"Mas Keanu kan?" Meira menunjuk Keanu yang melangkah perlahan ke ruang makan. Adrian dan Wicaksono saling tatap. Mereka tak tahu kenapa Meira dan Keanu bisa saling kenal. Raka pun cukup kaget melihat Meira dan adik lelakinya tampak cukup akrab. "Kok bisa ketemu di sini ya?" Keanu tersenyum sembari garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dia menarik salah satu kursi lalu mendudukinya setelah menyalami semua yang ada di ruang makan itu. "Iya, Mas. Saya kerja sebagai baby sitter Denada hampir empat bulan ini." Meira mengangguk pelan sembari mengulas senyuman. "Pantas saja jarang ke panti, ternyata sudah hijrah ke kota ini. Tahu begitu aku sering pulang ya." Tawa lelaki itu pun terdengar. Meira ikut tersenyum tipis mendengar gurauan Keanu, sentara Sundari mulai melirik Raka yang sedari tadi membisu. "Ohya, Pa. Ken dan teman-teman beberapa kali ke panti asuhan untuk mengirimkan stok makanan dan pakaian. Kadang kami mengadakan kegiatan sosial juga di sana seperti bazar, pundi amal dan ma
"Erina kenapa, An?" Wicaksono ikut cemas saat melihat ekspresi Adrian yang berubah. Binar di wajahnya mendadak masam setelah mendengar kabar dari rumah sakit. Dia berusaha tenang, tapi semua orang pun tahu jika ketenangannya hanya sebuah sandiwara untuk menutupi kecemasan yang mendera. "Erina histeris, Wi. Nggak tahu kenapa, padahal tadi saat kutinggal dia baik-baik saja." Adrian buru-buru pamit karena tak ingin istrinya semakin histeris. Wicaksono pun ikut ke rumah sakit bersama Adrian, sementara yang lain masih di ruang makan. "Dee masih tidur, Mei?" Sundari bertanya saat melihat Meira menutup pintu kamar cucu kesayangannya. Perempuan itu melangkah perlahan melewati tangga setelah membalas pertanyaan Sundari. "Mungkin sebentar lagi bangun, Bu. Dia agak kecapekan dari pagi lari-larian di kamar." Sundari manggut-manggut lalu melirik Keanu yang tersenyum tipis saat Meira kembali duduk di samping mamanya. "Kenapa senyum-senyum begitu, Ken?" Sundari mengangkat kedua alisnya ke arah
"Mei, nanti malam ada waktu nggak?" tanyanya singkat dengan senyum tipis. Meira terdiam beberapa saat lalu menatap balik Keanu yang masih duduk di samping kakaknya. "Kalau ada waktu mau ajak makan malam sih. Kangen suasana Jogja, sudah lama nggak pulang soalnya." Senyum lebar terlukis di bibir laki-laki itu. Raka tercekat mendengar ajakan Keanu pada Meira. Dia buru-buru menatap Meira yang masih berpikir. "Sama Aldo aja. Jadi nggak berdua kan?" Keanu buru-buru meralat. Dia tahu status Meira yang belum lepas masa iddahnya. Memang tak baik jika berdekatan dengan lelaki lain karena bisa menimbulkan fitnah. Oleh karena itulah dia berinisiatif mengajak Aldo agar tak terlihat seperti sedang kencan. "Aldo jarang diajak jalan-jalan kan? Mana mungkin. Mas Kara pasti sibuk dengan pekerjaannya. Dia kuper soal Jogja." Lagi-lagi Keanu terkekeh melihat ekspresi kakaknya yang berubah seketika. "Oke kalau gitu, Mas. Aldo pasti seneng banget lihat keindahan Jogja apalagi malam minggu pasti ramai."
"Selamat sore. Maaf mengganggu ya, mau main sama Denada," ucap seseorang dari pintu utama. Senyumnya merekah dengan wajahnya berbinar. Tak seperti tempo hari saat Meira dan Raka bertemu dengannya di rumah sakit. "Dahlia?" lirih Raka saat masih ngobrol dengan Meira tentang perkembangan Dee. Kedua orang itu menoleh bersamaan ke sumber suara. "Mbak Lia, silakan," ucap Meira dengan senyum tipisnya. Dia mempersilakan Dahlia duduk di tempatnya, sementara dirinya beranjak dari sana untuk pindah ke kursi lain. Namun, lengannya dicekal Raka. Meira menoleh cepat dengan dada berdebar hebat. Kedua mata mereka bertemu lalu Raka buru-buru minta maaf dan melepaskan cekalannya. "Di sini saja, biar Dahlia mencari tempat lain," lirih Raka tanpa menoleh pada mantan istrinya itu. Dahlia yang sebelumnya sempat tersenyum lebar, kini mulai berwajah masam. Meira ingin pindah, tapi lagi-lagi Raka menarik pelan lengan gamisnya agar tetap di tempat semula. Mau tak mau Meira mengikuti perintah atasannya itu.
"Stop, Lia!" Raka akhirnya tak tahan mendengar celotehan Dahlia yang makin kemana-mana. "Introspeksi sedikit saja bisa kan? Selama ini kamu ngapain aja? Apa pernah memeluk Denada? Pernah menggendongnya? Pernah mencium keningnya atau menyuapinya makan? Pernah membuatkan sarapan atau makan malam untuknya? Pernah membuatkan susu atau sekadar menemaninya tidur dan bermain? Nggak pernah, Lia. Selama ini kamu terlalu sibuk dengan duniamu sendiri. Kenapa sekarang sok peduli setelah Dee nyaman dengan pengasuhnya? Kamu cemburu melihat keakraban Meira dan Dee kan? Ngaku sajalah. Aku tahu isi hatimu." Raka semakin bicara panjang lebar setelah Meira naik ke lantai atas untuk menenangkan Denada. Dia tak ingin Dee melihat dan mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Oleh karena itulah dia meminta Meira untuk bermain di kamar saja. "Kamu kenapa selalu mengungkit masa laluku, Mas? Kamu nggak pernah mengerti perasaanku!" Dahlia tergugu. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Sejak awal men
"Meira di atas nggak, Mas?" tanya Keanu yang sudah rapi dengan celana jeans selutut dengan kaos polos berkerahnya. Dia terlihat makin tampan dengan rambut sedikit basah. Raka yang baru keluar kamar mengedikan bahunya. Dia melirik Keanu sesaat. Adik laki-laki semata wayangnya itu bersiul-siul sembari melangkah ke kamar Meira. "Jadi makan malamnya?" tanya Raka kemudian. Dia menuruni tangga perlahan dengan wajah masam. Mendengar pertanyaan Raka, Keanu menghentikan langkah lalu membalikkan badannya. Senyum lebar terlukis di wajahnya yang tampan."Jadi dong. Masa kencan pertama batal." Laki-laki itu terkekeh sembari menaik turunkan kedua alisnya. Raka berdecak kesal. Raka memang tak bisa menyembunyikan ekspresi kesal di wajahnya saat ini. "Kenapa sih, Mas? Cemburu?" ledek Keanu kemudian. Lagi-lagi Ken terkekeh melihat Raka yang melambaikan tangannya di depan wajah lalu menjatuhkan bobotnya di sofa. "Aku kalau suka sama orang, langsung gerak cepat, Mas. Takut keduluan yang lain nanti p
"Makasih ya, Mas," ujar Dahlia saat mereka keluar dari rumah dengan mobil hitam Raka. "Buat apa?" tanya Raka singkat tanpa menoleh sedikitpun pada Lianyang duduk di sampingnya sembari memangku Denada. "Buat malam ini. Aku nggak nyangka kalau kamu mau kuajak keluar," ujarnya dengan berbinar. Raka menghela napas panjang lalu mengetuk-ngetuk stir mobilnya. "Makan malam saja, kasihan Dee kalau diajak ke mall malam-malam. Waktunya mepet juga," balas Raka kemudian. "Oke, Mas. Nggak apa-apa, makan malam pun aku sudah senang kok." Dahlia tersenyum lebar menatap Raka yang masih fokus dengan laju mobilnya. Malam minggu jalanan cukup padat karena banyak pemuda pemudi yang keluar untuk menikmati keindahan Jogja. Banyak keluarga kecil yang ikut memadati jalanan sekadar cari hiburan atau makan. "Rasanya pengin seperti ini terus, Mas," lirih Dahlia sembari menghela napas panjang. "Maksudmu?" Kali ini Raka menoleh. Dia hanya ingin memastikan apa maksud Dahlia, meski Raka mulai paham ke mana a
"Aku hamil, Mas," ucap Dahlia dengan suara bergetar saat Gilang baru datang dari rumah istri pertamanya. Kabar yang Dahlia pikir sangat membahagiakan untuk suaminya itu, ternyata justru menjadi awal yang buruk untuknya. Bukannya senang dan bangga melihat istri sirinya hamil, Gilang justru semakin gelisah. Malam itu, ekspresinya tak seperti biasa yang selalu santai, tenang dan penuh senyum tiap kali bersama Lia. Dahlia adalah definisi Renita di masa muda. Keduanya teramat mirip dari segi style, hobi, mimpi bahkan sampai hal bercinta pun memiliki kemiripan. Itu pula yang membuat Gilang semakin jatuh hati pada Lia yang seperti istri sahnya di masa muda. "Kamu kenapa, Mas? Apa ada masalah?" tanya Lia gugup dan begitu khawatir. Tak biasanya Gilang seperti itu. Bahkan malam itu dia datang tanpa membawa oleh-oleh yang biasanya tak pernah dilupakannya tiap kali mengunjungi Dahlia. "Renita tahu tentang kita, Sayang. Dia ngamuk hebat sore tadi. Bahkan mengancam akan mengadukan masalah ini p
"Saya mau bercerai dengan Rena, Pak, Bu. Maaf kalau saya nggak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya menyerah," ucap Azziz setelah beberapa hari tak pulang ke rumah. Jelas tak pulang karena barang-barangnya pun sudah dibawa pergi. Dia kembali ke rumah orang tuanya. Meski dipaksa ibunya untuk bertahan dan memperbaiki hubungannya dengan Rena, tapi Azziz tak peduli. Keputusannya sudah bulat untuk berpisah. Baginya, kesalahan Rena sudah cukup fatal dan dia tak ingin membuang waktu untuk memberi kesempatan lagi. "Pernikahan kalian baru setengah tahun, masih seumur jagung. Apa nggak ada kesempatan kedua untuk Rena, Ziz?" Rudy bertanya dengan tenang. Dia menatap menantunya lekat, sementara Azziz lebih memilih menunduk. Bukan karena takut, tapi dia segan menatap balik bapak mertuanya itu. "Maafkan saya, Pak. Saya menyerah. Tak sanggup mendidik Rena lebih baik. Maaf kalau saya sangat mengecewakan bapak. Maaf juga karena saya sudah menyakiti kedua anak bapak," ucap Azziz masih dengan menundu
"Apa maksudmu ngomong begitu? Oh, kamu juga seperti mereka yang mengira kakakmu gila? Perlu obat penenang, perlu ke psikiater atau psikolog segala, begitu, Num?!" sentak Mawar membuat Hanum mundur selangkah. Meski tanpa suara, Ken semakin mengeratkan genggaman tangannya untuk menenangkan Hanum. "Kamu senang kan sekarang lihat Rena seperti itu? Puas sudah membuatnya seperti ini?!" tukas Mawar lagi. "Membuat Mbak Rena seperti ini, Bu? Maksud ibu apa menuduh Hanum begitu?!" Hanum membela diri. Dia tak terima difitnah sedemikian rupa oleh ibu tirinya itu, apalagi di depan banyak orang. "Bukannya Mbak Rena yang awalnya membuat hidup Hanum hancur? Dia yang berkhianat. Kenapa sekarang ibu justru menyalahkan Hanum? Nggak salah sasaran kan, Bu?" Hanum mulai berani membela dirinya lagi. Ken menoleh, lalu mengangguk pelan. Dia mendukung keberanian istrinya. Sudah cukup lama diam dan mengalah, waktunya untuk unjuk gigi karena mengalah pun percuma, mereka tak pernah peduli akan hal itu. "Lih
"Kenapa kamu bisa begini, Ren?!" Mawar setengah berteriak saat melihat anak kesayangannya mengobrak-abrik beberapa barang di ruang tamu. Para tetangga tak berani mendekat karena Rena begitu kesetanan setelah motor dan mobilnya diangkut dealer. Azziz pun memilih pergi entah kemana. Sepertinya dia benar-benar malas melihat istrinya yang sulit diatur dan kelewat batas. "Menantu kesayangan ibu itu sudah menghancurkan hidupku. Apa laki-laki seperti itu yang menurut ibu terbaik dan layak dipertahankan?!" sentak Rena dengan mata memerah. Dia mengusap kasar kedua pipinya yang basah air mata. "Tak ada asap kalau tak ada api, Rena! Azziz begitu setelah melihatmu--Mawar tak melanjutkan kalimatnya. Di melirik sekitar yang masih banyak tetangga. Sekesal dan semarah apapun pada anaknya, Mawar masih berusaha menutupi aibnya di depan banyak orang. Dia juga tak ingin nama baik anak perempuannya makin tercemar. "Bukannya ibu bilang kalau tak ada asal kalau tak ada api? Sama halnya denganku, Bu. Ak
"Oh, ternyata kalian di rumah?!" tukas Rena saat melihat Ken dan Hanum duduk santai di teras belakang. Hanum menoleh, begitu pula dengan Ken. Mereka sengaja keluar kamar karena tak ingin terus mendengarkan pertengkaran Rena dan Azziz. Namun, sepertinya Rena tetap salah paham."Iya, Mbak. Kami memang di rumah sejak--"Sengaja menguping pertengkaranku dengan Mas Azziz? Sengaja nggak bawa mobil supaya aku nggak tahu kalau kalian di rumah?!" tuduhnya berapi-api. "Apaan sih, Mbak! Jangan asal nuduh. Ngapain juga aku sengaja nguping obrolan kalian. Nggak penting banget dan kaya kurang kerjaan!" Hanum tak mau kalah. Sekarang dia memang mulai berani membela diri bahkan tak segan menangkis tangan Rena jika dia mulai berani macam-macam. Hanum tak selemah dulu. "Halah! Kamu pasti senang kan lihat rumah tanggaku hancur berantakan? Bangga kamu ya, Num! Sekarang kamu bisa hidup mapan, sementara aku malah seperti ini," sindir Rena sembari melipat tangan ke dada. Hanum beranjak dari kursi. Ken b
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka