Apaan itu."Janu tertawa kecil. "O itu? Emangnya kenapa? Aku memang berpikir kalian itu keliatan serasi. Cowok itu keliatan cakep, pantas jadi model. Toh kalau kalian memang ada sesuatu--""Nggak ada apa-apa!" Suara Mika meninggi.Janu sampai agak kaget dibuatnya. "Kenapa kamu? Santai aja, dong, Mika. Kenapa sampe marah gitu? Anggap aja aku memuji.""Ya karena di antara kami memang nggak ada apa-apa." Mika kukuh membantah."Jangan sia-siakan laki-laki yang betul-betul punya hati untuk kamu. Takutnya nanti nyesal. Keliatan sih dia tertarik sama kamu. Temenmu yang satu lagi juga keliatannya begitu."Ucapan Janu ba
Walau Janu bingung kenapa Mika langsung pamit pergi begitu mereka tiba di rumah, dia toh tak menghalangi, dia biarkan saja Mika pergi entah ke mana, dia tak bertanya.***"Kenapa harus ketemu sekarang, sih? Apaan?" tanya Mika cuek sesaat setelah dia turun dari taksi.Raga yang sudah sekitar sepuluh menit menunggu di taman diam saja, mukanya tawar, cenderung pahit bahkan. "Kamu pura-pura bego?" Akhirnya dia angkat suara."Kenapa kamu, Raga? Aku udah jauh-jauh loh datang ke sini, malah dikatain, lagi! Jadi apa yang mau kamu omongin? Kesannya penting banget." Mika memilih untuk tak duduk di samping Raga, dia bisa merasakan hawa kuat dari sekujur tubuh pria itu."Kamu kan udah tau, apa-apaan itu foto profil kamu?!" sentak Raga, nyaris Mika mundur ke belakang akibat suara bentakan Raga yang tidak dia prediksi."Jangan ngagetin, dong. Biasa aja. Ya anehnya apaan? Itu kan--""Biasa aja?" Tiba-tiba Raga berdiri, tubuhnya menjulang di hadapan