POV AUTHOR
"Ah menyesal ibu nurutin kemauan kamu untuk ngomong baik-baik kepada keluarga Aruna. Lagipula tingkah kamu itu memalukan, Dimas," gerutu Bu Siti sesampai di rumah.
"Bu, ini juga demi harga diri Dimas. Bagaimanapun akhirnya, kita pernah meminta Aruna pada keluarganya," elak Dimas.
"Ya sudah. Kalau begitu besok jual cincin dari Aruna itu. Hitung hitung untuk ganti rugi ke rumah Aruna,"
Bukannya langsung menjawab, Dimas hanya menghela nafas pelan.
"Dimas, kamu dengar apa kata ibu atau tidak?" tegur Bu Siti sedikit keras
Dimas tersentak dari lamunannya.
"Mana laku Bu?"
Mendengar itu Bu Siti tambah melotot.
"Maksud kamu bagaimana?"
"Ya itu hanya cincin palsu. Bukan emas. Berapa sih gaji Dimas itu untuk beli cincin Bu," keluhnya.
Bu Siti menepuk jidatnya.
"Ya Tuhan Dimas. Pantas saja Aruna begitu gampang menyerahkan cincin ini. Rupanya cincin ini bukan emas?"
Dimas hanya diam. Bagaimana lagi? Memang itu kenyataanya .
"Sudahlah Bu. Lagipula hubungan Dimas dan Aruna sudah berakhir bukan. Tak perlu di bahas lagi." komentar Diah-kakak Dimas.
Bu Siti hanya mendengus kesal. Lalu ia berlalu dari hadapan mereka. Sementara Dimas masih saja diam. Dalam hati dan kepalanya hanya ada kata percaya dan tidak percaya. Hubungannya satu dasawarsa dengan Aruna harus kandas.
"Kamu sedih Dim?" tanya Diah.
Dimas menoleh ke arah sang kakak namun tanpa ekspresi.
"Sedih itu manusiawi. Tapi kamu juga harus punya akal sehat. Mau jadi apa kalau kamu menikah dengan Aruna? Mau menambah daftar keluarga miskin di kelurahan ini? Kamu harus berfikir kedepan Dim. Mungkin saat ini Aruna masih bekerja, ya walau gajinya pas Pasan. Namun setahun dua tahun, kalau kalian punya anak bagaimana? Tak mungkin bukan Aruna bekerja? Jadi ya lebih baik kamu dengan Mayang. Anak pengusaha yang sekarang meneruskan usaha bapaknya. Mau kamu kerja, mau tidak. Tak berpengaruh. Toh kamu tetap bisa makan dan hidup dengan mewah," jelas Mbak Diah panjang lebar.
Siapa yang tak kenal dengan Keluarga Subrata? Ayah dari Mayang. Meskipun berbeda kelurahan namun nama Subrata cukup terkenal di kawasan itu. Mereka punya sejumlah armada truk. Juga lahan luas yang ditanami sayuran yang sering panen. Tak heran, keluarga Subrata cukup terpandang di kalangan masyarakat.
"Apa benar begitu Mbak?" tanya Dimas penuh keraguan. Bagaimana tidak? Aruna telah menemani masa jatuh bangunnya. Ia yang selalu menguatkan, bahwa menjadi honorer bukan pekerjaan yang hina. Semua kesabaran akan terbayar lunas suatu hari nanti.
Dan kata-kata penyemangat itu adalah kenangan belaka.
Mbak Diah mengangguk mantap
"Oh ya benar itu. Hidup harus realistis, Dimas. Mau makan apa kamu hanya dengan modal cinta?"
Dimas hanya diam. Lalu ia bangkit dari tempat duduknya.
"Dimas mau kemana kamu?" tanya Bu Siti yang datang tiba tiba.
"Mau tidur Bu. Dimas lelah."
"Alah, lelah apa kamu? Sehari tidak bekerja. Hari ini kamu absen ke sekolah,"
Dimas menghela nafas kasar.
"Lalu Dimas harus melakukan apa Bu?"
"Ibu lupa. Hari ini Mayang minta jemput. Mungkin dia ingin mengajakmu jalan jalan. Mumpung malam Minggu juga."
Lagi lagi Dimas mendengus kesal.
"Kenapa musti keluar sih Bu?" gerutu Dimas.
"Ya agar kalian lebih dekat Dimas. Pernikahan kamu dan Mayang itu pasti. Keluarga kita sudah janji dengan keluarga Subrata. Jadi jangan macam-macam ya."
"Bu, tapi aku malu. Ibu tau sendiri bukan bagaimana wajah Mayang? Ya Tuhan seperti wanita yang kena azab neraka."
Bu Siti mengibaskan tangannya di udara.
"Alah. Siapa yang berani mengolok-olok Mayang. Semua orang sudah tau bahwa dia adalah anak Subrata."
Dimas tak menjawab, tapi raut wajahnya begitu menyiratkan kekecewaan dan hati yang kesal.
"Apa tidak ada pilihan lain Bu?" tanya Dimas dengan lirih.
"Ibu memberi perintah, Dimas. Bukan memberi pilihan." kata Bu Siti dengan tegas.
Setelah ibunya beranjak, Diah yang masih ada disitu perlahan mendekati Dimas yang sedang termenung
"Jangan sedih, Dimas. Kalau kamu pergi dengan Mayang, kamu tidak perlu memikirkan uang jajan. Semua sudah tercover. Mau makan kemana dan dimana pun, dengan harga berapapun, semua oke. Kurang apa coba? Kamu harus belajar menerimanya Dimas. Ingat pepatah Jawa. Witing tresno jalaran Soko kulino." pesan Diah lagi.
"Iyalah," jawab Dimas dengan pasrah.
"Dimas, kalau kamu pergi dengan Mayang, aku titip sesuatu ya?" pinta Diah dengan lirih.
Dimas menoleh. Dahinya berkerut.
"Titip apa Mbak?"
"Tolong pinjamkan uang kepada Mayang. Tidak banyak kok. Hanya satu juta. Bagaimanapun juga aku ini adalah calon kakak iparnya loh," kata Diah.
Dimas berdiri kaku di depan Pak Wito, dadanya terasa sesak menahan malu dan amarah yang bercampur jadi satu. Kata-kata pria paruh baya itu menyakitkan, tapi Dimas tahu, ia tak berhak membantah.“Saya tahu saya banyak salah, Pak…” suaranya bergetar, tapi ia berusaha tetap tegar. “Tapi saya benar-benar butuh pekerjaan. Tolong kasih saya kesempatan.”Pak Wito menatapnya lama, ekspresinya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. “Kesempatan? Kamu pikir dunia ini gampang? Kamu udah buang kesempatan itu, Dimas. Kamu buang Aruna… dan sekarang kamu mau datang ke sini, minta belas kasihan saya?”Dimas mengepalkan tangannya erat-erat di sisi tubuhnya. Ia ingin membantah, tapi kata-kata itu terlalu benar. Ia memang sudah menyia-nyiakan semuanya — Aruna, kesempatan, dan mungkin… masa depannya sendiri.“Pak… saya nggak minta belas kasihan,” kata Dimas pelan. “Saya cuma minta kerja. Apa pun itu, saya siap.”“Kerja jadi kuli? Kamu yakin?” Pak Wito menyipitkan mata. “Kamu yang dulu begitu bangga sa
Suara meteran listrik yang berbunyi makin cepat, seperti menambah ketegangan yang sudah menumpuk di dalam rumah itu. Dimas hanya bisa duduk diam, menatap lantai dengan mata kosong. Dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk — tentang pekerjaan, tentang ibunya, dan sekarang, tentang listrik yang sebentar lagi mati.“Ya Allah, gimana ini…” keluh Bu Siti sambil mondar-mandir di ruang tamu. “Dimas! Kamu tuh ngapain aja seharian?! Cari kerja nggak dapat, listrik juga mau habis! Kamu nggak punya solusi apa?!”Dimas menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Aku udah nyoba, Bu… udah ke mana-mana. Tapi belum ada yang nerima.”“Alasannya itu lagi! Kalau kamu mau kerja apa aja, pasti udah dapat!” sergah Bu Siti, suaranya meninggi. “Tapi kamu tuh terlalu milih-milih, Dimas! Coba dari kemarin kamu mau kerja jadi kuli bangunan yang ditawarin Aruna, mungkin sekarang kita nggak kayak gini!”Dimas mengepalkan tangannya di atas lutut, berusaha keras menahan emosinya. “Aku nggak
Dimas duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Matahari mulai condong ke barat, tapi pikirannya masih terjebak dalam kekhawatiran yang sama sejak pagi tadi — mencari pekerjaan. Tumpukan koran dengan lingkaran merah di kolom lowongan kerja tergeletak di sampingnya, namun satu pun panggilan belum ia terima. Melamar menjadi guru kembali pun juga sulit.Pintu rumah terbuka dengan kasar, dan Bu Siti muncul dengan wajah kesal. “Dimas! Kamu di sini aja dari tadi? Udah dapat kerja belum?” suaranya tajam, menusuk telinga Dimas yang sudah cukup lelah.Dimas menghela napas pelan, mencoba menahan diri. “Belum, Bu. Aku udah coba cari, tapi belum ada panggilan.”“Alasannya itu terus! Kamu mau jadi pengangguran sampai kapan?” nada Bu Siti semakin meninggi. “Ibu ini baru keluar dari rumah sakit, tapi kamu malah santai nggak jelas di rumah!”Dimas menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah dan rasa malu. “Aku nggak santai, Bu. Aku keliling seharian tadi nyari kerja. Tapi di mana-mana susah. Kala
“Bu!” Dyah menatap ibunya dengan pandangan tak percaya. “Ibu dengar nggak sih apa yang barusan Ibu katakan? Aruna sama sekali nggak minta dihormati atau disanjung, Bu. Dia cuma mau membantu kita! Kenapa Ibu selalu melihat dia dengan kebencian?”Bu Siti menggeleng, wajahnya mengeras. “Karena aku tahu siapa Aruna, Dyah. Dia itu sombong! Dulu dia sok jual mahal sama Dimas, dan sekarang aku yakin dia cuma mau pamer kalau dia lebih berhasil dari kita.”“Ya Allah, Bu...” Dyah menutup wajah dengan tangannya, berusaha menahan kekesalan yang semakin memuncak. “Sampai kapan Ibu mau kayak gini? Sampai kapan Ibu mau terjebak dengan kebencian yang nggak ada gunanya?”"kamu kenapa sih Dyah? Kenapa kamu justru membela si Aruna itu?" Tanya Bu Siti."Ya mau membela siapa lagi? Mayang? Bu, dia sudah tidak perduli dengan keluarga kita. Buat apa? Bahkan dia juga sudah membuang Dimas."Bu Siti mendengus pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Pokoknya Ibu nggak mau berterima kasih sama Aruna. Kalau perlu,
Andra menatap Aruna dengan pandangan tajam, namun tidak ada kemarahan di sana. Hanya sedikit kekecewaan yang tersirat di matanya. Aruna yang sejak tadi duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Ia takut jika Andra berpikiran yang tidak-tidak tentang keputusannya membantu Dimas.“Aku tahu,” akhirnya Andra bersuara, suaranya datar namun tegas. “Aku tahu kamu bantu Dimas.”Aruna menelan ludah, sedikit salah tingkah. “Mas, aku cuma...”“Berapa yang kamu kasih ke dia?” potong Andra sebelum Aruna sempat menyelesaikan kalimatnya.Aruna terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Sepuluh juta.”Andra terdiam sesaat, menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, bukan karena Aruna memberi uang kepada Dimas, tapi lebih kepada nominal yang cukup besar.“Sepuluh juta?” ulangnya, menatap Aruna dengan sedikit tidak percaya. “Aruna, kalau kamu memang mau bantu, kenapa nggak sekalian?”Aruna mengernyit. “Maksud Mas?”Andra bangkit dari duduk
Dimas duduk gelisah di ruang tamu rumah Aruna. Tangannya menggenggam erat lututnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak menyangka harus kembali ke rumah ini dalam kondisi seperti ini. Dulu, ia meninggalkan Aruna tanpa ragu, dan kini, ia kembali sebagai seorang peminta-minta.Pak Wito, ayah Aruna, duduk di hadapannya dengan wajah keras. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ia tahan. Ia melipat kedua tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Dimas."Jadi, kau datang ke sini untuk meminjam uang?" suara Pak Wito rendah, namun penuh tekanan.Dimas menelan ludah. "Pak Wito, saya benar-benar dalam kesulitan. Ibu saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saya butuh biaya untuk membayar pengobatannya."Pak Wito menghela napas, lalu menggeleng. "Kau tahu, Dimas? Aku sudah mendengar banyak tentang kehidupanmu sekarang. Kau meninggalkan Aruna, menikahi perempuan lain, lalu hidup dalam kemiskinan. Dan sekarang, kau kembali ke sini dengan tangan kosong, meminta bantuan?"Dimas m