Share

6

Author: Anik Safitri
last update Last Updated: 2024-12-13 16:46:14

Dimas melengos. Salah tingkah.

"Ehm ti... ti.. tidak Mayang. Tak apa," jawab Dimas dengan gugup.

Mayang mengeluarkan satu kartu dari dompetnya. Fiyuhh Dimas lega bukan main. Ia kira Mayang akan menyuruhnya membayar.

"Kamu kenapa sih? Kok keringatan seperti itu? Ini tidak panas loh. Ini malam hari," tanya Mayang.

Dimas sejenak tertunduk.

"Ah aku mungkin grogi di dekat kamu," elak Dimas. Ya ia hanya berbohong menutupi ketakutannya 

Mendengar itu, Mayang tersipu malu. Pipinya bersemu kemerahan. Perasaanya semakin berbunga-bunga.

"Kamu bisa saja," respon Mayang yang salah tingkah.

Mayang masih senyum-senyum walau dia sampai di mobil

"Terimakasih ya Dimas," ucap Mayang tiba-tiba.

Dimas menoleh.

"Terimakasih kenapa? Aku yang justru berterimakasih. Kamu baik," ujar Dimas 

Ah rasanya Mayang sekarang seperti terbang tinggi. Tersanjung.

"Jangan kapok ya Dimas. Kapan kapan kita keluar lagi," ucapnya saat mereka sudah turun dari mobil.

Dimas hanya mengangguk kecil. Memaksakan senyum. Lalu ia menuju montornya yang masih terparkir.

"Dimas, tunggu," teriak Mayang.

Mayang setengah berlari mendekat. Ia menyerahkan sebuah amplop.

"Ini apa?" tanya Dimas yang bingung

"Ini isinya uang."

Dimas melongo.

"Kamu tidak bermaksud membeliku bukan?"

Mayang menggeleng dengan cepat.

"Eh tidak. Bukan begitu. Ini aku titip buat Mbak Diah," jawab Mayang yang gugup.

Dahi Dimas berkerut .

"Hah? Maksut kamu?"

"Ehm tadi Mbak Diah menghubungi aku. Katanya dia butuh uang," jawab Mayang.

Dimas merutuk dalam hati. Dia benar benar geram dengan kelakuan kakaknya itu. Benar benar tidak ada akhlak.

"Ayolah diterima. Jangan merasa tidak enak. Toh aku juga bukan orang lain untuk keluarga kalian," lanjut Mayang dengan yakinnya.

Dimas setengah tidak ikhlas menerima amplop dari Mayang tersebut. Malu.

Tak sabar ia ingin pulang, ia memacu montor lebih kencang lagi. Ingin memakai Mbak Diah. Benar benar membuat malu dia.

Seperti yang dia kira, benar saja Mbak Diah seolah sudah tau. Dia berdiri di depan teras menunggu kepulangan sang adik.

"Mana Dimas?" tanyanya sembari menyodorkan tangan. Tanpa rasa bersalah.

Dimas menyerahkan amplop dari Mayang dengan sedikit kasar.

"Mbak Diah itu memalukan," gerutu Dimas.

"Kenapa justru kamu yang marah? Mayang saja dengan senang hati memberi kok. Dia bahkan berkata ke aku, jika butuh apa-apa, tidak usah sungkan untuk ngomong. Toh dia akan jadi adik ipar ku. Begitu katanya." jawab Mbak Diah seolah merasa menang.

"Tapi Dimas malu Mbak." elaknya

Mbak Diah mengibaskan tangan di udara.

"Jadi diri kamu sendiri saja. Karena apa adanya kamu, Mayang sudah suka," kata Mbak Diah. Kali ini nada bicaranya serius. Dan setelah mendapat apa yang dia mau, dia pulang begitu saja.

"Ibu, seharusnya bilang dong ke Mbak Diah. Agar sedikit punya urat malu. Mentang mentang keluarga Mayang lebih kaya daripada kita." protes Dimas kepada sang ibu.

"Mas Dimas, zaman sekarang perduli urat malu, ya tidak akan makan apa apa. Lagipula benar kok apa kata Mbak mu. Lebih baik jadi diri sendiri. Toh Mayang menerima kamu apa adanya."

Dimas mendengus kesal.

"Ya iya menerimaku. Memang hanya aku yang mau dengannya," gerutunya lagi dengan kecewa.

"Jangan begitu Dimas. Kelak kamu juga akan suka dengan dia. Ingat pepatah Jawa bukan?"

"Sudah Bu. Jangan diteruskan. Dimas pusing mendengar itu," sengitnya lagi sembari masuk ke dalam kamar.

*

"Runa, kamu masuk kerja?" tanya Ko Ari, pemilik toko tempat Runa bekerja.

"Runa, sehat sehat saja Ko. Kenapa tidak bekerja?"

"Ah iya. Tapi orang orang bilang, kamu batal menikah ya Runa. Tidak apa apa kalau kali ingin menenangkan diri dulu. Jangan dipaksa untuk bekerja," lanjut Ko Ari.

Runa sedikit melongo.

"Meratapi orang yang salah tidak menghasilkan duit Ko. Tapi kalau bekerja kan dapat duit." jawab Runa dengan kekeh kecilnya.

"Ah benar benar. Apapun masalahnya, hantam terus ya Run. Saya tau, kamu wanita yang kuat."

Runa mengangguk.

"Oh iya, kenalkan laki laki yang duduk disana itu karyawan baru saya. Dia tugasnya angkat angkat. Barangkali ada pembeli yang bawa mobil. Atau ada barang bongkaran baru. Jika kamu butuh bantuan untuk mengangkat sesuatu, panggil dia."

Toko Ko Ari adalah toko kelontong besar di kota itu. Banyak toko toko kecil yang memilih mengambil barang disitu. Tak heran jika toko itu selalu ramai pembeli. Selain harga yang lebih miring, Ko Ari selalu menekankan kepada karyawan, agar selalu ramah terhadap pembeli. Dan tidak membeda-bedakan.

Di depan toko, tampak sudah banyak kardus yang tertumpuk. Biasanya kardus itu diletakkan di sebelah toko, nanti akan ada tukang rongsok yang sudah menjadi langganan Ko Ari mengambilnya.

Tapi laki laki yang Ko Ari maksud, justru duduk dengan santainya di atas kardus.

"Mas, tolong dong berdiri."

Dia masih diam 

"Mas, tolong ini dipindah kesana."

Masih diam 

"Mas, niat kerja apa tidak sih?" tanya Aruna sedikit lebih keras.

Laki -laki itu setengah kaget, ia reflek berbalik badan. Begitupun Aruna yang juga kaget. Ia menatap laki laki itu tanpa kedip

"Ko Ari, tolong," pekik Aruna.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
carsun18106
kasihan juga mayang ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   58

    Dimas berdiri kaku di depan Pak Wito, dadanya terasa sesak menahan malu dan amarah yang bercampur jadi satu. Kata-kata pria paruh baya itu menyakitkan, tapi Dimas tahu, ia tak berhak membantah.“Saya tahu saya banyak salah, Pak…” suaranya bergetar, tapi ia berusaha tetap tegar. “Tapi saya benar-benar butuh pekerjaan. Tolong kasih saya kesempatan.”Pak Wito menatapnya lama, ekspresinya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. “Kesempatan? Kamu pikir dunia ini gampang? Kamu udah buang kesempatan itu, Dimas. Kamu buang Aruna… dan sekarang kamu mau datang ke sini, minta belas kasihan saya?”Dimas mengepalkan tangannya erat-erat di sisi tubuhnya. Ia ingin membantah, tapi kata-kata itu terlalu benar. Ia memang sudah menyia-nyiakan semuanya — Aruna, kesempatan, dan mungkin… masa depannya sendiri.“Pak… saya nggak minta belas kasihan,” kata Dimas pelan. “Saya cuma minta kerja. Apa pun itu, saya siap.”“Kerja jadi kuli? Kamu yakin?” Pak Wito menyipitkan mata. “Kamu yang dulu begitu bangga sa

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   57

    Suara meteran listrik yang berbunyi makin cepat, seperti menambah ketegangan yang sudah menumpuk di dalam rumah itu. Dimas hanya bisa duduk diam, menatap lantai dengan mata kosong. Dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk — tentang pekerjaan, tentang ibunya, dan sekarang, tentang listrik yang sebentar lagi mati.“Ya Allah, gimana ini…” keluh Bu Siti sambil mondar-mandir di ruang tamu. “Dimas! Kamu tuh ngapain aja seharian?! Cari kerja nggak dapat, listrik juga mau habis! Kamu nggak punya solusi apa?!”Dimas menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Aku udah nyoba, Bu… udah ke mana-mana. Tapi belum ada yang nerima.”“Alasannya itu lagi! Kalau kamu mau kerja apa aja, pasti udah dapat!” sergah Bu Siti, suaranya meninggi. “Tapi kamu tuh terlalu milih-milih, Dimas! Coba dari kemarin kamu mau kerja jadi kuli bangunan yang ditawarin Aruna, mungkin sekarang kita nggak kayak gini!”Dimas mengepalkan tangannya di atas lutut, berusaha keras menahan emosinya. “Aku nggak

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   55

    Dimas duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Matahari mulai condong ke barat, tapi pikirannya masih terjebak dalam kekhawatiran yang sama sejak pagi tadi — mencari pekerjaan. Tumpukan koran dengan lingkaran merah di kolom lowongan kerja tergeletak di sampingnya, namun satu pun panggilan belum ia terima. Melamar menjadi guru kembali pun juga sulit.Pintu rumah terbuka dengan kasar, dan Bu Siti muncul dengan wajah kesal. “Dimas! Kamu di sini aja dari tadi? Udah dapat kerja belum?” suaranya tajam, menusuk telinga Dimas yang sudah cukup lelah.Dimas menghela napas pelan, mencoba menahan diri. “Belum, Bu. Aku udah coba cari, tapi belum ada panggilan.”“Alasannya itu terus! Kamu mau jadi pengangguran sampai kapan?” nada Bu Siti semakin meninggi. “Ibu ini baru keluar dari rumah sakit, tapi kamu malah santai nggak jelas di rumah!”Dimas menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah dan rasa malu. “Aku nggak santai, Bu. Aku keliling seharian tadi nyari kerja. Tapi di mana-mana susah. Kala

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   55

    “Bu!” Dyah menatap ibunya dengan pandangan tak percaya. “Ibu dengar nggak sih apa yang barusan Ibu katakan? Aruna sama sekali nggak minta dihormati atau disanjung, Bu. Dia cuma mau membantu kita! Kenapa Ibu selalu melihat dia dengan kebencian?”Bu Siti menggeleng, wajahnya mengeras. “Karena aku tahu siapa Aruna, Dyah. Dia itu sombong! Dulu dia sok jual mahal sama Dimas, dan sekarang aku yakin dia cuma mau pamer kalau dia lebih berhasil dari kita.”“Ya Allah, Bu...” Dyah menutup wajah dengan tangannya, berusaha menahan kekesalan yang semakin memuncak. “Sampai kapan Ibu mau kayak gini? Sampai kapan Ibu mau terjebak dengan kebencian yang nggak ada gunanya?”"kamu kenapa sih Dyah? Kenapa kamu justru membela si Aruna itu?" Tanya Bu Siti."Ya mau membela siapa lagi? Mayang? Bu, dia sudah tidak perduli dengan keluarga kita. Buat apa? Bahkan dia juga sudah membuang Dimas."Bu Siti mendengus pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Pokoknya Ibu nggak mau berterima kasih sama Aruna. Kalau perlu,

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   54

    Andra menatap Aruna dengan pandangan tajam, namun tidak ada kemarahan di sana. Hanya sedikit kekecewaan yang tersirat di matanya. Aruna yang sejak tadi duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Ia takut jika Andra berpikiran yang tidak-tidak tentang keputusannya membantu Dimas.“Aku tahu,” akhirnya Andra bersuara, suaranya datar namun tegas. “Aku tahu kamu bantu Dimas.”Aruna menelan ludah, sedikit salah tingkah. “Mas, aku cuma...”“Berapa yang kamu kasih ke dia?” potong Andra sebelum Aruna sempat menyelesaikan kalimatnya.Aruna terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Sepuluh juta.”Andra terdiam sesaat, menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, bukan karena Aruna memberi uang kepada Dimas, tapi lebih kepada nominal yang cukup besar.“Sepuluh juta?” ulangnya, menatap Aruna dengan sedikit tidak percaya. “Aruna, kalau kamu memang mau bantu, kenapa nggak sekalian?”Aruna mengernyit. “Maksud Mas?”Andra bangkit dari duduk

  • DITINGGAL MANTAN DINIKAHI SULTAN   53

    Dimas duduk gelisah di ruang tamu rumah Aruna. Tangannya menggenggam erat lututnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak menyangka harus kembali ke rumah ini dalam kondisi seperti ini. Dulu, ia meninggalkan Aruna tanpa ragu, dan kini, ia kembali sebagai seorang peminta-minta.Pak Wito, ayah Aruna, duduk di hadapannya dengan wajah keras. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ia tahan. Ia melipat kedua tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Dimas."Jadi, kau datang ke sini untuk meminjam uang?" suara Pak Wito rendah, namun penuh tekanan.Dimas menelan ludah. "Pak Wito, saya benar-benar dalam kesulitan. Ibu saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saya butuh biaya untuk membayar pengobatannya."Pak Wito menghela napas, lalu menggeleng. "Kau tahu, Dimas? Aku sudah mendengar banyak tentang kehidupanmu sekarang. Kau meninggalkan Aruna, menikahi perempuan lain, lalu hidup dalam kemiskinan. Dan sekarang, kau kembali ke sini dengan tangan kosong, meminta bantuan?"Dimas m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status