Dimas melotot mendengar permintaan kakaknya tersebut.
"Apa tidak ada yang lebih konyol dari ini Mbak?" tanya Diams dengan kesal
Justru Mbak Diah mengangguk tanpa rasa berdosanya.
"Ada." jawabnya.
Dimas melengos. Geram. Bodoh dan tidak peka memang beda beda tipis.
"Mintakan sawah setengah hektar. Untuk dikelola suamiku. Agar tidak nganggur," jawab Diah tanpa rasa bersalah.
Dimas bangkit dari tempat duduknya. Bisa meledak lama lama mendengar celoteh dari Mbak Diah.
"Dimas mau kemana? Kamu ingat pesan Mbak ya. Jangan lupa. Mbak tunggu," teriaknya, walau Dimas sudah menutup pintu kamar.
Kehidupan keluarga Aruna masih biasa saja. Mereka menjalani hidup dengan harmonis. Tapi tidak dengan omongan tetangga.
Bisik sana bisik sini. Sekarang Aruna menjadi trending topik di desa itu.
Tapi hal tersebut lantas tidak membuat keluarga mereka berkecil hati lalu tidak mau keluar rumah. Tidak sama sekali.
"Runa mau kemana?" tanya Bu Marni.
"Mau ke warung Bu. Sabun dan pasrah gigi habis."
"Biar adikmu saja yang beli Runa. Di warung pasti orang ramai. Apalagi mereka tengah membicarakan batalnya pernikahan kamu."
Runa menghela nafas kasar.
"Aku tak perduli Bu. Selama tidak menghasilkan uang, Runa bodoh amat terhadap sesuatu apapun," jawabnya dengan lantang lalu ia memutuskan untuk pergi.
Bu Marni hanya menatap punggung anaknya yang lama kelamaan hilang ditelan belokan jalan. Hatinya gemetar. Mungkin di usianya saat ini, dia sudah kebal terhadap apapun yang orang katakan. Apapun omongan orang. Tapi Runa, bagi Bu Marni Runa masih labil.
"Aku bangga pada anak itu," ucap Pak Joyo yang tiba tiba muncul di belakang Bu Marni.
"Runa memang keras dan pemberani sedari kecil."
Pak Joyo mengangguk.
"Ya bahkan sebenarnya aku tidak sekuat Runa, Bu." ucapnya tiba-tiba.
Mendengar itu, Bu Marni menoleh.
"Maksud Bapak bagaimana?"
"Ya sebagai seorang bapak, siapa kiranya tang terima begitu saja, anak perempuannya diperlakukan seperti itu. Terlebih dengan alasannya, itu sama saja mereka merendahkan keluarga kita Bu."
Bu Marni tertunduk. Apa yang ia rasakan, pun sebenarnya sama dengan suaminya. Tapi orang kecil sepertinya bisa apa?
"Lalu bapak mau melakukan apa Pak? Mau balas dendam? Sekarang keluarga Siti di dukung penuh oleh keluarga Subrata. Bapak tau bukan keluarga Subrata?"
Pak Joyo hanya mengangguk pelan.
"Aku tau itu Bu. Tapi tak bisa aku pungkiri bahwa aku juga ingin mengajar laki laki itu," jawab Pak Joyo dengan geram sembari mengepalkan tangannya.
"Tidak perlu mengotori tangan sendiri Pak. Ada Allah yang Maha Segalanya. Hukum tabur tuai masih berlaku."
Pak Joyo mengangguk. Tapi rasa dongkol di hati, baginya adalah manusiawi.
Tidak hanya di depan orang tuanya, Runa terlihat tegar. Tapi di luar pun, Runa masih tampak ceria. Seperti dia tak menyimpan masalah apapun.
"Runa, sabar ya."
"Memang dunia itu begitu Runa. Bercandanya kadang kelewatan. Sepuluh tahun menemani, bukan berarti kita yang bersanding di pelaminan nanti."
"Terkadang juga dalam hidup kita harus tau diri Runa. Agar jatuhnya tidak terlalu sakit."
Dan beragam komentar yang lain dari ibu ibu di warung. Aruna hanya menanggapinya dengan anggukan dan senyum.
"Kamu tidak apa apa Runa?" tanya ibu warung yang juga menuai penasaran
"Ah saya tidak apa apa Bu. Saya sehat wal afiat."
"Iya badannya sehat. Tapi belum tentu hatinya bukan?"
Runa tertawa kecil.
"Ibu sudah seperti peramal saja. Hati dan bibir saya itu sinkron Bu. Kalau diluar saya baik baik saja. Berarti hari saya juga baik baik saja. Saya bukan tipe orang yang pandai berpura-pura." jawab Aruna.
Ibu warung justru menautkan alis.
"Mustahil sekali kalau kamu tidak merasa apa apa Run. Apa kamu memang sengaja mempermainkan Dimas?" tanyanya penuh selidik. Yang Runa tau, bahwa ibu warung ini adalah masih saudara jauh dari keluarga Dimas.
Runa tertawa kecil.
"Kok saya yang justru dituduh main-main Bu? Yang membatalkan pernikahan itu Dimas. Ya harusnya dia dong yang dibilang main main." jawab Aruna dengan berani.
Ibu warung hanya tertunduk. Aruna juga tak ada niat untuk melanjutkan percakapannya tersebut.
"Dimas, ayo bangun. Sudah jam berapa ini? Ayo kamu mandi. Lalu segera jemput Mayang. Dia pasti sudah menunggu," kata Bu Siti dengan panik. Netra tuanya berkali kali melihat jam.
Dimas bangun dengan malas.
"Kamu harus berpakaian yang rapi. Yang wangi. Jangan mengecewakan Mayang. Ini semua demi kebaikan dan masa depan kamu sendiri."
Dimas tak begitu menyahut omongan dari sang Ibu. Ia hanya berjalan gontai menuju kamar mandi.
Walaupun terpaksa, Dimas tetap memacu gas montornya menuju kediaman Mayang.
Rumah megah berpagar tinggi tersebut tampak menantang siapapun. Seolah memamerkan siapa pemilik dan bagaimana kayanya mereka.
"Mas Dimas ya?" tanya seorang pria paruh baya penjaga rumah.
Dimas mengangguk kecil.
"Masuk saja Mas. Mbak Mayang sudah menunggu," katanya.
Dimas masuk ke rumah sembari menuntun montornya.
"Biar saya yang menuntunnya Mas. Kalau ada apa apa panggil saya saja," kata Penjaga rumah.
Dimas kembali mengangguk.
'Apakah ini rasanya jadi orang kaya? Yang semua serba dilayani?' tanyanya dalam hati
Dan benar saja di teras rumah dengan pilar-pilar penyangga yang besar, sudah menunggu seorang wanita, ia memakai dress panjang press body. Bajunya memang menawan. Tapi tidak dengan yang pakai. Mau dirias seperti apapun, bagi Dimas, Mayang tetaplah seperti hantu di matanya.
Dimas berdiri kaku di depan Pak Wito, dadanya terasa sesak menahan malu dan amarah yang bercampur jadi satu. Kata-kata pria paruh baya itu menyakitkan, tapi Dimas tahu, ia tak berhak membantah.“Saya tahu saya banyak salah, Pak…” suaranya bergetar, tapi ia berusaha tetap tegar. “Tapi saya benar-benar butuh pekerjaan. Tolong kasih saya kesempatan.”Pak Wito menatapnya lama, ekspresinya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. “Kesempatan? Kamu pikir dunia ini gampang? Kamu udah buang kesempatan itu, Dimas. Kamu buang Aruna… dan sekarang kamu mau datang ke sini, minta belas kasihan saya?”Dimas mengepalkan tangannya erat-erat di sisi tubuhnya. Ia ingin membantah, tapi kata-kata itu terlalu benar. Ia memang sudah menyia-nyiakan semuanya — Aruna, kesempatan, dan mungkin… masa depannya sendiri.“Pak… saya nggak minta belas kasihan,” kata Dimas pelan. “Saya cuma minta kerja. Apa pun itu, saya siap.”“Kerja jadi kuli? Kamu yakin?” Pak Wito menyipitkan mata. “Kamu yang dulu begitu bangga sa
Suara meteran listrik yang berbunyi makin cepat, seperti menambah ketegangan yang sudah menumpuk di dalam rumah itu. Dimas hanya bisa duduk diam, menatap lantai dengan mata kosong. Dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk — tentang pekerjaan, tentang ibunya, dan sekarang, tentang listrik yang sebentar lagi mati.“Ya Allah, gimana ini…” keluh Bu Siti sambil mondar-mandir di ruang tamu. “Dimas! Kamu tuh ngapain aja seharian?! Cari kerja nggak dapat, listrik juga mau habis! Kamu nggak punya solusi apa?!”Dimas menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Aku udah nyoba, Bu… udah ke mana-mana. Tapi belum ada yang nerima.”“Alasannya itu lagi! Kalau kamu mau kerja apa aja, pasti udah dapat!” sergah Bu Siti, suaranya meninggi. “Tapi kamu tuh terlalu milih-milih, Dimas! Coba dari kemarin kamu mau kerja jadi kuli bangunan yang ditawarin Aruna, mungkin sekarang kita nggak kayak gini!”Dimas mengepalkan tangannya di atas lutut, berusaha keras menahan emosinya. “Aku nggak
Dimas duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Matahari mulai condong ke barat, tapi pikirannya masih terjebak dalam kekhawatiran yang sama sejak pagi tadi — mencari pekerjaan. Tumpukan koran dengan lingkaran merah di kolom lowongan kerja tergeletak di sampingnya, namun satu pun panggilan belum ia terima. Melamar menjadi guru kembali pun juga sulit.Pintu rumah terbuka dengan kasar, dan Bu Siti muncul dengan wajah kesal. “Dimas! Kamu di sini aja dari tadi? Udah dapat kerja belum?” suaranya tajam, menusuk telinga Dimas yang sudah cukup lelah.Dimas menghela napas pelan, mencoba menahan diri. “Belum, Bu. Aku udah coba cari, tapi belum ada panggilan.”“Alasannya itu terus! Kamu mau jadi pengangguran sampai kapan?” nada Bu Siti semakin meninggi. “Ibu ini baru keluar dari rumah sakit, tapi kamu malah santai nggak jelas di rumah!”Dimas menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah dan rasa malu. “Aku nggak santai, Bu. Aku keliling seharian tadi nyari kerja. Tapi di mana-mana susah. Kala
“Bu!” Dyah menatap ibunya dengan pandangan tak percaya. “Ibu dengar nggak sih apa yang barusan Ibu katakan? Aruna sama sekali nggak minta dihormati atau disanjung, Bu. Dia cuma mau membantu kita! Kenapa Ibu selalu melihat dia dengan kebencian?”Bu Siti menggeleng, wajahnya mengeras. “Karena aku tahu siapa Aruna, Dyah. Dia itu sombong! Dulu dia sok jual mahal sama Dimas, dan sekarang aku yakin dia cuma mau pamer kalau dia lebih berhasil dari kita.”“Ya Allah, Bu...” Dyah menutup wajah dengan tangannya, berusaha menahan kekesalan yang semakin memuncak. “Sampai kapan Ibu mau kayak gini? Sampai kapan Ibu mau terjebak dengan kebencian yang nggak ada gunanya?”"kamu kenapa sih Dyah? Kenapa kamu justru membela si Aruna itu?" Tanya Bu Siti."Ya mau membela siapa lagi? Mayang? Bu, dia sudah tidak perduli dengan keluarga kita. Buat apa? Bahkan dia juga sudah membuang Dimas."Bu Siti mendengus pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Pokoknya Ibu nggak mau berterima kasih sama Aruna. Kalau perlu,
Andra menatap Aruna dengan pandangan tajam, namun tidak ada kemarahan di sana. Hanya sedikit kekecewaan yang tersirat di matanya. Aruna yang sejak tadi duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Ia takut jika Andra berpikiran yang tidak-tidak tentang keputusannya membantu Dimas.“Aku tahu,” akhirnya Andra bersuara, suaranya datar namun tegas. “Aku tahu kamu bantu Dimas.”Aruna menelan ludah, sedikit salah tingkah. “Mas, aku cuma...”“Berapa yang kamu kasih ke dia?” potong Andra sebelum Aruna sempat menyelesaikan kalimatnya.Aruna terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Sepuluh juta.”Andra terdiam sesaat, menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, bukan karena Aruna memberi uang kepada Dimas, tapi lebih kepada nominal yang cukup besar.“Sepuluh juta?” ulangnya, menatap Aruna dengan sedikit tidak percaya. “Aruna, kalau kamu memang mau bantu, kenapa nggak sekalian?”Aruna mengernyit. “Maksud Mas?”Andra bangkit dari duduk
Dimas duduk gelisah di ruang tamu rumah Aruna. Tangannya menggenggam erat lututnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak menyangka harus kembali ke rumah ini dalam kondisi seperti ini. Dulu, ia meninggalkan Aruna tanpa ragu, dan kini, ia kembali sebagai seorang peminta-minta.Pak Wito, ayah Aruna, duduk di hadapannya dengan wajah keras. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ia tahan. Ia melipat kedua tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Dimas."Jadi, kau datang ke sini untuk meminjam uang?" suara Pak Wito rendah, namun penuh tekanan.Dimas menelan ludah. "Pak Wito, saya benar-benar dalam kesulitan. Ibu saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saya butuh biaya untuk membayar pengobatannya."Pak Wito menghela napas, lalu menggeleng. "Kau tahu, Dimas? Aku sudah mendengar banyak tentang kehidupanmu sekarang. Kau meninggalkan Aruna, menikahi perempuan lain, lalu hidup dalam kemiskinan. Dan sekarang, kau kembali ke sini dengan tangan kosong, meminta bantuan?"Dimas m