Home / Romansa / DISENTUH TANPA CINTA / 3. Makan Malam yang Indah

Share

3. Makan Malam yang Indah

last update Last Updated: 2022-09-30 16:12:43

Kesepakatan telah dibuat dan Ega telah menyetujuinya. Aku berharap dia tidak akan ingkar. Karena jika Ega menjalankan kesepakatan, maka hubungan kami akan selangkah lebih maju.

Pernikahan kami kemarin digelar cukup sederhana untuk seorang Bapak Edi Baskara. Walau pria berkharisma itu menginginkan pesta yang meriah. Ega menolak dengan berbagai alasan.

Tidak banyak orang yang tahu jika Ega telah menikah. Apalagi dia memang jarang sekali mengajakku pergi. Hanya sesekali saja itu pun jika melibatkan acara keluarga.

Setelah kata deal terucap, aku pergi meninggalkan Ega menuju kamar. Merilekskan tubuh dengan berendam. Menenggelamkan diri pada lautan busa wangi. Rasanya sungguh menyenangkan.

Setelah cukup merasa segar, aku kembali ke kamar. Berganti pakaian, lalu turun ke dapur untuk membuat makan malam.

Ketika sampai dapur sudah ada Ega yang tengah sibuk mengiris bumbu. Penampilannya terlihat segar dengan rambut basah dan kaos rumahan yang santai. Pastinya dia mandi di kamar mandi bawah.

Sebenarnya tidak terkejut saat menjumpai Ega berkutat di dapur. Sudah biasa melihat dia membuat makanannya sendiri. Lelaki itu bahkan sering mendiamkan makanan yang sudah susah payah kubuat demi gengsinya padaku.

"Istri macam apa yang membiarkan meja makan kosong begitu saja," sindir Ega begitu menyadari kehadiranku. Tangannya mulai sibuk memasukkan semua bumbu dan bahan telur dadar spesial ke wajan. Selain nasi goreng, telor dadar, dan mie rebus tidak ada yang bisa ia buat. Walau begitu dia tetap gengsi minta dibuatkan makanan.

Aku tersenyum mendengarnya seraya mendekat. "Ahhh ... biasanya juga makan malam di luar. Capek-capek aku buat gak disentuh juga. Mubasir tahu tiap pagi buang makanan," balasku sambil memperhatikan kesibukan Ega.

Ega sendiri langsung berpaling padaku. "Gak usah ngelunjak kamu!" tegas Ega dengan tatapan tajamnya, "aku gak suka kamu banyak bicara. Sadar diri kamu berasal dari mana," lanjutnya dingin dan begitu menikam jantung.

Tawaku meledak mendengar penuturan Ega. Membuat pria itu menatapku nanar. Bahkan tangannya terlihat mencengkeram kuat sodet kayu yang sedang ia gunakan.

"Kamu tertawa?" tanya Ega dengan mata menyipit.

"Ya ... kamu lucu sekali, Ega." Tawaku masih saja berderai. Membuat napas Ega kian memburu.

"Lucu?" Dahi Ega kian berlipat mendengar jawabanku.

"Dengar Ega! Asal usul kita itu sama. Sama-sama berasal dari keluarga kurang mampu." Aku mengingatkan usai mereda tawa. "Hanya saja asal usulku jauh lebih jelas dibanding asal usulmu," pungkasku membuat Ega tercekat.

"Mikaaa!" Pria itu menggertak. Ega paling marah jika disinggung tentang asal usulnya.

"Gak usah teriak-teriak! Lihat masakanmu gosong," tunjukku pada wajan di atas kompor.

"Shit!" umpat Ega seraya mematikan api kompor.  Napasnya terdengar berderu.

Ega paling marah jika disinggung tentang asal usulnya. Di usianya yang sudah seperempat abad, hingga kini dia belum tahu siapa kedua orang tuanya. Bapak Edi dan Bu Guna sudah mencari tahu keberadaan orang tua kandungnya. Namun, hasilnya nihil.

"Aku buatkan makan malam," ujarku mendapati Ega kesal dengan masakannya.

"Gak usah! Kelamaan." Ega mencegah cepat, "lagian isi kulkas juga kosong kok, mau masak apa?" imbuhnya dengan lirikan tajam.

Aku menghembus napas panjang. Salah lagi. "Itu baru kosong. Kemarin-kemarin juga selalu penuh kok." Aku mencoba berkilah.

"Alasan."

"Salah sendiri kalo diajak belanja bulanan gak pernah mau."

"Jadi di sini aku yang salah?" Lagi-lagi Ega menatapku sinis.

"Oke, aku pesan makanan."

"Gak usah! Udah keburu hilang lapernya!" Ega kembali mencegah.

Aku menghembus napas resah. Ega benar-benar kekanak-kanakan. "Ya udah kita cari makanan di luar, yuk! Bakso kek, soto kek, apa kek."

Ega tidak menjawab. Lelaki itu hanya menatapku keki, lantas berlalu.

"Kalo tidak mau menemaniku nyari makanan di luar, aku gak mau nemenin kamu kondangan besok!"

Langkah Ega terhenti mendengar ancamanku. "Arghhh!" Dia mengerang kesal. Namun, ketika melangkah keluar rumah, Ega mengikuti.

Kuayunkan langkah menyusuri jalanan komplek. Mencari tukang mie ayam yang biasanya lewat depan rumah. Lima menit berjalan ketemu juga tukang mie yang dicari.

"Mie ayam dua ya, Pak," pesanku pada bapak penjual.

"Bungkus atau makan sini, Neng?" tanya Si bapak ramah.

"Makan sini, Pak," balasku mendaratkan pantat pada kursi plastik yang tersedia.

"Siap," balas Pak penjual semangat. Pria paruh baya itu lekas meracik mie.

"Kenapa harus dimakan di sini sih?" tegur Ega dengan wajah tidak sukanya.

"Aku pengen makan mie sambil lihat bintang," jawabku seraya menunjuk langit malam yang lumayan gelap. Bahkan rembulan pun bersinar pucat karena tertutup awan hitam.

"Mana ada bintang? Yang ada turun hujan iya," ujar Ega dengan senyum mengejeknya.

"Kalo kamu gak mau, kamu bisa pulang kok," suruhku santai.

Ega mengerling tajam. Namun, ia ikut duduk di sebelahku. Menit berikutnya pesanan kami tiba. Dua porsi mie ayam dan es teh manis.

Ega yang memang terlihat sangat lapar langsung membubuhi mie ayam tersebut dengan saos dan sambal. Tanpa ba-bi-bu dia lantas menyantap dengan lahap.

"Kayak setahun gak makan aja, sampe lupa baca bismillah," sindirku seraya mengaduk mie dalam mangkok.

"Berisik!" Ega menyergah. Pria itu benar-benar tidak peduli. Kembali dengan mantap ia melahap mie tersebut.

"UHUK!" Ega terbatuk. Dilihat dari wajahnya yang merah dan penuh peluh, sepertinya ia tersedak karena kepedasan.

Sebenarnya aku ingin tertawa. Namun, kuurungkan. Rasanya tidak pantas menertawakan suami sendiri.

Melihat Ega yang masih terbatuk-batuk, tanganku lekas meraih cangkir besar berisi air teh di meja. Ketika akan meminumkan tangan Ega menepis. Lelaki itu memilih meminum sendiri.

"Hati-hati. Ntar kesedak lagi," ucapku mengingatkan begitu melihat Ega menenggak minuman dengan terburu-buru.

Ega tidak peduli. Lelaki itu menandaskan minumannya sekali tenggak. Membuat bibirnya belepotan.

Kuambil secarik tisu yang tersedia di meja. Mengelap perlahan bibir Ega. Membersihkan sisa-sisa saos yang manis menempel. Serta mengeringkan bibirnya.

Kali ini Ega tidak melarang. Lelaki itu membiarkan begitu saja tanganku menyusuri bibirnya. Kini bahkan mata kami bertemu pandang.

Tes.

Kurasakan setetes air langit menyentuh wajahku. Ega sendiri tampak mendongak ke atas. Langit sudah benar-benar gelap.

"Ayo pulang! Mau hujan nih," ajak Ega gegas bangkit berdiri.

Lelaki itu mendekati tukang mie ayam. Menanyakan total pesanan. Begitu dijawab, Ega mengangsurkan sejumlah uang. Kudengar dia mengikhlaskan kembaliannya untuk Bapak penjual.

Kemudian tanpa menoleh lagi, Ega mengeloyor pergi. Bahkan saat tetesan air hujan itu mulai menjadi gerimis besar, dia berlari. Aku sampai terjatuh karena mengikuti langkah lebarnya.

"Aduhhh!" Sialnya kakiku terantuk batu. Membuat nyeri di sekujur tungkai. Lutut terasa pedih sekali. Ketika kukuak celana piayama ini, ternyata ada luka yang berdarah di sekitar lutut. Pantas rasanya perih minta ampun.

Ega sendiri tampak menghentikan langkah panjangnya. Sepertinya dia mendengar aku mengaduh. Lelaki itu balik badan. Terkesan malas-malasan dia mendekat.

"Kenapa?" tanya dia datar. Sementara gerimis kian menderas.

"Kesandung batu," jawabku sembari meniupi lutut.

Air langit yang menerpa membuat luka terasa kian perih. Kututup kembali lutut dengan menarik celana piama.

"Oh ... kirain kenapa," sahutnya cuek.

"Bantuin napa!" sambarku ketika Ega hendak pergi begitu saja tanpa mau menolong.

Lelaki kulkas itu mendekat. Mengulurkan tangan tanpa bersuara. Lekas kuterima karena badan yang sudah mulai kuyup.

Lutut yang sakit membuat jalanku terpincang. Dan Ega sama sekali tidak peduli. Dia tetap berjalan mendahului tanpa berniat mengimbangi. Benar-benar menyebalkan!

"Hujan makin lebat, Mika. Kenapa jalannya lelet sekali?!" tegurnya begitu menyadari aku tertinggal jauh.

"Kakiku sakit, Ega," balasku meringis. Luka ini kian perih terguyur air hujan.

Terdengar Ega berdecak sebal. Dia kembali mundur untuk mendekat. "Perlu aku gendong biar cepat sampe rumah?"

Aku terdiam. Gengsi mengiyakan. Walau dalam hati mau sekali.

Ega menatapku serius. Tidak diduga ia merendahkan badan. Ia membungkukkan diri dan menepuk punggungnya. Memberi isyarat agar aku lekas naik ke gendongannya.

Tanpa menunggu lagi, aku langsung melompat ke gendongan Ega.

"Humphhh!" Ega menegakkan badan dengan tubuhku yang menempel pada punggungnya. "Kecil-kecil berat juga ternyata. Kayak buntelan beras." Kudengar ia menggumam.

Ledekan Ega membuat aku mencubit keras perutnya. Membuat ia mengaduh keras. Namun, itu tidak menyurutkan omongannya untuk mengataiku berat.

Sepanjang perjalanan terus kuhujani dia dengan cubitan. Entah siapa yang memulai, kami saling tertawa. Sangat lepas.

Namun, kebahagiaan ini harus terputus, saat di depan pintu rumah kami mendapati sesosok gadis berdiri dengan badan menggigil. Tania menunggu kedatangan kami dengan wajah pucat dan baju yang basah kuyup. Tangan kanannyaya mencengkeram erat pegangan koper kecil.

Mau apa dia malam-malam ke sini?

  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DISENTUH TANPA CINTA   48. Disentuh Penuh Cinta

    Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet

  • DISENTUH TANPA CINTA   47. Terbongkar

    "Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb

  • DISENTUH TANPA CINTA   46. Orang Suruhan Galih

    (POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya

  • DISENTUH TANPA CINTA   45. Pertengkaran Tania-Galih

    Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa

  • DISENTUH TANPA CINTA   44. Rekaman CCTV

    Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it

  • DISENTUH TANPA CINTA   43. Ujian

    (POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status