Melihat kedatangan Tania, aku dan Ega sama-sama tercekat. Ega bahkan tiba-tiba menurunkan aku dari gendongan. Langkahnya tergesa menghampiri gadis berambut panjang sepinggang itu. Dengan rambut yang sudah terlihat sangat basah, penampilan Tania tampak begitu memprihatinkan.
"Ta-Tania?" sapa Ega cukup terdengar lirih. Namun, binar matanya menunjukkan kebahagiaan. "Ke mana saja kamu selama ini?" Ega bertanya penuh kepedulian.
"Ga ... aku butuh tempat berteduh sekarang," ujar Tania tidak mengindahkan pertanyaan Ega. "Aku diusir dari kontrakan." Tania melapor dengan memasang wajah memelas.
"Kamu belum jawab pertanyaanku. Sebulan ini kamu ke mana saja?" desak Ega terus menunjukkan kepedulian.
"Aku-"
"Kita bicara di dalam. Ayuk!" Ega menyela dan langsung mengajak Tania masuk.
EHEM!
Aku berdaham cukup keras. Membuat kedua sejoli itu menoleh. Wajah pucat Tania bertambah pias menyadari keberadaanku. Sementara Ega terlihat tidak peduli.
"Apa maksudnya dengan berbicara di dalam?" tanyaku menunjukkan protes.
"Di sini dingin. Lihat angin bahkan bertiup sangat kencang!" tunjuk Ega pada pohon palem yang menghiasi halaman kecil rumah kami. Daun-daunnya tampak bergoyang hebat diterpa angin malam bercampur hujan. "Kamu mau kita sakit semua?" Ega menatap sinis.
"Mika, eum ... izinkan aku menginap satu malam di sini. Aku mohon," pinta Tania dengan merapatkan kedua jemari di dada.
Aku sendiri lumayan tercengang. Dari mana dia tahu namaku. Walau pernah bertemu dulu saat masih merawat Ibu Gina, tetapi kami belum pernah bercakap-cakap. Sepertinya Ega yang memberi tahu. Kalau bukan dia, siapa lagi?
"Kenapa harus meminta izin padanya? Ini rumahku." Perkataan Ega menyadarkanku dari lamunan.
Lelaki itu lantas menarik lengan kecil mulus Tania. Membawanya memasuki rumah. Dan aku tidak bisa melarang. Karena ini memang kediaman resmi Ega.
Lelaki itu mendapat hunian mewah ini sebagai hadiah pernikahan dari Bapak Edi Baskara. Di samping itu terbit juga rasa iba di dada, melihat paras Tania yang kian memucat. Belum lagi suara petir juga mulai menyambar. Rasanya jahat sekali jika aku tidak mengizinkan Tania masuk.
Ada dua buah kamar kosong dan sebuah kamar mandi di lantai bawah rumah kami. Ega membawa koper Tania memasuki salah satu kamar kosong dekat ruang keluarga.
Aku sendiri gegas menaiki anak tangga menuju kamar. Baju yang basah menciptakan hawa yang lumayan dingin. Terpaksa membilas badan kembali menggunakan air hangat untuk mengusir dingin ini. Tidak perlu lama-lama. Aku lekas mengakhiri mandi ketiga pada hari ini.
Ketika baru saja membuka pintu kamar mandi, Ega sudah berdiri menunggu. Mata kami bersitatap sesaat. Kemudian tanpa bicara lelaki itu masuk ke kamar mandi.
Sepuluh menit kemudian, saat aku tengah mengoles krim mata di depan cermin rias, pintu kamar mandi berderit. Ega tampak segar begitu selesai membersihkan badan. Wangi shampo dan sabun yang menusuk hidung, menarik mataku untuk meliriknya.
Dengan hanya mengenakan handuk sebatas pusar, lelaki itu membuka pintu lemari. Pantulan badannya yang tengah mengenakan pakaian terlihat jelas di cermin besar ini. Tampak sekali dia begitu tergesa-gesa.
"Mau tidur di bawah? Nemenin tidur Tania, ya?" tanyaku begitu Ega meraih gagang pintu hendak ke luar.
"Dia kelaparan. Aku kasihan melihatnya," balas Ega datar. Terlihat sekali dia tidak ingin memancing keributan denganku. "Aku mau buatkan mie rebus."
"Biar aku aja!" sambarku lekas bangkit dari duduk. "Kamu tunggu di kamar! Semua keperluan Tania biar aku yang urus," perintahku menatap Ega serius.
"Mik ...." Ega menggantung omongan dengan wajah keki. Sepertinya dia tidak rela diperintah. Namun, tidak punya alasan yang kuat untuk membantah.
"Kalian dua orang dewasa, haram jika masih berdekatan," tuturku tenang. "Apalagi pernah atau bahkan mungkin masih saling mencinta. Gak mau ada setan di antara kalian kan?"
"Arghhh!"
Ega menyugar rambutnya dengan frustrasi. Lelaki itu menatapku garang. Namun, ia mengindahkan perintah. Dirinya melemparkan tubuh ke ranjang dengan gusar.
Sudut bibirku berkedut. Mudah sekali mengendalikan pria kulkas ini. Melihat Ega menutupi diri dengan selimut tebal, aku lekas turun ke lantai bawah.
Langkah kuderap menuju dapur. Cekatan kunyalakan kompor untuk membuat mie rebus serta membuat teh manis hangat. Tidak lebih dari sepuluh menit olahan tersebut siap tersaji.
Mie rebus dengan topping telur rebus dan daun ceisim, aku masukkan ke nampan beserta secangkir besar teh manis hangat. Hati-hati aku menuju kamar yang ditempati oleh Tania.
"Tania!" panggilku begitu sampai di depan pintu kamarnya.
Sebenarnya malas menyebut nama gadis cantik berhidung mancung itu. Ya ... tentu saja malas. Bagaimanapun juga Tania adalah calon duri di biduk rumah tanggaku.
Namun, tangan ini sedang susah digunakan untuk mengetuk pintu. Karena tengah mencengkeram nampan stainless. Maka mau tak mau bibirku melafalkan nama itu juga.
Pintu perlahan terkuak. Sosok Tania dengan rambut yang masih lembap hadir di depanku. Bibirnya yang membiru bergerak mengulas senyum.
"Mi-Mika." Ia menyapa lirih.
"Aku buatkan mie dan teh manis hangat. Ega bilang kamu kelaparan," ujarku datar dan setenang mungkin.
"Oh ... terima kasih," ucap Tania dengan menganguk sopan. "Kenapa harus repot-repot begini?" imbuhnya berbasa-basi.
"Memuliakan tamu pahalanya besar bukan?" balasku dengan meringiskan bibir.
Kakiku melangkah memasuki ruangan berukuran empat kali empat meter ini. Ada sebuah meja kayu berukuran sedang yang menempel di dinding. Nampan berisi makanan ini kutaruh di samping tisu di atas meja kayu tersebut.
Pandangan kuedarkan untuk menyapu sekeliling. Kamar tamu ini bersebelahan persis dengan bilik kosong yang kemudian digunakan Ega untuk ruang kerjanya. Koper Mika terlihat berdiri di pojok ruangan dekat lemari tinggi.
"Silahkan dimakan, nanti keburu dingin lho," tawarku karena Tania tidak lekas menyantap hidangan tersebut.
"Ah ... ya. Terima kasih."
Tania menarik kursi beroda, lalu mulai menyantap mie buatanku dengan malu-malu.
"Mau menginap berapa lama di sini?" tanyaku sambil mengawasi Tania. Gadis itu tampak mulai melahap nikmat mie kuah buatanku. Itu terdengar dari decakan yang berasal dari mulutnya.
Tania tampak tercekat mendengar pertanyaanku. Gadis bermata kecil, namun indah itu menyesap air teh manis.
"Secepatnya aku akan pergi dari sini jika sudah mendapatkan tempat berteduh," jawabnya seraya mengelap bibir dengan selembar tisu. Lalu membuangnya ke tong sampah di bawah meja persis.
Gadis itu membalikkan sendok dan garpu. Pertanda ia mengakhiri makannya. Padahal isinya baru berkurang seperempat. Mungkinkah pertanyaanku membuat selera makannya hilang?
"Maaf, Tania. Bukannya aku mengusir, tapi kehadiranmu akan memperkeruh biduk rumah tanggaku dengan Ega. Kami-"
"Ya ... aku mengerti," potong Tania cepat. "Besok pagi aku akan segera pergi dari sini," janji Tania sendu.
"Terima kasih atas pengertiannya," ucapku sembari menepuk pundak kecil itu. Tania tersenyum kecil. Ketika aku hendak mengambil nampan, tangannya mencegah.
"Aku masih lapar," ujarnya menunduk tersipu.
Aku tersenyum. "Lanjutkan makan malammu."
Usai mendapat anggukan kecil dari Tania, aku melangkah ke luar. Napas panjang penuh kelegaan kuhembus. Ternyata Tania tidak serepot yang dibayangkan selama ini. Gadis itu cukup tahu diri.
Ahhhh ... semoga saja dia benar-benar memenuhi janjinya. Lekas hengkang dari rumah ini secepatnya. Agar hubunganku dengan Ega tidak terganggu.
Dengan langkah yang ringan aku kembali menderap menuju kamar. Ega sudah meringkuk di bawah selimut begitu aku masuk. Suhu pendingin ruangan yang dinyalakan begitu rendah membuat aku menggigil. Bahkan semilir anginnya terdengar begitu kentara.
Senyumku terkembang melihat remote AC tergeletak di atas nakas. Sayang letaknya tepak di samping Ega. Aku harus berjingkat kecil ketika bergerak mendekati benda persegi panjang itu. Berusaha meredam suara agar Ega tidak terbangun. Akhirnya, setelah berhati-hati melangkah, remote ini bisa kuraih juga.
"Jangan dinaikkan suhunya!" Sontak aku terkejut mendengar perintah itu. Saat kutoleh, mata Ega menatapku tajam. "Taruh balik di tempatnya!" titahnya dengan telunjuk mengacung ke nakas.
"Ga ... ini dingin banget suhunya. Aku-"
"Mau aku tidur di bawah?" ancamannya dengan meringis miring.
Aku berdecak kesal. Biasanya aku yang mengancam. Kenapa kali ini ia yang pegang kendali?
Dengan gusar kutaruh kembali remote itu pada tempatnya. Perasaan kesal ini, membuat aku menghempaskan tubuh ke ranjang. Karena hawa yang terasa kian menusuk tulang, kurebut selimut tebal yang tengah membungkus badan Ega.
Tidak terima diperlakukan demikian, Ega menarik kembali kain tebal warna putih itu. Jadilah kami tarik menarik selimut. Menyebalkan! Sebagai seorang pria Ega tidak ada niat untuk mengalah.
Akhirnya, dengan menahan rasa gondok kusudahi adegan kekanak-kanakan ini. Dan kemenangan ada di tangan Ega. Kumiringkan badan untuk memunggungi Ega. Selepas menghirup oksigen sedalam mungkin, mata ini terpejam.
Beberapa menit kemudian, sepasang lengan kekar melingkar di perut. Karena masih keki, kutepis kasar tangan Ega. Namun, lelaki itu justru mengunci tubuhku dengan dekapannya.
"Kalo kamu berontak, aku tidur di bawah!"
Lagi-lagi aku mendengkus sebal mendengar ancamannya. Namun, menit berikutnya bibirku berkedut senang, tatkala wajah Ega menyeruak ke leher. Dalam senyuman aku terlelap.
***
Hari beranjak pagi. Udara dingin membuat malas membuka mata. Rasanya ingin terus-terusan bergelung di balik selimut. Namun, seruan panggilan sholat yang berkumandang pada applikasi ponsel menuntutku untuk bangun.
Aku menoleh ke samping. Bantal Ega sudah kosong. Sudah terbiasa dia bangun lebih pagi dariku.
Terkantuk-kantuk aku menuju kamar mandi. Membasuh muka dan sekalian mensucikan diri dari hadas kecil. Air dingin yang mengalir dari keran seketika menyegarkan wajah.
Kewajiban dua rakaat lekas kupenuhi usai berwudhu. Tidak lupa kupanjatkan doa pada sang Maha Pencipta agar lekas meluluhkan hati Ega. Aku ingin rumah tangga kami berjalan sebagaimana mestinya. Harmonis tanpa ada drama gengsi pada diri kami.
Aku sangat ingin sholat berjamaah dengan Ega sebagai imam. Selama ini selalu sholat sendiri. Ega selalu saja menolak jika diajak berjamaah.
Setelah cukup mencurahkan isi hati pada Sang Maha Kuasa, aku bergegas turun. Seperti yang sudah-sudah, dapur adalah tempat pertama yang didatangi ketika pagi. Namun, langkahku melambat saat melihat Ega tengah berdiri mematung di depan kamar mandi tamu.
"Hoeeek ... Hoeeek!"
Mendadak hatiku mencelos saat mendengarkan suara Tania dari dalam kamar mandi. Suara muntahan gadis itu membuat napasku berhenti sesaat.
Next.
Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
"Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb
(POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya
Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa
Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it
(POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet
Semua orang tengah terpekur dalam kesedihan. Hari ini Bian sedang menjalani operasi. Semua berharap pemuda itu bisa tertolong. Tania terus-menerus menangis. Sementara Bapak Edi memilih bermunajat di mushola rumah sakit. Meminta bantuan kepada sang Khalik. Berharap agar putra kandungnya selamat dan kembali menjadi manusia yang sehat.Di sisi lain Mika dan Ibu Gina merasakan perut mereka keroncongan. Karena memang sewaktu berangkat keduanya belum sarapan. Namun, melihat Ega yang terus tertunduk sedih, Mika menahan rasa lapar.Ibu Gina sendiri tidak kuat menahan lapar. Dia ingin mengisi perut. Wanita paruh baya itu menyenggol lengan sang menantu. "Apa?" tanya Mika lirih. Kurang tidur dan tidak enak badan membuatnya malas bicara."Sarapan yuk!" ajak Ibu Gina sambil berbisik."Ayuk!" Gayung bersambut. Mika yang juga merasakan pedih di perut langsung mengiyakan ajakan sang mertua. "Ga, kita mau sarapan, ikut yuk!" Kini Mika mengajak serta suaminya dengan lembut.Ega mendongak memindai wa
"Keadaannya drop." Mika membalas pertanyaan Tania dengan jujur. Tangis Tania kembali bergulir lagi mendapat jawaban dari Mika."Ga, kamu kelihatan pucat dan letih. Apa kamu udah sarapan?" tanya Mika peduli.Sebagai seorang istri dia tentu harus perhatian pada keadaan suaminya. Mika juga agak menyesal karena tadi lupa membawa bekal sarapan untuk Ega karena tergesa-gesa. Walau ia sendiri juga belum makan pagi."Aku gak berselera makan, Mik," sahut Ega lemah. Pria itu kembali menghempaskan tubuhnya di bangku tunggu. "Kamu ajak saja Tania sarapan. Kasihan ... wanita hamil harus banyak makan. Jangan sampai janinnya kekurangan gizi," tutur Ega sembari menasihati Tania."Pikiranku kacau mikirin Bian begini, mana bisa aku menelan makanan, Ga." Tania menolak masih dengan berlinang air mata. Wanita itu juga kembali duduk. Lalu menenggelamkan wajahnya pada dada Ega. "Aku takut Bian kenapa-napa," kalutnya sela isak."Sttt! Berbicaralah yang baik. Karena omongan itu adalah doa," nasihat Ega lembut
"Siapa wanita itu, Pa?" Suara dingin dari Ibu Gina membuat Bapak Edi tercekat.Bapak Edi bergeming. Tidak dihiraukan pertanyaan sang istri. Dirinya cukup lama menatap foto usang itu. Perlahan ia menatap Tania. "Dari mana kamu dapatkan foto ini?" cecar Bapak Edi ingin tahu."Foto itu sudah ada pada Bian sejak kami tinggal di panti asuhan," jawab Tania dengan suara sumbang. Pertanda dia habis menangis lama. "Dia bilang jika itu satu-satunya kenangan dari ibunya yang masih ia simpan."Rahang Bapak Edi mengatup. Otot-otot lehernya terlihat. Jelas dia sedang menahan letupan emosi kesedihan."Bian," gumamnya getir.Kini kaki pria itu bergerak cepat menuju ruang ICU. Segera Ibu Gina dan Mika mengikuti. Kedua wanita itu juga ingin melihat kondisi Bian. Ega sendiri memilih duduk kembali bersama Tania di luar.Mata Bapak Edi tertuju pada sebuah brankar tempat berbaring pemuda yang beberapa hari ini selalu ingin dekat dengannya. Mata Bian terpejam. Namun, air mata yang sudah mengering terlihat m