Share

5

Author: Anik Safitri
last update Last Updated: 2024-12-13 16:45:34

"H...Hai," sapa Dimas dengan terbata.

Namun Mayang langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia terlihat begitu antusias dengan kedatangan Dimas.

Namun dekat semakin mendekat, wajah Mayang yang hitam karena bawaan lahir, semakin jelas terlihat. 

Sebenarnya Dimas ingin mundur, tapi dia tidak enak hati.

"Hai," jawab Mayang dengan riang.

"Ayo," ajak Dimas. Hanya kata itu yang keluar dari tenggorokannya. Lalu ia menuju montornya.

"Mau kemana?" tanya Mayang.

Dimas hanya memasang wajah yang bingung.

"Katanya mau malam Minggu?"

Mayang tertawa kecil. Jika wanita lain tersenyum manis. Justru bagi Dimas senyum Mayang tak ubah seperti pare. Pait.

"Iya. Tapi kita naik mobil. Ini," kata Mayang sembari menunjuk sebuah mobil Alphard.

Dimas semakin melongo.

"Ta.. Tapi aku tidak bisa setir mobil," elak Dimas dengan lirih.

Mayang mengibaskan tangannya di udara

"Gampang. Kan ada sopir," jawabnya enteng

Dimas dengan pelan masuk ke dalam mobil mewah itu. Bahkan sopirnya membukakan pintu untuknya. Ya Tuhan, bermimpi pun tidak pernah Dimas seperti ini.

"Jangan kaku, Dimas. Biasa saja. Toh nanti kamu juga akan merasakan ini. Jadi mulai sekarang kamu harus belajar ya," kata Mayang.

"Iya." jawab Dimas singkat.

"Oh iya, tentang konsep pernikahan kita nanti, aku ingin ala ala princess negeri dongeng begitu. Jadi aku akan memakai gaun yang mewah dan dibawahnya ada kelap kelip yang bisa menyala. Indah bukan?" tanya Mayang.

Dimas merutuk dalam hati. Berapa kira-kira tingkat kadar percaya diri si Mayang itu hingga dia begitu yakin bahwa Dimas akan menikah dengannya. Setidaknya tanyalah dulu, Dimas mau atau tidak menerima keadaan fisiknya yang seperti itu. Apa dia berpikir karena dia punya uang?

"Kita mau kemana?" tanya Dimas.

"Ehm ke tempat yang mungkin belum pernah kamu kunjungi sebelumnya," jawab Mayang, masih dengan senyum.

Dimas diam. Baginya saat ini, dia ibarat anak buah Mayang. Yang menurut saat dibawa kemanapun.

Mobil berhenti di salah satu restoran. Mewah dan megah. Tentu membuat Dimas begitu kagum. Bagaimana tidak jika setiap malam Minggu ia habiskan dengan Runa di warung Mi ayam. Atau di taman dengan di temani Es teh plastikan.

"Ayo masuk Dimas. Jangan bengong saja. Ini baru luarnya saja," ajak Mayang.

Lagi lagi Dimas seperti mati kutu. Ia takut salah tingkah. Terlebih di tempat elite seperti ini.

Dan ternyata Mayang membawanya di ruangan VIP. Disana sudah ada satu set meja dan kursi yang mewah dengan beragam makanan. Pencahayaan yang remang membuat syahdu suasana malam itu. Apalagi jendela di ruangan itu menghadap ke laut lepas. Benar benar pemandangan yang indah.

Tidak berhenti disitu. Masih ada dua orang laki laki pemain biola yang memainkan alunan lembut di dekat meja makan mereka. Seolah membuat makan malam ini benar benar romantis.

"Bagaimana? Kamu suka?"

Dengan reflek Dimas mengangguk. Bohong sekali jika ia berkata tidak suka tempat seperti ini. Makanan dan minuman yang enak.

"Ini baru permulaan. Nanti akan aku buat lebih dari ini," kata Mayang.

Dimas akhirnya tersenyum. Ya dengan Mayang memang rasanya berbeda. Seperti ia tengah menyiapkan rollercoaster. Dengan Runa, hidup seperti datar saja. Itu saja. Bosan.

Mayang melihat Dimas yang begitu lahap memakan apa yang tersaji di depannya. Steak Ayam disini memang terkenal enak.

"Kamu suka?"

"Siapa?" tanya Dimas kaget. Ah ia takut, bagaimana jika Mayang menanyakan perasaanya.

"Itu. Steak ayamnya," jawab Mayang.

"Oh. Iya. Enak ya makanan disini."

"Tentu saja. Kalau tidak enak, mana mungkin aku mau makan disini. Prinsipku meskipun mahal tapi enak, tetap aku terjang. Jangan khawatir, aku bungkuskan lagi ya untuk dibawa pulang," ujar Mayang dengan lembut dan manis.

Dimas benar benar melongo. Dengan Aruna dulu, boro boro membawa mi ayam untuk pulang, mau tambah gorengan saja berpikir seribu kali.

Hari sudah semakin malam, dan Mayang memutuskan untuk pulang. Sebelum itu salah satu karyawan restoran memberikan empat kotak yang sepertinya berisi steak ayam tersebut. Mayang mulai membuka dompetnya. Dan tak sengaja ekor mata Dimas melihat, dompet tersebut tampak kosong.

Dimas bergetar bukan main. Keringatnya mulai turun. Ia panik. Bagaimana jika justru dia yang disuruh bayar? Sementara di dompetnya hanya ada selembar uang berwarna hijau.

Mayang sadar, Dimas menatapnya tak biasa.

"Kenapa melihat aku seperti itu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   58

    Dimas berdiri kaku di depan Pak Wito, dadanya terasa sesak menahan malu dan amarah yang bercampur jadi satu. Kata-kata pria paruh baya itu menyakitkan, tapi Dimas tahu, ia tak berhak membantah.“Saya tahu saya banyak salah, Pak…” suaranya bergetar, tapi ia berusaha tetap tegar. “Tapi saya benar-benar butuh pekerjaan. Tolong kasih saya kesempatan.”Pak Wito menatapnya lama, ekspresinya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. “Kesempatan? Kamu pikir dunia ini gampang? Kamu udah buang kesempatan itu, Dimas. Kamu buang Aruna… dan sekarang kamu mau datang ke sini, minta belas kasihan saya?”Dimas mengepalkan tangannya erat-erat di sisi tubuhnya. Ia ingin membantah, tapi kata-kata itu terlalu benar. Ia memang sudah menyia-nyiakan semuanya — Aruna, kesempatan, dan mungkin… masa depannya sendiri.“Pak… saya nggak minta belas kasihan,” kata Dimas pelan. “Saya cuma minta kerja. Apa pun itu, saya siap.”“Kerja jadi kuli? Kamu yakin?” Pak Wito menyipitkan mata. “Kamu yang dulu begitu bangga sa

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   57

    Suara meteran listrik yang berbunyi makin cepat, seperti menambah ketegangan yang sudah menumpuk di dalam rumah itu. Dimas hanya bisa duduk diam, menatap lantai dengan mata kosong. Dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk — tentang pekerjaan, tentang ibunya, dan sekarang, tentang listrik yang sebentar lagi mati.“Ya Allah, gimana ini…” keluh Bu Siti sambil mondar-mandir di ruang tamu. “Dimas! Kamu tuh ngapain aja seharian?! Cari kerja nggak dapat, listrik juga mau habis! Kamu nggak punya solusi apa?!”Dimas menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Aku udah nyoba, Bu… udah ke mana-mana. Tapi belum ada yang nerima.”“Alasannya itu lagi! Kalau kamu mau kerja apa aja, pasti udah dapat!” sergah Bu Siti, suaranya meninggi. “Tapi kamu tuh terlalu milih-milih, Dimas! Coba dari kemarin kamu mau kerja jadi kuli bangunan yang ditawarin Aruna, mungkin sekarang kita nggak kayak gini!”Dimas mengepalkan tangannya di atas lutut, berusaha keras menahan emosinya. “Aku nggak

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   55

    Dimas duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Matahari mulai condong ke barat, tapi pikirannya masih terjebak dalam kekhawatiran yang sama sejak pagi tadi — mencari pekerjaan. Tumpukan koran dengan lingkaran merah di kolom lowongan kerja tergeletak di sampingnya, namun satu pun panggilan belum ia terima. Melamar menjadi guru kembali pun juga sulit.Pintu rumah terbuka dengan kasar, dan Bu Siti muncul dengan wajah kesal. “Dimas! Kamu di sini aja dari tadi? Udah dapat kerja belum?” suaranya tajam, menusuk telinga Dimas yang sudah cukup lelah.Dimas menghela napas pelan, mencoba menahan diri. “Belum, Bu. Aku udah coba cari, tapi belum ada panggilan.”“Alasannya itu terus! Kamu mau jadi pengangguran sampai kapan?” nada Bu Siti semakin meninggi. “Ibu ini baru keluar dari rumah sakit, tapi kamu malah santai nggak jelas di rumah!”Dimas menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah dan rasa malu. “Aku nggak santai, Bu. Aku keliling seharian tadi nyari kerja. Tapi di mana-mana susah. Kala

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   55

    “Bu!” Dyah menatap ibunya dengan pandangan tak percaya. “Ibu dengar nggak sih apa yang barusan Ibu katakan? Aruna sama sekali nggak minta dihormati atau disanjung, Bu. Dia cuma mau membantu kita! Kenapa Ibu selalu melihat dia dengan kebencian?”Bu Siti menggeleng, wajahnya mengeras. “Karena aku tahu siapa Aruna, Dyah. Dia itu sombong! Dulu dia sok jual mahal sama Dimas, dan sekarang aku yakin dia cuma mau pamer kalau dia lebih berhasil dari kita.”“Ya Allah, Bu...” Dyah menutup wajah dengan tangannya, berusaha menahan kekesalan yang semakin memuncak. “Sampai kapan Ibu mau kayak gini? Sampai kapan Ibu mau terjebak dengan kebencian yang nggak ada gunanya?”"kamu kenapa sih Dyah? Kenapa kamu justru membela si Aruna itu?" Tanya Bu Siti."Ya mau membela siapa lagi? Mayang? Bu, dia sudah tidak perduli dengan keluarga kita. Buat apa? Bahkan dia juga sudah membuang Dimas."Bu Siti mendengus pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Pokoknya Ibu nggak mau berterima kasih sama Aruna. Kalau perlu,

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   54

    Andra menatap Aruna dengan pandangan tajam, namun tidak ada kemarahan di sana. Hanya sedikit kekecewaan yang tersirat di matanya. Aruna yang sejak tadi duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Ia takut jika Andra berpikiran yang tidak-tidak tentang keputusannya membantu Dimas.“Aku tahu,” akhirnya Andra bersuara, suaranya datar namun tegas. “Aku tahu kamu bantu Dimas.”Aruna menelan ludah, sedikit salah tingkah. “Mas, aku cuma...”“Berapa yang kamu kasih ke dia?” potong Andra sebelum Aruna sempat menyelesaikan kalimatnya.Aruna terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Sepuluh juta.”Andra terdiam sesaat, menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, bukan karena Aruna memberi uang kepada Dimas, tapi lebih kepada nominal yang cukup besar.“Sepuluh juta?” ulangnya, menatap Aruna dengan sedikit tidak percaya. “Aruna, kalau kamu memang mau bantu, kenapa nggak sekalian?”Aruna mengernyit. “Maksud Mas?”Andra bangkit dari duduk

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   53

    Dimas duduk gelisah di ruang tamu rumah Aruna. Tangannya menggenggam erat lututnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak menyangka harus kembali ke rumah ini dalam kondisi seperti ini. Dulu, ia meninggalkan Aruna tanpa ragu, dan kini, ia kembali sebagai seorang peminta-minta.Pak Wito, ayah Aruna, duduk di hadapannya dengan wajah keras. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ia tahan. Ia melipat kedua tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Dimas."Jadi, kau datang ke sini untuk meminjam uang?" suara Pak Wito rendah, namun penuh tekanan.Dimas menelan ludah. "Pak Wito, saya benar-benar dalam kesulitan. Ibu saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saya butuh biaya untuk membayar pengobatannya."Pak Wito menghela napas, lalu menggeleng. "Kau tahu, Dimas? Aku sudah mendengar banyak tentang kehidupanmu sekarang. Kau meninggalkan Aruna, menikahi perempuan lain, lalu hidup dalam kemiskinan. Dan sekarang, kau kembali ke sini dengan tangan kosong, meminta bantuan?"Dimas m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status