Share

5. Kejutan Di Pagi Hari

"Tania ... kamu gak papa?" Kudengar Ega bertanya dengan penuh kepedulian. 

Kuping yang lumayan panas menarik kakiku untuk mendekat. Di depan pintu kamar mandi aku berpapasan dengan mereka. Ega merangkul Tania yang lesu hingga ke sofa ruang tengah. Peluh tampak membasahi paras cantik Tania.

Tangan Ega meraih tisu yang tersedia di meja. Seolah mengabaikanku penuh perhatian dia mulai mengelap butiran keringat pada wajah Tania. Sementara sang wanita terkulai lemas dengan kepala bersandar pada sandaran sofa.

"Kamu kenapa, Tania?" Way ada rasa panas menjalar di hati melihat kepedulian Ega pada gadis itu. Namun, demi kesopanan aku perlu berbasa-basi.

"Entahlah." Tania menjawab lemah disertai gelengan yang pelan pula. "Akhir-akhir ini setiap pagi aku selalu muntah-muntah," tutur gadis itu terdengar cukup lirih.

"Kenapa bisa begitu? Apa kamu sudah pernah periksa ke dokter?" berondong Ega tampak begitu cemas.

"Gak ada waktu dan gak uang, Ega," balas Tania meringis miris.

"Jangan seperti itu, Tania! Uang bisa dicari kapanpun, tapi kesehatan itu nomor satu," tukas Ega masih sok perhatian.

"Nyatanya kalo gak kerja, aku gak dapat duit. Dan kalo gak ada duit ya kaya gini ... luntang-lantung gak jelas." Tania berkilah. Dari ucapannya, gadis ini minta dikasihani.

"Kami bisa tinggal di sini selama kamu belum punya pekerjaan baru lagi." Terdengar Ega memutus dengan tegas.

EHEM

Aku sengaja berdeham guna menyadarkan keduanya. Benar saja Ega dan Tania refleks menoleh. Bedanya jika Ega tampak cuek lihat keberadaanku, lain dengan Tania. Gadis itu tampak menunduk dalam.

"Jika kamu peduli pada Tania, carikan tempat tinggal! Bukannya menyuruh dia menetap di sini," saranku sambil terus berusaha tenang.

"Mika, kamu punya hati gak sih?" Mata elang Ega menghujam saat menanyakan hal itu. Membuat nyaliku sedikit mengkerut.

"Maksud kamu apa?" Walau dongkol juga bilang tidak punya hati. Namun, aku terus berusaha tenang.

"Tania sedang sakit dan kamu malah tega mengusirnya. Di mana mata hatimu, Mika? Ingat! Kalian ini sama-sama wanita. Tidak bisakah kamu berempati sedikit terhadap kesusahan Tania, Mika?" cerocos Ega panjang.

Aku sendiri tercekat mendengar penuturannya. Dari ucapannya aku ini layaknya wanita berhati batu yang tidak punya peri kemanusiaan. Sementara itu, tidak sengaja mataku menangkap seulas senyum tipis yang tersungging di bibir Tania. Gadis itu tampak senang melihat aku diomeli Ega. Sialan!

"Dengar, Ga! Jika aku tidak punya hati, sudah kuusir Tania dari rumah semalam," balasku tenang, "kamu tahu sendiri kan semalam aku bahkan menjamunya. Aku tidak keberatan kamu mau menolong Tania, tapi aku tidak setuju jika dia tinggal di sini. Baik sebentar maupun lama," putusku tegas. Usai berucap demikian, aku membalikkan badan. Lalu mulai menuju ke dapur untuk membuat minuman.

"Ini rumahku. Aku bebas memasukkan orang semauku."

Di langkah ketiga aku berhenti. Ucapan Ega benar-benar membuat dadaku terasa sesak. Terpaksa aku kembali membalikkan badan, untuk menghadap Ega kembali.

"Ini memang rumahmu, tapi di sini posisiku-"

"Posisimu adalah istrimu, jadi kamu harus tunduk padaku," sambar Ega cepat. Lelaki itu tidak membiarkan aku menyelesaikan omongan. "Sekarang buatkan sarapan untuk Tania!" Kini ia mulai memerintah.

"Kulkas kosong, kamu tahu sendiri bukan?"

"Mika, bisa gak sehari kamu menurut padaku?" Tatapan Ega terlihat begitu menakutkan. "Dan ingat! Aku tidak pernah takut jika kamu mengadu pada kedua orang tua angkatku. Silahkan! Muak aku mendengar dikit-dikit kamu mengancam."

Aku terkesima. Tidak kusangka Ega bisa senekat ini demi melindungi Tania. 

"Oke ... jika itu yang kamu pinta." Aku mengangguk-angguk paham, "sudah yakin dengan keputusanmu jika Mama papamu sampai tahu?" tanyaku memancing.

"Cukup! Sudah perdebatan ini!" Tania yang sedari tadi diam kini bangkit berdiri. "Ega, terima kasih untuk pertolonganmu. Tapi, Mika benar. Aku tidak layak tinggal di sini. Mungkin Mika takut jika nanti aku akan menjadi beban kalian." 

Ucapan bernada tuduhan dari Tania membuat aku tercekat. Pintar sekali dia merangkai kata. Kembali di sini aku terlihat seperti wanita tidak berhati. 

Tania melangkah lesu meninggalkan kami. Di langkah kedua, gadis berbibir tipis merah alami itu menghentikan langkah. Tangannya memijit pelipis. Dengan mata yang terpejam, bibirnya mendesis. Seolah tengah menahan rasa sakit yang teramat.

Melihat keadaan Tania yang terlihat mengenaskan itu, Ega bergerak cepat mendekat. "Tania ... kamu gak papa?" tanyanya dengan wajah khawatir.

"Aku ... aku baik-baik saja," balas Tania lemah. 

Gadis itu menepis pegangan Ega pada lengannya. Ketika ia melangkah, tubuhnya tiba-tiba terhuyung. Beruntung Ega sigap menangkap. Menit berikutnya, mata Tania terpejam. 

"Tania bangun, Tania!" teriak Ega seraya menepuk-nepuk pipi mulus Tania. "Taniaaa!" Namun, sang gadis tidak juga membuka mata. 

"Bawa dia ke kamar! Biar aku ambilkan minyak angin," suruhku kemudian. Iba juga melihat Tania terkulai lemas.

Ega mengangguk setuju. Gegas ia membopong tubuh ramping itu. Sementara aku melesat kilat ke kamar untuk mengambil minyak angin.

Ketika sampai di kamar Tania usai mengambil minyak angin, Ega terdengar tengah menelepon dokter. Dokter keluarga yang biasa menangani Ibu Gina sang mama.

Aku sendiri langsung mengoleskan minyak angin tersebut pada pelipis dan sekujur tubuh Tania. Menempelkan minyak angin tersebut ke hidung pemudi itu. Agar dihirup oleh Tania, Namun, gadis itu tidak lekas sadar juga.

Beberapa menit kemudian, terdengar deru mesin di halaman. Ega langsung melesat ke luar. Lelaki itu menyambut dokter yang dipanggilnya.

Kebetulan sekali Tania sudah sadar ketika dokter muda itu tiba. Aku dan Ega menunggu di luar saat Tania diperiksa. Sekitar sepuluh menit berikutnya, dokter bernama Galih itu ke luar kamar.

"Bagaimana keadaannya, Mas?" tanya Ega terlihat penasaran. 

Dia memanggil dokter Galih dengan sebuah mas karena keduanya masih punya kekerabatan. Dokter Galih adalah anak dari kakaknya Ibu Gina. Jadi hubungan mereka adalah sepupu angkat.

"Mantan cewekmu hamil tuh," jawab Dokter Galih santai. Tangannya menulis resep di secarik kertas. "Tebus obat dan vitamin ini di apotik," suruhnya seraya mengangsurkan resep tersebut ke Ega. "Oh ya ... jaga dia! Kasihan ... dia ibu dan bayinya kekurangan gizi dan anemia," imbuh Dokter Galih terlihat menaruh simpatik pada Tania.

Usai menepuk pundak Ega perlahan, pria beranak satu itu melangkah pergi. Ega mengantar kakak sepupunya itu sampai pintu depan. 

Aku sendiri langsung menemui Tania. Gadis itu sudah duduk dengan memeluk lutut. Isakannya terdengar lirih. Namun, memilukan. Saat aku mendekat dan duduk di tepi ranjangnya. Ega menyeruak masuk.

"Tania ... siapa? Siapa yang telah menghamilimu?" cecar Ega sembari mengguncang kedua pundak Tania.

"Kamu pikir aku gadis murahan, yang sembarang mau ditiduri orang?!" Tidak kusangka Tania membentak Ega. Air mata gadis itu kian berderai.

"Jadi ... maksud kamu ... itu bayiku?" Terbata Ega menduga. Sementara aku hanya bisa ternganga.

"Kamu lupa pada malam sebelum pernikahanmu dengan Mika?" tanya Tania mencoba mengingatkan. "Malam itu kamu amat kalut. Datang ke kontrakanku dengan mulut bau alkohol diantar Bian. Kamu ... kamu ...." Tania tidak meneruskan ucapannya. Gadis itu justru tergugu.

"Tania ...."

"Walaupun cuma sekali kita melakukannya dan kamu sendiri juga dalam keadaan mabuk, tetapi ini adalah benihmu!" semprot Tania membuat aku dan Ega ternganga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status