"Tania ... kamu gak papa?" Kudengar Ega bertanya dengan penuh kepedulian.
Kuping yang lumayan panas menarik kakiku untuk mendekat. Di depan pintu kamar mandi aku berpapasan dengan mereka. Ega merangkul Tania yang lesu hingga ke sofa ruang tengah. Peluh tampak membasahi paras cantik Tania.
Tangan Ega meraih tisu yang tersedia di meja. Seolah mengabaikanku penuh perhatian dia mulai mengelap butiran keringat pada wajah Tania. Sementara sang wanita terkulai lemas dengan kepala bersandar pada sandaran sofa.
"Kamu kenapa, Tania?" Way ada rasa panas menjalar di hati melihat kepedulian Ega pada gadis itu. Namun, demi kesopanan aku perlu berbasa-basi.
"Entahlah." Tania menjawab lemah disertai gelengan yang pelan pula. "Akhir-akhir ini setiap pagi aku selalu muntah-muntah," tutur gadis itu terdengar cukup lirih.
"Kenapa bisa begitu? Apa kamu sudah pernah periksa ke dokter?" berondong Ega tampak begitu cemas.
"Gak ada waktu dan gak uang, Ega," balas Tania meringis miris.
"Jangan seperti itu, Tania! Uang bisa dicari kapanpun, tapi kesehatan itu nomor satu," tukas Ega masih sok perhatian.
"Nyatanya kalo gak kerja, aku gak dapat duit. Dan kalo gak ada duit ya kaya gini ... luntang-lantung gak jelas." Tania berkilah. Dari ucapannya, gadis ini minta dikasihani.
"Kami bisa tinggal di sini selama kamu belum punya pekerjaan baru lagi." Terdengar Ega memutus dengan tegas.
EHEM
Aku sengaja berdeham guna menyadarkan keduanya. Benar saja Ega dan Tania refleks menoleh. Bedanya jika Ega tampak cuek lihat keberadaanku, lain dengan Tania. Gadis itu tampak menunduk dalam.
"Jika kamu peduli pada Tania, carikan tempat tinggal! Bukannya menyuruh dia menetap di sini," saranku sambil terus berusaha tenang.
"Mika, kamu punya hati gak sih?" Mata elang Ega menghujam saat menanyakan hal itu. Membuat nyaliku sedikit mengkerut.
"Maksud kamu apa?" Walau dongkol juga bilang tidak punya hati. Namun, aku terus berusaha tenang.
"Tania sedang sakit dan kamu malah tega mengusirnya. Di mana mata hatimu, Mika? Ingat! Kalian ini sama-sama wanita. Tidak bisakah kamu berempati sedikit terhadap kesusahan Tania, Mika?" cerocos Ega panjang.
Aku sendiri tercekat mendengar penuturannya. Dari ucapannya aku ini layaknya wanita berhati batu yang tidak punya peri kemanusiaan. Sementara itu, tidak sengaja mataku menangkap seulas senyum tipis yang tersungging di bibir Tania. Gadis itu tampak senang melihat aku diomeli Ega. Sialan!
"Dengar, Ga! Jika aku tidak punya hati, sudah kuusir Tania dari rumah semalam," balasku tenang, "kamu tahu sendiri kan semalam aku bahkan menjamunya. Aku tidak keberatan kamu mau menolong Tania, tapi aku tidak setuju jika dia tinggal di sini. Baik sebentar maupun lama," putusku tegas. Usai berucap demikian, aku membalikkan badan. Lalu mulai menuju ke dapur untuk membuat minuman.
"Ini rumahku. Aku bebas memasukkan orang semauku."
Di langkah ketiga aku berhenti. Ucapan Ega benar-benar membuat dadaku terasa sesak. Terpaksa aku kembali membalikkan badan, untuk menghadap Ega kembali.
"Ini memang rumahmu, tapi di sini posisiku-"
"Posisimu adalah istrimu, jadi kamu harus tunduk padaku," sambar Ega cepat. Lelaki itu tidak membiarkan aku menyelesaikan omongan. "Sekarang buatkan sarapan untuk Tania!" Kini ia mulai memerintah.
"Kulkas kosong, kamu tahu sendiri bukan?"
"Mika, bisa gak sehari kamu menurut padaku?" Tatapan Ega terlihat begitu menakutkan. "Dan ingat! Aku tidak pernah takut jika kamu mengadu pada kedua orang tua angkatku. Silahkan! Muak aku mendengar dikit-dikit kamu mengancam."
Aku terkesima. Tidak kusangka Ega bisa senekat ini demi melindungi Tania.
"Oke ... jika itu yang kamu pinta." Aku mengangguk-angguk paham, "sudah yakin dengan keputusanmu jika Mama papamu sampai tahu?" tanyaku memancing.
"Cukup! Sudah perdebatan ini!" Tania yang sedari tadi diam kini bangkit berdiri. "Ega, terima kasih untuk pertolonganmu. Tapi, Mika benar. Aku tidak layak tinggal di sini. Mungkin Mika takut jika nanti aku akan menjadi beban kalian."
Ucapan bernada tuduhan dari Tania membuat aku tercekat. Pintar sekali dia merangkai kata. Kembali di sini aku terlihat seperti wanita tidak berhati.
Tania melangkah lesu meninggalkan kami. Di langkah kedua, gadis berbibir tipis merah alami itu menghentikan langkah. Tangannya memijit pelipis. Dengan mata yang terpejam, bibirnya mendesis. Seolah tengah menahan rasa sakit yang teramat.
Melihat keadaan Tania yang terlihat mengenaskan itu, Ega bergerak cepat mendekat. "Tania ... kamu gak papa?" tanyanya dengan wajah khawatir.
"Aku ... aku baik-baik saja," balas Tania lemah.
Gadis itu menepis pegangan Ega pada lengannya. Ketika ia melangkah, tubuhnya tiba-tiba terhuyung. Beruntung Ega sigap menangkap. Menit berikutnya, mata Tania terpejam.
"Tania bangun, Tania!" teriak Ega seraya menepuk-nepuk pipi mulus Tania. "Taniaaa!" Namun, sang gadis tidak juga membuka mata.
"Bawa dia ke kamar! Biar aku ambilkan minyak angin," suruhku kemudian. Iba juga melihat Tania terkulai lemas.
Ega mengangguk setuju. Gegas ia membopong tubuh ramping itu. Sementara aku melesat kilat ke kamar untuk mengambil minyak angin.
Ketika sampai di kamar Tania usai mengambil minyak angin, Ega terdengar tengah menelepon dokter. Dokter keluarga yang biasa menangani Ibu Gina sang mama.
Aku sendiri langsung mengoleskan minyak angin tersebut pada pelipis dan sekujur tubuh Tania. Menempelkan minyak angin tersebut ke hidung pemudi itu. Agar dihirup oleh Tania, Namun, gadis itu tidak lekas sadar juga.
Beberapa menit kemudian, terdengar deru mesin di halaman. Ega langsung melesat ke luar. Lelaki itu menyambut dokter yang dipanggilnya.
Kebetulan sekali Tania sudah sadar ketika dokter muda itu tiba. Aku dan Ega menunggu di luar saat Tania diperiksa. Sekitar sepuluh menit berikutnya, dokter bernama Galih itu ke luar kamar.
"Bagaimana keadaannya, Mas?" tanya Ega terlihat penasaran.
Dia memanggil dokter Galih dengan sebuah mas karena keduanya masih punya kekerabatan. Dokter Galih adalah anak dari kakaknya Ibu Gina. Jadi hubungan mereka adalah sepupu angkat.
"Mantan cewekmu hamil tuh," jawab Dokter Galih santai. Tangannya menulis resep di secarik kertas. "Tebus obat dan vitamin ini di apotik," suruhnya seraya mengangsurkan resep tersebut ke Ega. "Oh ya ... jaga dia! Kasihan ... dia ibu dan bayinya kekurangan gizi dan anemia," imbuh Dokter Galih terlihat menaruh simpatik pada Tania.
Usai menepuk pundak Ega perlahan, pria beranak satu itu melangkah pergi. Ega mengantar kakak sepupunya itu sampai pintu depan.
Aku sendiri langsung menemui Tania. Gadis itu sudah duduk dengan memeluk lutut. Isakannya terdengar lirih. Namun, memilukan. Saat aku mendekat dan duduk di tepi ranjangnya. Ega menyeruak masuk.
"Tania ... siapa? Siapa yang telah menghamilimu?" cecar Ega sembari mengguncang kedua pundak Tania.
"Kamu pikir aku gadis murahan, yang sembarang mau ditiduri orang?!" Tidak kusangka Tania membentak Ega. Air mata gadis itu kian berderai.
"Jadi ... maksud kamu ... itu bayiku?" Terbata Ega menduga. Sementara aku hanya bisa ternganga.
"Kamu lupa pada malam sebelum pernikahanmu dengan Mika?" tanya Tania mencoba mengingatkan. "Malam itu kamu amat kalut. Datang ke kontrakanku dengan mulut bau alkohol diantar Bian. Kamu ... kamu ...." Tania tidak meneruskan ucapannya. Gadis itu justru tergugu.
"Tania ...."
"Walaupun cuma sekali kita melakukannya dan kamu sendiri juga dalam keadaan mabuk, tetapi ini adalah benihmu!" semprot Tania membuat aku dan Ega ternganga.
Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
"Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb
(POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya
Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa
Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it
(POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet
Semua orang tengah terpekur dalam kesedihan. Hari ini Bian sedang menjalani operasi. Semua berharap pemuda itu bisa tertolong. Tania terus-menerus menangis. Sementara Bapak Edi memilih bermunajat di mushola rumah sakit. Meminta bantuan kepada sang Khalik. Berharap agar putra kandungnya selamat dan kembali menjadi manusia yang sehat.Di sisi lain Mika dan Ibu Gina merasakan perut mereka keroncongan. Karena memang sewaktu berangkat keduanya belum sarapan. Namun, melihat Ega yang terus tertunduk sedih, Mika menahan rasa lapar.Ibu Gina sendiri tidak kuat menahan lapar. Dia ingin mengisi perut. Wanita paruh baya itu menyenggol lengan sang menantu. "Apa?" tanya Mika lirih. Kurang tidur dan tidak enak badan membuatnya malas bicara."Sarapan yuk!" ajak Ibu Gina sambil berbisik."Ayuk!" Gayung bersambut. Mika yang juga merasakan pedih di perut langsung mengiyakan ajakan sang mertua. "Ga, kita mau sarapan, ikut yuk!" Kini Mika mengajak serta suaminya dengan lembut.Ega mendongak memindai wa
"Keadaannya drop." Mika membalas pertanyaan Tania dengan jujur. Tangis Tania kembali bergulir lagi mendapat jawaban dari Mika."Ga, kamu kelihatan pucat dan letih. Apa kamu udah sarapan?" tanya Mika peduli.Sebagai seorang istri dia tentu harus perhatian pada keadaan suaminya. Mika juga agak menyesal karena tadi lupa membawa bekal sarapan untuk Ega karena tergesa-gesa. Walau ia sendiri juga belum makan pagi."Aku gak berselera makan, Mik," sahut Ega lemah. Pria itu kembali menghempaskan tubuhnya di bangku tunggu. "Kamu ajak saja Tania sarapan. Kasihan ... wanita hamil harus banyak makan. Jangan sampai janinnya kekurangan gizi," tutur Ega sembari menasihati Tania."Pikiranku kacau mikirin Bian begini, mana bisa aku menelan makanan, Ga." Tania menolak masih dengan berlinang air mata. Wanita itu juga kembali duduk. Lalu menenggelamkan wajahnya pada dada Ega. "Aku takut Bian kenapa-napa," kalutnya sela isak."Sttt! Berbicaralah yang baik. Karena omongan itu adalah doa," nasihat Ega lembut
"Siapa wanita itu, Pa?" Suara dingin dari Ibu Gina membuat Bapak Edi tercekat.Bapak Edi bergeming. Tidak dihiraukan pertanyaan sang istri. Dirinya cukup lama menatap foto usang itu. Perlahan ia menatap Tania. "Dari mana kamu dapatkan foto ini?" cecar Bapak Edi ingin tahu."Foto itu sudah ada pada Bian sejak kami tinggal di panti asuhan," jawab Tania dengan suara sumbang. Pertanda dia habis menangis lama. "Dia bilang jika itu satu-satunya kenangan dari ibunya yang masih ia simpan."Rahang Bapak Edi mengatup. Otot-otot lehernya terlihat. Jelas dia sedang menahan letupan emosi kesedihan."Bian," gumamnya getir.Kini kaki pria itu bergerak cepat menuju ruang ICU. Segera Ibu Gina dan Mika mengikuti. Kedua wanita itu juga ingin melihat kondisi Bian. Ega sendiri memilih duduk kembali bersama Tania di luar.Mata Bapak Edi tertuju pada sebuah brankar tempat berbaring pemuda yang beberapa hari ini selalu ingin dekat dengannya. Mata Bian terpejam. Namun, air mata yang sudah mengering terlihat m