"Tak punya malu."
Bu Nining mencebik sembari melipat tangannya di depan dada. Begitu angkuh dan sombong. Seolah, dia manusia paling mulia. Tanpa ragu, aku mendekatinya dengan langkah tegas. Wanita tua itu cukup terkejut dengan sedikit keberanianku mengangkat wajah di depannya.
"Seharusnya yang paling memalukan itu adalah Anda, Bu. Anda tidak mampu mendidik putra Ibu hingga berani menghamili seorang gadis lalu lepas tanggungjawab begitu saja. Katanya keluarga terhormat, tapi ... puiiih! Jangan hanya memandang rendah saya. Kita sama-sama bobrok!"
"Dasar wanita murahan!"
"Ya. Terserah saya murahan atau tidak. Suruh anak ibu untuk bersikap sebagai pria yang berani bertanggungjawab! Jangan jadi banci! Pengecut!"
Bu Nining menunduk, meraih pot bunga di sampingnya lalu melempar pot itu ke sembarang arah. Aku tetap berdiri tanpa rasa takut sedikit pun. Amarahku rasanya sudah sampai di ubun-ubun.
"Aku tidak sudi memiliki menantu sepertimu. Nakjis! Bisa juga kamu dihamili oleh laki-laki lain dan meminta putraku bertanggungjawab. Selalu banyak cara bagi wanita miskin untuk mengubah nasib."
"Miskinkan putramu, Bu! Aku siap menikah dengannya meski dia tidak memiliki harta. Ayo, Bu! Miskinkan dia! Apa Ibu berani? Saya tantang Anda, Bu!"
"Perempuan gila," umpat Bu Nining lalu menendang pot bunga di sampingnya hingga berserakan tanah dan tumbuhan itu. Dengan wajah merah padam, wanita itu menghentakkan kakinya masuk ke dalam rumah. Suara pintu ditutup begitu sangat kasar. Luar biasa hati manusia yang tertutup oleh silau harta. Begitu mudah merendahkan orang lain, lupa dengan asal mula diciptakan manusia. Dari tanah dan kembali ke tanah.
Sejenak aku bergeming menatap sekeliling. Kediaman yang sangat asri dengan banyak tanaman hias yang terawat. Harusnya keindahan tempat ini melambangkan ketulusan dan welas asih pemiliknya. Namun rupanya tidak sama sekali. Perlahan kukembalikan tanah itu ke dalam potnya beserta bunganya. Setidaknya satu tumbuhan tidak menjadi korban keegoisan manusia. Meski hancur perasaanku, kupaksa kakiku melangkah keluar meninggalkan rumah mewah itu.
"Mbak!" sapa ojek yang tadi mengantarkanku. Aku cukup terkejut. Rupanya dia kembali dan sengaja menungguku.
"Terimakasih banyak, Pak. Saya sebenarnya bisa jalan kaki," ucapku sembari membuang wajah. Aku malu memperlihatkan air mataku.
"Gak apa-apa, Mbak. Kita searah. Ayo!"
Aku pun mengangguk. Rupanya masih ada pertolongan Allah untuk hambaNYA yang berdosa ini. Setelah sampai, tentu saja aku disambut wajah sinis Wak Erni.
"Assalamu'alaikum, Wak," salamku.
"Gak usah salam-salam. Memang dasar kamu penipu ya. Izin ke toko, malah kamu datangi rumah keponakanku! Tadi kakakku telpon dan aku yang dimarahi. Kamu memang pembawa masalah!"
"Ya, Wak. Cukup ya. Aku sedang tidak bisa berpikir jernih sekarang. Aku takut nanti jadi kasar sama Wak. Jangan buat iblis dalam diriku muncul."
Ekspresi wajah Wak Erni seperti sangat terperanjat karena untuk pertama kali, aku berani mengangkat wajahku di depannya dan menimpali ucapannya. Aku tak peduli, jika setelah ini, wanita itu kembali memukuliku dan mengamuk. Dengan langkah gontai, aku melewati Wak Erni dan menuju kamarku yang berada di belakang rumah ini.
Kulemparkan begitu saja tas selempang merah jambu yang sedari tadi mengeleyot di bahuku. Pandanganku tajam pada benda itu sebab Badai yang membelikannya untukku. Saat dia memberikannya, begitu manis tutur katanya dan caranya memperlakukanku. Aku yang tak pernah lagi mendapatkan kasih sayang ayahku sejak usia tujuh tahun, menjadi pribadi yang begitu haus pada sosok seorang laki-laki yang menjanjikan cinta murni. Rupanya, aku menemukan laki-laki yang salah. Takdirku semakin buruk dan semuanya karena kebodohanku.
*Gugurkan saja janin itu!*
Bisikan itu kembali menggema di telingaku dan kali ini lebih keras.
*Hidupmu sudah hancur dan semakin hancur karena janin itu. Ayahnya saja tak sudi!*
Tanganku langsung mendarat kasar di perutku. Wajahku terasa panas karena marah pada keadaan. Mengapa aku tak pernah merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya? Semua palsu. Cinta yang ditawarkan Badai itu dusta. Tak ada yang benar-benar mencintaiku. Kenapa harus aku yang mengalami nasib seburuk ini?! Di antara ratusan juta manusia, kenapa harus aku?!!!
Beberapa kali tanganku meremas dan memukul perutku hingga aku sendiri yang tak kuat dengan rasa sakitnya. Aku bahkan ingin muntah karena perbuatan gilaku. Oh perihnya takdir ini. Andai aku bisa menggali kuburanku sendiri, aku ingin tenggelam di dalam tanah dan terlupakan.
"Janin ini tak perlu lahir. Dia harus gugur," desisku sendirian, diselimuti kebencian pada semua apa yang sudah kualami.
Segera kutelpon ojek yang tadi mengantarkanku. Sebelum kami berpisah, dia memberiku nomornya dan siap datang jika aku membutuhkan tumpangan.
"Hallo, Pak. Assalamu'alaikum. Ini saya, yang barusan bapak antar," sapaku terburu-buru.
"Iya, Mbak. Wa'alaikumussalam. Gimana? Mau pergi lagi kah?"
"Gak, Pak. Saya bisa titip beli buah nanas? Pilihkan yang masih hijau, yang masih muda."
Sejenak hening dari seberang sana. Aku mengernyitkan alis. Aku berharap dia bisa menolongku. Sebab aku butuh buah itu secepatnya. Konon, aku pernah mendengar, buah nanas muda adalah pantangan bagi wanita hamil. Aku akan memakannya sampai penuh perutku. Lihat saja.
"Bisa kan, Pak?"
"Bi-bi-bisa, Mbak!" jawabnya terdengar ragu.
"Oke, Pak. Terimakasih banyak. Sepuluh, ya, Pak. Saya tunggu di depan," sambutku langsung mematikan panggilan.
Aku sengaja meraih sapu lidi dan menyapu halaman rumah sembari menunggu kedatangan ojek itu. Wak Erni melongos melihatku dari ruang tivi. Aku terus menyapu dedaunan kering yang jatuh menutupi tanah gersang ini. Andai aku bisa memilih takdir menjadi daun kering, terhempas jatuh oleh angin lalu hancur bersama tanah. Itu sepertinya jauh lebih baik daripada menanggung malu tak terperi seperti ini. Kenikmatan sesaat harus kubayar dengan penderitaan seumur hidupku. Tiba-tiba aku mendengar suara motor berhenti. Itu pasti pesananku. Aku segera berlari kecil membuka gerbang.
"Bawa saja sisanya, Pak!" seruku setengah berbisik menyerahkan uang seratus ribu. Aku meraih sepuluh buah nanas muda yang sudah diikat dengan tali rafia. Baguslah. Sesuai pesananku.
"Mbak!" seru tukang ojek itu saat aku akan kembali masuk. Aku menoleh dengan bibirku berusaha tersenyum kecil.
"Apa pun yang menimpa kita, jangan pernah kita putus asa dari rahmat Allah. Sebesar apa pun masalah kita, kita punya Allah yang Maha Besar. AllahuAkbar. Jangan ikuti bisikan syetan yang menjerumuskan, ya, Mbak! Saya percaya, Mbak orang baik. Terimakasih banyak rezki untuk saya hari ini. Assalamualaikum!"
Pria paruh baya itu tersenyum lalu melajukan kendaraannya. Sejenak aku terdiam, meresapi setiap ucapannya. Yang dikatakannya barusan itu adalah benar. Tapi ... janin ini akan lahir tanpa ayah. Bagaimana aku bisa menghidupinya sendirian dengan kondisi seburuk sekarang? Aku di sini tidak dipandang, dan selalu diremehkan. Bagaimana bisa aku bisa menjadi ibu yang baik untuknya? Tidak. Dia harus luruh sebelum semuanya menjadi terlambat.
"Aku harus segera menyembunyikan nanas ini," gumamku sendirian lalu dengan langkah sangat cepat, aku bergegas ke kamar. Aku kembali ke dapur, mencari pisau. Tiba-tiba terdengar suara di belakangku.
"Ngapain kamu?"
Aku terkejut sampai menjatuhkan pisau itu hingga terdengar menggemerincing di lantai. Alis Wak Erni mengkerut dengan lipatan dahi yang banyak.
"Anu, Wak ... Arsih ...."
"Perempuan aneh. Itu sapuan kenapa ditinggal belum selesai? Biasakan menyelesaikan pekerjaan kalau mau anakmu nanti lahir selamat, gak nyangkut-nyangkut," ocehnya membuka kulkas yang berada di sampingku. Ia mengambil apel merah yang memang khusus untuk dia. Tak seorang pun yang berani mengambil buah itu tanpa seizinnya meskipun Wak Yanto sendiri.
Setelah nenek sihir itu tak terlihat lagi, aku langsung memungut pisau itu dan membawa baskom berisi air. Aku berjalan setengah berlari kembali ke kamar takut-takut ada yang melihat. Setelah sepuluh buah nanas kukupas dan kucuci bersih, aku memandanginya dengan lamat-lamat. Meski jantungku berdetak cukup kecang, aku meraihnya perlahan.
*Anak haram! Janin di perutmu itu anak haram!*
*Pergi dari sini, Kinarsih. Kita sudah usai!*
*Wanita itu pembawa sial! Tak punya malu!*
Menggema kencang setiap kalimat-kalimat buruk dan menyakitkan sejak janin ini hadir di dalam perutku. Aku tidak sanggup. Sungguh aku tak kuat lagi menahan diriku untuk tidak mengunyah buah itu dengan cepat. Sangat cepat seolah-olah setelah masuk ke dalam perutku, berharap janin itu keluar begitu saja. Meski aku harus berdarah-darah, aku tidak peduli. Beberapa kali aku tersedak, aku kembali menarik napas dan mengunyah sebanyak yang mulutku bisa tampung. Aku mengunyah buah itu tak terkendali. Air mataku mengalir deras sembari mulutku bergerak terus-menerus. Bilakah arwah ibu dan ayahku melihatku sehancur ini? Aku berharap mereka datang menjemputku.
Perutku terasa begah dan penuh tapi aku terus mengisinya. Aku sudah menggila dan rasanya aku ingin muntah. Tapi tidak. Aku tidak akan membiarkannya. Aku terus mengunyah tanpa jeda hingga aku tidak tahan untuk muntah. Aku memuntahkannya dan rasanya sangat sakit. Aku tidak menyerah, kembali aku mengambil potongan yang lain, kukunyah dengan lebih cepat dan kali ini rasanya perutku seperti dililit dan diremas secara bersamaan. Kurebahkan tubuhku di lantai dan meringkut menahan rasa sakitnya. Aku kembali muntah dengan tubuhku rasanya dingin semua. Apakah ini tandanya janin ini akan gugur bersama kematianku yang sudah dekat?
"Itu murni hasil menulis, Bi. Bukan jual sawah Bapak," ulang Kinarsih menegaskan. "Ap-apa dengan menulis bisa dapat segini?" tanya Niah tidak bisa menahan dirinya. Kinarsih mengangguk dengan senyum merekah. Ia rela hasil usaha kerja kerasnya berbulan-bulan, siang malam tak kenal lelah demi membuktikan pada calon ibu mertuanya itu."Tapi itu tidak istan, Bi. Semua berproses," jawab Kinarsih. Niah masih menatap buku rekening itu. Perlahan matanya terus menelisik jejak uang yang masuk. "Pakailah, Bi untuk bantu-bantu acara. Arsih gak mau, Bibi dan Rian banyak beban lagi. Setidaknya ada yang Arsih bisa lakukan untuk bantu Bibi."Setelah menatap lamat-lamat buku rekening itu, Niah menoleh kepada Kinarsih. "Sekarang katakan, jika seandainya aku lumpuh seperti uwakmu yang sudah meninggal itu, apakah kamu akan merawatku juga?""Pertanyaan itu sepertinya sangat sudah jelas jawabannya, Bi. Kepada istri dari adik bapak saja, yang pernah membuat luka di hati, Arsih masih mau untuk merawatnya k
Badai menyandarkan motornya di bawah pohon mangga. Ia sengaja membawa motor, niatnya mau mengajak Ilham jalan-jalan. Akhir pekan begini, biasanya Kinarsih di rumah Yanto. Mungkin wajah manis mantan istrinya yang dia rindukan sepanjang jalan, bisa sedikit menghilangkan pikirannya yang lelah memulai bisnis dari nol. Bulat tekadnya untuk memperbaiki hidupnya bersama Kinarsih dan anaknya, mungkin Tuhan akan sedikit berbaik hati menyempurnakan hidupnya. Bukankah ada pepatah mengatakan, selama janur kuning belum melengkung, kita boleh menikung? Seharusnya ia masih boleh berharap. Badai tersenyum simpul. Baru saja Badai turun, riuh rendah suara beberapa orang dari dalam terdengar. Dia pun baru sadar, di teras rumah terpasang beberapa bunga hias buatan melingkari sisi-sisi tiang. Di langit-langit teras tergantung hiasan bunga-bunga putih seperti kumpulan melati melambai-lambai jatuh. Cantik.Badai mengernyitkan kening heran.Ia pun masuk, tanpa salam. Didapatinya beberapa orang yang tak dike
Niah menghela nafasnya berat. Mencoba menenangkan hatinya. Ini demi putranya, dia harus mengalah. Dilihatnya sekeliling, tampak daun mangga kering yang berguguran menutupi halaman. Ia melangkah terus. Keputusan sudah bulat."Assalamualaikum!" salamnya dengan yakin. Tak ada sahutan jawaban. Ia mencoba sekali lagi. Terbukalah pintu rumah yang terasnya berdinding keramik biru."Waalaikumussalam," jawab seorang lelaki tua. Siapa lagi kalau bukan Yanto. Dahinya mengernyit, heran, siapakah wanita berhijab lebar di depannya ini?"Saya Niah, ibunya Rian," tanggap Niah mengerti keheranan pemilik rumah."Ooh ... ayo silakan masuk, Bu. Maaf berantakan," ucap Yanto sedikit kaku. Hatinya penuh tanda tanya, mengapa sampai ibunya Rian datang? Ia was-was, akan ada perdebatan di rumahnya. Yanto mencoba mencair."Terimakasih." Niah masuk dan duduk di sofa merah, "Kinarsih ada di sini kan?" lanjutnya lagi."Nggih, Bu. Kebetulan sudah dua
Enam bulan kemudian ....Rumah hijau itu lenggang. Tanah kering yang ditiup angin membawa debu masuk sebab jendela-jendela terbuka lebar. Sayup-sayup suara isak wanita terdengar dari dalam bilik kamar."Jangan terlalu keras terhadap keputusan anakmu. Dia sudah dewasa. Usianya bukan remaja lagi. Sudah saatnya dia menikah dengan pilihannya. Apakah kamu bisa menjamin, jika bersama dengan wanita lain, dia akan bahagia? Apa kebahagiaannya tidak menjadi perioritasmu, Niah?" Kamal mendekati istrinya dengan lembut. Dibelainya rambut panjang yang sudah beruban itu. Tangannya yang lain mengusap bahu Niah untuk menyalurkan ketenangan. "Aku tidak memaksa pilihanku, Bang. Aku hanya tidak mau, Kinarsih menjadi menantuku. Masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik. Kukira selama ini dia sudah melupakan wanita itu, nyatanya mereka culas! Hiks hiks hiks." Niah sesugukan. Sedari tadi ia tak berhenti menangisi keputusan Rian yang tak masuk di akalnya. Secara tiba-tiba, pemuda itu menyampaikan keing
Ana melangsungkan pernikahan dengan sederhana di mushola yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Setelah akad berlangsung, dilanjutkan acara makan bersama. Kinarsih dan Marni sibuk mempersiapkan semuanya. Banyak warga yang membantu juga karena Yanto adalah orang yang sangat dekat dengan masyarakat sebab dia dulu sebagai mantan kepala desa. Meski banyak yang bertanya dan heran mengapa sampai Ana mau menikah dengan pria yang bukan sarjana dan sebagai peternak yang baru merintis, Yanto sama sekali tidak menjadikannya bahan pikiran. Ia hanya meminta doa dari para warga yang masih bertanya-tanya."Namanya jodoh, sudah seperti ini. Doakan saja nanti Ana bisa jadi istri yang baik dan mereka sejahtera," tanggap Yanto tenang. Yang penting baginya, ada yang mau menerima kondisi Ana saat ini. Setidaknya setitik ada cahaya harapan, aib itu tidak terbongkar secara gamblang. Setelah acara selesai, Ana langsung diboyong ke rumah suaminya. Haryanto dan Erni melepas putrinya dengan rasa haru dan ikh
Ana langsung meraih tubuh Kinarsih. Ia langsung mengangkat wajah kakak sepupunya itu dan memeluknya. "Arsih! Bangun woy!!! Apa yang barusan kamu lakukan?!" teriak Ana. Suara motor berderum kencang meninggalkan mereka. Keempat pria itu sudah tak terlihat. Ana menangis histris karena Kinarsih tak bersuara dan menutup matanya. "Ba-bawa ke puskesmas aja, Mbak! Gak terlalu jauh dari sini.""Ii-iya, Mas." Pria penyabit itu nampak masih muda. Ana menoleh kiri kanan dan melihat motor Kinarsih. "Masnya bisa bantu gonceng?""Iya, bisa Mbak!" jawab pria itu cepat. Mereka langsung mengangkat tubuh Kinarsih, membawanya naik ke motor. Ana memeluk Kinasih dari belakang."Bertahanlah Kinarsih, aku mohon!"Ana memandang wajah Kinasih yang memucat. Rasa bersalah semakin pekat dan bergelayut kuat dari dalam hatinya. Luar biasa pengorbanan Kinasih untuk dirinya, sampai-sampai wanita itu tidak memperdulikan nyawanya sendiri."Mengapa kamu sebodoh ini, hah?! Kinarsih kamu harus bertahan karena aku belum