Share

3. Makan Malam yang Indah

Kesepakatan telah dibuat dan Ega telah menyetujuinya. Aku berharap dia tidak akan ingkar. Karena jika Ega menjalankan kesepakatan, maka hubungan kami akan selangkah lebih maju.

Pernikahan kami kemarin digelar cukup sederhana untuk seorang Bapak Edi Baskara. Walau pria berkharisma itu menginginkan pesta yang meriah. Ega menolak dengan berbagai alasan.

Tidak banyak orang yang tahu jika Ega telah menikah. Apalagi dia memang jarang sekali mengajakku pergi. Hanya sesekali saja itu pun jika melibatkan acara keluarga.

Setelah kata deal terucap, aku pergi meninggalkan Ega menuju kamar. Merilekskan tubuh dengan berendam. Menenggelamkan diri pada lautan busa wangi. Rasanya sungguh menyenangkan.

Setelah cukup merasa segar, aku kembali ke kamar. Berganti pakaian, lalu turun ke dapur untuk membuat makan malam.

Ketika sampai dapur sudah ada Ega yang tengah sibuk mengiris bumbu. Penampilannya terlihat segar dengan rambut basah dan kaos rumahan yang santai. Pastinya dia mandi di kamar mandi bawah.

Sebenarnya tidak terkejut saat menjumpai Ega berkutat di dapur. Sudah biasa melihat dia membuat makanannya sendiri. Lelaki itu bahkan sering mendiamkan makanan yang sudah susah payah kubuat demi gengsinya padaku.

"Istri macam apa yang membiarkan meja makan kosong begitu saja," sindir Ega begitu menyadari kehadiranku. Tangannya mulai sibuk memasukkan semua bumbu dan bahan telur dadar spesial ke wajan. Selain nasi goreng, telor dadar, dan mie rebus tidak ada yang bisa ia buat. Walau begitu dia tetap gengsi minta dibuatkan makanan.

Aku tersenyum mendengarnya seraya mendekat. "Ahhh ... biasanya juga makan malam di luar. Capek-capek aku buat gak disentuh juga. Mubasir tahu tiap pagi buang makanan," balasku sambil memperhatikan kesibukan Ega.

Ega sendiri langsung berpaling padaku. "Gak usah ngelunjak kamu!" tegas Ega dengan tatapan tajamnya, "aku gak suka kamu banyak bicara. Sadar diri kamu berasal dari mana," lanjutnya dingin dan begitu menikam jantung.

Tawaku meledak mendengar penuturan Ega. Membuat pria itu menatapku nanar. Bahkan tangannya terlihat mencengkeram kuat sodet kayu yang sedang ia gunakan.

"Kamu tertawa?" tanya Ega dengan mata menyipit.

"Ya ... kamu lucu sekali, Ega." Tawaku masih saja berderai. Membuat napas Ega kian memburu.

"Lucu?" Dahi Ega kian berlipat mendengar jawabanku.

"Dengar Ega! Asal usul kita itu sama. Sama-sama berasal dari keluarga kurang mampu." Aku mengingatkan usai mereda tawa. "Hanya saja asal usulku jauh lebih jelas dibanding asal usulmu," pungkasku membuat Ega tercekat.

"Mikaaa!" Pria itu menggertak. Ega paling marah jika disinggung tentang asal usulnya.

"Gak usah teriak-teriak! Lihat masakanmu gosong," tunjukku pada wajan di atas kompor.

"Shit!" umpat Ega seraya mematikan api kompor.  Napasnya terdengar berderu.

Ega paling marah jika disinggung tentang asal usulnya. Di usianya yang sudah seperempat abad, hingga kini dia belum tahu siapa kedua orang tuanya. Bapak Edi dan Bu Guna sudah mencari tahu keberadaan orang tua kandungnya. Namun, hasilnya nihil.

"Aku buatkan makan malam," ujarku mendapati Ega kesal dengan masakannya.

"Gak usah! Kelamaan." Ega mencegah cepat, "lagian isi kulkas juga kosong kok, mau masak apa?" imbuhnya dengan lirikan tajam.

Aku menghembus napas panjang. Salah lagi. "Itu baru kosong. Kemarin-kemarin juga selalu penuh kok." Aku mencoba berkilah.

"Alasan."

"Salah sendiri kalo diajak belanja bulanan gak pernah mau."

"Jadi di sini aku yang salah?" Lagi-lagi Ega menatapku sinis.

"Oke, aku pesan makanan."

"Gak usah! Udah keburu hilang lapernya!" Ega kembali mencegah.

Aku menghembus napas resah. Ega benar-benar kekanak-kanakan. "Ya udah kita cari makanan di luar, yuk! Bakso kek, soto kek, apa kek."

Ega tidak menjawab. Lelaki itu hanya menatapku keki, lantas berlalu.

"Kalo tidak mau menemaniku nyari makanan di luar, aku gak mau nemenin kamu kondangan besok!"

Langkah Ega terhenti mendengar ancamanku. "Arghhh!" Dia mengerang kesal. Namun, ketika melangkah keluar rumah, Ega mengikuti.

Kuayunkan langkah menyusuri jalanan komplek. Mencari tukang mie ayam yang biasanya lewat depan rumah. Lima menit berjalan ketemu juga tukang mie yang dicari.

"Mie ayam dua ya, Pak," pesanku pada bapak penjual.

"Bungkus atau makan sini, Neng?" tanya Si bapak ramah.

"Makan sini, Pak," balasku mendaratkan pantat pada kursi plastik yang tersedia.

"Siap," balas Pak penjual semangat. Pria paruh baya itu lekas meracik mie.

"Kenapa harus dimakan di sini sih?" tegur Ega dengan wajah tidak sukanya.

"Aku pengen makan mie sambil lihat bintang," jawabku seraya menunjuk langit malam yang lumayan gelap. Bahkan rembulan pun bersinar pucat karena tertutup awan hitam.

"Mana ada bintang? Yang ada turun hujan iya," ujar Ega dengan senyum mengejeknya.

"Kalo kamu gak mau, kamu bisa pulang kok," suruhku santai.

Ega mengerling tajam. Namun, ia ikut duduk di sebelahku. Menit berikutnya pesanan kami tiba. Dua porsi mie ayam dan es teh manis.

Ega yang memang terlihat sangat lapar langsung membubuhi mie ayam tersebut dengan saos dan sambal. Tanpa ba-bi-bu dia lantas menyantap dengan lahap.

"Kayak setahun gak makan aja, sampe lupa baca bismillah," sindirku seraya mengaduk mie dalam mangkok.

"Berisik!" Ega menyergah. Pria itu benar-benar tidak peduli. Kembali dengan mantap ia melahap mie tersebut.

"UHUK!" Ega terbatuk. Dilihat dari wajahnya yang merah dan penuh peluh, sepertinya ia tersedak karena kepedasan.

Sebenarnya aku ingin tertawa. Namun, kuurungkan. Rasanya tidak pantas menertawakan suami sendiri.

Melihat Ega yang masih terbatuk-batuk, tanganku lekas meraih cangkir besar berisi air teh di meja. Ketika akan meminumkan tangan Ega menepis. Lelaki itu memilih meminum sendiri.

"Hati-hati. Ntar kesedak lagi," ucapku mengingatkan begitu melihat Ega menenggak minuman dengan terburu-buru.

Ega tidak peduli. Lelaki itu menandaskan minumannya sekali tenggak. Membuat bibirnya belepotan.

Kuambil secarik tisu yang tersedia di meja. Mengelap perlahan bibir Ega. Membersihkan sisa-sisa saos yang manis menempel. Serta mengeringkan bibirnya.

Kali ini Ega tidak melarang. Lelaki itu membiarkan begitu saja tanganku menyusuri bibirnya. Kini bahkan mata kami bertemu pandang.

Tes.

Kurasakan setetes air langit menyentuh wajahku. Ega sendiri tampak mendongak ke atas. Langit sudah benar-benar gelap.

"Ayo pulang! Mau hujan nih," ajak Ega gegas bangkit berdiri.

Lelaki itu mendekati tukang mie ayam. Menanyakan total pesanan. Begitu dijawab, Ega mengangsurkan sejumlah uang. Kudengar dia mengikhlaskan kembaliannya untuk Bapak penjual.

Kemudian tanpa menoleh lagi, Ega mengeloyor pergi. Bahkan saat tetesan air hujan itu mulai menjadi gerimis besar, dia berlari. Aku sampai terjatuh karena mengikuti langkah lebarnya.

"Aduhhh!" Sialnya kakiku terantuk batu. Membuat nyeri di sekujur tungkai. Lutut terasa pedih sekali. Ketika kukuak celana piayama ini, ternyata ada luka yang berdarah di sekitar lutut. Pantas rasanya perih minta ampun.

Ega sendiri tampak menghentikan langkah panjangnya. Sepertinya dia mendengar aku mengaduh. Lelaki itu balik badan. Terkesan malas-malasan dia mendekat.

"Kenapa?" tanya dia datar. Sementara gerimis kian menderas.

"Kesandung batu," jawabku sembari meniupi lutut.

Air langit yang menerpa membuat luka terasa kian perih. Kututup kembali lutut dengan menarik celana piama.

"Oh ... kirain kenapa," sahutnya cuek.

"Bantuin napa!" sambarku ketika Ega hendak pergi begitu saja tanpa mau menolong.

Lelaki kulkas itu mendekat. Mengulurkan tangan tanpa bersuara. Lekas kuterima karena badan yang sudah mulai kuyup.

Lutut yang sakit membuat jalanku terpincang. Dan Ega sama sekali tidak peduli. Dia tetap berjalan mendahului tanpa berniat mengimbangi. Benar-benar menyebalkan!

"Hujan makin lebat, Mika. Kenapa jalannya lelet sekali?!" tegurnya begitu menyadari aku tertinggal jauh.

"Kakiku sakit, Ega," balasku meringis. Luka ini kian perih terguyur air hujan.

Terdengar Ega berdecak sebal. Dia kembali mundur untuk mendekat. "Perlu aku gendong biar cepat sampe rumah?"

Aku terdiam. Gengsi mengiyakan. Walau dalam hati mau sekali.

Ega menatapku serius. Tidak diduga ia merendahkan badan. Ia membungkukkan diri dan menepuk punggungnya. Memberi isyarat agar aku lekas naik ke gendongannya.

Tanpa menunggu lagi, aku langsung melompat ke gendongan Ega.

"Humphhh!" Ega menegakkan badan dengan tubuhku yang menempel pada punggungnya. "Kecil-kecil berat juga ternyata. Kayak buntelan beras." Kudengar ia menggumam.

Ledekan Ega membuat aku mencubit keras perutnya. Membuat ia mengaduh keras. Namun, itu tidak menyurutkan omongannya untuk mengataiku berat.

Sepanjang perjalanan terus kuhujani dia dengan cubitan. Entah siapa yang memulai, kami saling tertawa. Sangat lepas.

Namun, kebahagiaan ini harus terputus, saat di depan pintu rumah kami mendapati sesosok gadis berdiri dengan badan menggigil. Tania menunggu kedatangan kami dengan wajah pucat dan baju yang basah kuyup. Tangan kanannyaya mencengkeram erat pegangan koper kecil.

Mau apa dia malam-malam ke sini?

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status