Kugenggam kuat-kuat pergelangan tanganku, menahan rasa malu yang luar biasa bergelayut.
"Jangan katakan itu, Badai. Kita bisa memperbaikinya. Aku mohon, mari kita merajut kembali kisah kita. Bukankah kita pernah berjanji? Kamu yang mengawalinya dan aku yang menyambut. Sekarang jika kamu menyerah, bagaimana impian-impian kita terwujud? Sadarlah, Badai. Kita sedang salah paham."Aku menenggelamkan egoku dengan merayu panjang lebar mencoba mengelus lengannya. Badai terlihat sangat tampan dengan kemeja biru muda. Begitu sangat sempurna dipadukan dengan celana panjang berwarna biru gelap. Rambutnya yang hitam, lurus dan tebal belah kiri menambah kesempurnaannya."Berhenti Arsih. Kita sudah berakhir. Silahkan pergi dan jalani kehidupanmu dengan baik. Aku akan menemuimu jika bayi itu lahir," ucap Badai dengan nada datar."Tidak Badai. Aku memohon padamu. Bagaimana aku bisa menahan aib sebesar ini? Aku hamil di luar nikah lalu langsung kau ceraikan bahkan dalam hitungan jam. Jangan begini. Tolong kasihani wanita yang malang ini."Aku meluruhku tubuhku, berlutut di depannya. Air mataku berderai tak tertahan. Biarlah aku menghinakan diriku asal Badai mau kembali padaku. Kasihan anak ini, kasihan uwak Yanto yang menanggung aibku."Meskipun kau bersujud, aku tidak akan goyah, Arsih. Ini sudah menjadi keputusan. Aku juga sudah memenuhi permintaan pamanmu untuk menikahimu. Sekarang, tinggalkan tempat ini!""Ya Allah, Badai. Tolong aku. Aib ini luar biasa berat dan sangat busuk," ucapku terisak."Kau kira aku tidak malu dan menanggung aib? Aku pun belum berani menegakkan wajahku. Jangan merasa hanya kamu yang menderita! Keluargaku juga malu dan membawa kebusukan ini! Citra keluargaku yang terpandang dan terhormat, hancur dalam semalam! Dan itu karena kamu dan pamanmu yang kampungan!"Hilang akalku mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria di depanku ini. Karena aku dan pamanku? Apa dia sadar yang diucapkannya itu? Seolah-olah hanya aku yang menyebabkan bencana ini."Kita berbuat bersama, Badai. Suka sama suka. Aku hamil di luar nikah bersamamu. Apa salah aku menuntutmu bertanggungjawab? Bukannya kamu sudah berjanji akan bertanggungjawab sebelum kamu merenggut kehormatanku?!""Kecilkan suaramu, Kinarsih!"Badai menarik tanganku lalu menghentakkannya kasar. Matanya melotot marah seperti akan melompat dari tempatnya. Luar biasa pria itu telah mengguncang kesabaranku."Aku tak peduli! Biar semua orang tahu, bahwa kamu sudah berbuat tapi pengecut. Kamu berusaha lari dari tanggungjawabmu yang besar! Janin di rahimku ini, benihmu Badai!!!"Pria itu mendorongku dengan sangat keras hingga kepalaku terbentur dinding. Demi apa pun, rasanya sakit sekali. Panas rasa sekujur kulitku tapi di hatiku ini, lebih panas lagi. Kukira, tampan wajahnya, indah senyumnya, dan lembut tutur katanya saat awal kami bertemu adalah tolak ukur bahwa dia laki-laki yang terbaik."Ma-maafkan aku, Kinarsih. Maaf. Aku khilaf," ucapnya mencoba mengelus lenganku.Aku menepisnya berharap dia kembali membujukku. Aku ingin dia merayuku. Semakin deras air mataku, semakin besar harapanku agar Badai mengusapnya. Namun rupanya tidak. Pria itu berbalik membelakangiku tanpa kata-kata lagi. Oh Tuhan, kenapa bisa sepelik ini? Tak memiliki pilihan, aku justru melangkah mendekatinya."Mari kita hidup bersama, Badai. Aku tahu, perasaanmu masih kental untukku. Kita turunkan ego kita masing-masing demi janin ini. Meski aku tidak sesempurna Adelia, tapi yakinlah, cintaku jauh lebih utuh dari dia. Percaya padaku, Badai.""Darimana kau tahu tentang Adelia?" tanya Badai seperti sangat terkejut."Dunia terlalu sempit, Sayangku. Aku maafkan semua kesalahanmu yang mencoba menduakanku. Andai tidak ada janin ini, aku tidak akan pernah sekeras kepala ini. Tolong, kembalilah sayangku, kecintaanku."Aku mendayu dengan sangat lembut. Kucoba meraih lengan Badai, namun tiba-tiba tanganku ditarik dari samping dengan sangat keras. Ternyata Bu Nining, ibunya Badai sedang melototkan mata ke arahku. Sungguh kebencian di matanya terlihat jelas sekali."Berani sekali kamu menyentuh putraku dengan tangan kotormu itu! Apa kamu tidak memiliki kaca di rumahmu ha?! Supaya kamu bisa menimbang dan berpikir, bagaimana wanita miskin, yatim piatu dan kampungan sepertimu ini menjadi menantuku. Atau jangan-jangan kamu memang perempuan tak punya otak! Dasar lintah!""Astaghfirullah! Cukup, Bu! Saya tidak pernah berpikir untuk menjadi lintah yang akan menghisap harta kalian. Jika pun Badai adalah laki-laki termiskin di dunia ini, saya akan terima dia apa adanya. Sebab ada keturunannya di rahim saya, Bu!"Aku mendekati Bu Nining. Kuabaikan ucapannya yang memarut hatiku. Biarlah harga diriku hilang tak tersisa meskipun satu butir. Aku siap bersujud di kaki wanita itu agar dia membujuk putranya untuk bertanggungjawab. Sesama perempuan, tidakkah penderitaanku ini sedikit saja masuk ke dalam hatinya? Aku butuh pertolongan."Menjauh dariku dan bawa perutmu itu pergi dari sini. Dia anak haram yang tak pantas menjadi bagian dari keluarga Nasrun yang terhormat! Pergi!""Allah ... sampai hati ucapanmu, Bu pada wanita yang sedang didera penderitaan bertubi-tubi ini," lirihku mulai terisak lebih kencang."Jangan banyak drama kamu. Pergi dari sini. Pergi kataku! Perempuan sampah!!!"Seperti tersambar ribuan petir aku mendengar ucapan wanita yang seharusnya menjadi penengah dan memiliki jiwa yang luas sebagai sosok yang dipanggil ibu. Setidaknya jika dia tidak menyukaiku, dia harus mengajarkan putranya untuk bertanggungjawab. Rupanya tidak. Pantas saja Badai sepecundang itu."Kenapa kamu diam begitu? Cepat! Angkat kakimu!!!" seru Bu Nining lagi."Badai, berangkat saja! Untuk apa kamu masih melihat perempuan pembawa sial ini? Sejak kamu berurusan dengan dia, banyak hal buruk menimpa keluarga kita!" lanjut wanita tua yang jahat itu mengomel seperti orang kesurupan."Pulanglah, Kinarsih. Bawalah ini untuk ongkosmu."Badai meraih tanganku lalu menyerahkan beberapa lembaran uang. Aku masih tergugu kehilangan akalku. Ya Allah, luar biasa penghinaan ini. Tanpa beban, Badai langsung menghambur pergi menuju garasinya. Aku gemetar dan tak peduli uang itu jatuh berhamburan. Refleks kakiku melangkah cepat untuk mengejarnya."Tunggu, Badai! Tunggu! Aku tidak butuh uangmu! Aku butuh status janin ini terselamatkan dengan tanggungjawabmu!" teriakku dengan suara tercekat."Berhenti! Jangan ganggu anakku atau kau kulaporkan polisi! Aku bisa melakukan apa saja!" seru Bu Nining kembali menarik tanganku.Kucoba melepaskan diri namun jeratan tangan Bu Nining sangat rekat. Ia bahkan menarik kasar bahuku dan memaksa aku untuk diam. Aku tak peduli, kali ini aku sudah benar-benar kehilangan akal sehatku. Aku memberontak dan mendorong Bu Nining hingga tersungkur keras ke belakang."Wanita kurang ajar!" teriaknya yang memekak di telingaku dan aku tidak peduli. Aku kembali mengejar Badai dengan terseok-seok karena tersandung pot bunga yang banyak berjejer menghias."Badai! Aku mohon! Demi janin ini! Jangan buang aku seperti ini! Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Tolong jangan perlakuan aku sehina ini.""Pulanglah, Kinarsih. Kita sudah usai. Tentang anak itu, lahirkan saja. Nanti kita bicarakan setelah dia lahir."Tanpa perasaan, Badai masuk ke dalam mobil lalu menyalakan kendaraan itu. Aku terus menggeleng kuat dengan air mata yang tak henti menderas. Kuketuk-ketuk kaca mobil itu untuk terus memohon. Aku tak peduli lagi tentang harga diri dan kehormatan. Namun, pria itu sungguh tega. Dia pergi meninggalkanku dengan mobil mewahnya tanpa peduli ada tanggungjawabnya pada diriku. Janin ini. Janin ini, apakah kugugurkan saja?"Itu murni hasil menulis, Bi. Bukan jual sawah Bapak," ulang Kinarsih menegaskan. "Ap-apa dengan menulis bisa dapat segini?" tanya Niah tidak bisa menahan dirinya. Kinarsih mengangguk dengan senyum merekah. Ia rela hasil usaha kerja kerasnya berbulan-bulan, siang malam tak kenal lelah demi membuktikan pada calon ibu mertuanya itu."Tapi itu tidak istan, Bi. Semua berproses," jawab Kinarsih. Niah masih menatap buku rekening itu. Perlahan matanya terus menelisik jejak uang yang masuk. "Pakailah, Bi untuk bantu-bantu acara. Arsih gak mau, Bibi dan Rian banyak beban lagi. Setidaknya ada yang Arsih bisa lakukan untuk bantu Bibi."Setelah menatap lamat-lamat buku rekening itu, Niah menoleh kepada Kinarsih. "Sekarang katakan, jika seandainya aku lumpuh seperti uwakmu yang sudah meninggal itu, apakah kamu akan merawatku juga?""Pertanyaan itu sepertinya sangat sudah jelas jawabannya, Bi. Kepada istri dari adik bapak saja, yang pernah membuat luka di hati, Arsih masih mau untuk merawatnya k
Badai menyandarkan motornya di bawah pohon mangga. Ia sengaja membawa motor, niatnya mau mengajak Ilham jalan-jalan. Akhir pekan begini, biasanya Kinarsih di rumah Yanto. Mungkin wajah manis mantan istrinya yang dia rindukan sepanjang jalan, bisa sedikit menghilangkan pikirannya yang lelah memulai bisnis dari nol. Bulat tekadnya untuk memperbaiki hidupnya bersama Kinarsih dan anaknya, mungkin Tuhan akan sedikit berbaik hati menyempurnakan hidupnya. Bukankah ada pepatah mengatakan, selama janur kuning belum melengkung, kita boleh menikung? Seharusnya ia masih boleh berharap. Badai tersenyum simpul. Baru saja Badai turun, riuh rendah suara beberapa orang dari dalam terdengar. Dia pun baru sadar, di teras rumah terpasang beberapa bunga hias buatan melingkari sisi-sisi tiang. Di langit-langit teras tergantung hiasan bunga-bunga putih seperti kumpulan melati melambai-lambai jatuh. Cantik.Badai mengernyitkan kening heran.Ia pun masuk, tanpa salam. Didapatinya beberapa orang yang tak dike
Niah menghela nafasnya berat. Mencoba menenangkan hatinya. Ini demi putranya, dia harus mengalah. Dilihatnya sekeliling, tampak daun mangga kering yang berguguran menutupi halaman. Ia melangkah terus. Keputusan sudah bulat."Assalamualaikum!" salamnya dengan yakin. Tak ada sahutan jawaban. Ia mencoba sekali lagi. Terbukalah pintu rumah yang terasnya berdinding keramik biru."Waalaikumussalam," jawab seorang lelaki tua. Siapa lagi kalau bukan Yanto. Dahinya mengernyit, heran, siapakah wanita berhijab lebar di depannya ini?"Saya Niah, ibunya Rian," tanggap Niah mengerti keheranan pemilik rumah."Ooh ... ayo silakan masuk, Bu. Maaf berantakan," ucap Yanto sedikit kaku. Hatinya penuh tanda tanya, mengapa sampai ibunya Rian datang? Ia was-was, akan ada perdebatan di rumahnya. Yanto mencoba mencair."Terimakasih." Niah masuk dan duduk di sofa merah, "Kinarsih ada di sini kan?" lanjutnya lagi."Nggih, Bu. Kebetulan sudah dua
Enam bulan kemudian ....Rumah hijau itu lenggang. Tanah kering yang ditiup angin membawa debu masuk sebab jendela-jendela terbuka lebar. Sayup-sayup suara isak wanita terdengar dari dalam bilik kamar."Jangan terlalu keras terhadap keputusan anakmu. Dia sudah dewasa. Usianya bukan remaja lagi. Sudah saatnya dia menikah dengan pilihannya. Apakah kamu bisa menjamin, jika bersama dengan wanita lain, dia akan bahagia? Apa kebahagiaannya tidak menjadi perioritasmu, Niah?" Kamal mendekati istrinya dengan lembut. Dibelainya rambut panjang yang sudah beruban itu. Tangannya yang lain mengusap bahu Niah untuk menyalurkan ketenangan. "Aku tidak memaksa pilihanku, Bang. Aku hanya tidak mau, Kinarsih menjadi menantuku. Masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik. Kukira selama ini dia sudah melupakan wanita itu, nyatanya mereka culas! Hiks hiks hiks." Niah sesugukan. Sedari tadi ia tak berhenti menangisi keputusan Rian yang tak masuk di akalnya. Secara tiba-tiba, pemuda itu menyampaikan keing
Ana melangsungkan pernikahan dengan sederhana di mushola yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Setelah akad berlangsung, dilanjutkan acara makan bersama. Kinarsih dan Marni sibuk mempersiapkan semuanya. Banyak warga yang membantu juga karena Yanto adalah orang yang sangat dekat dengan masyarakat sebab dia dulu sebagai mantan kepala desa. Meski banyak yang bertanya dan heran mengapa sampai Ana mau menikah dengan pria yang bukan sarjana dan sebagai peternak yang baru merintis, Yanto sama sekali tidak menjadikannya bahan pikiran. Ia hanya meminta doa dari para warga yang masih bertanya-tanya."Namanya jodoh, sudah seperti ini. Doakan saja nanti Ana bisa jadi istri yang baik dan mereka sejahtera," tanggap Yanto tenang. Yang penting baginya, ada yang mau menerima kondisi Ana saat ini. Setidaknya setitik ada cahaya harapan, aib itu tidak terbongkar secara gamblang. Setelah acara selesai, Ana langsung diboyong ke rumah suaminya. Haryanto dan Erni melepas putrinya dengan rasa haru dan ikh
Ana langsung meraih tubuh Kinarsih. Ia langsung mengangkat wajah kakak sepupunya itu dan memeluknya. "Arsih! Bangun woy!!! Apa yang barusan kamu lakukan?!" teriak Ana. Suara motor berderum kencang meninggalkan mereka. Keempat pria itu sudah tak terlihat. Ana menangis histris karena Kinarsih tak bersuara dan menutup matanya. "Ba-bawa ke puskesmas aja, Mbak! Gak terlalu jauh dari sini.""Ii-iya, Mas." Pria penyabit itu nampak masih muda. Ana menoleh kiri kanan dan melihat motor Kinarsih. "Masnya bisa bantu gonceng?""Iya, bisa Mbak!" jawab pria itu cepat. Mereka langsung mengangkat tubuh Kinarsih, membawanya naik ke motor. Ana memeluk Kinasih dari belakang."Bertahanlah Kinarsih, aku mohon!"Ana memandang wajah Kinasih yang memucat. Rasa bersalah semakin pekat dan bergelayut kuat dari dalam hatinya. Luar biasa pengorbanan Kinasih untuk dirinya, sampai-sampai wanita itu tidak memperdulikan nyawanya sendiri."Mengapa kamu sebodoh ini, hah?! Kinarsih kamu harus bertahan karena aku belum