Share

Chapter 01 : A Good Day To Die

Sebuah hari yang indah dan normal bagi seorang Naniana Kradse. Langit sangat bersih dan biru, matahari bersinar cerah di luar sana, dan jangan lupakan bagaimana angin yang berembus melewati jendela kelasnya itu yang menyentuh kulit dengan lembut seperti alunan musik yang memabukkan. Bagaimana bisa Naniana tidak menyebut hari ini sebagai hari yang indah? Semua hal yang terjadi amat normal dan mendukungnya untuk istirahat dengan tenang.

Ketika ia bisa berleha-leha dengan menaruh kepalanya di meja seperti ini, terkadang baru Naniana sadari kalau hidupnya selama ini selalu disibukkan oleh hal-hal yang memuakkan. Naniana baru berusia 18 tahun, dia seperti anak gadis pada umumnya yang bersekolah dengan baik dan lumayan memiliki teman. Dia menjalani kehidupan yang normal sebagai anak sekolahan, yang tak normal itu hanya keluarganya saja.

Mengapa ia sebut demikian? Karena Naniana tidak lahir di keluarga yang biasa. Dia lahir sebagai anak seorang pemimpin kelompok mafia yang terkenal kekuasaannya. The Heatens, sebuah kelompok organisasi kejahatan yang berpusat di Baton Rouge, ibu kota negara bagian Amerika Serikat, Louisiana. Saat ini dipimpin oleh seorang nyonya yang merupakan istri termuda dari pemimpin sebelumnya, dan juga ibu dari Naniana. Secara teknis, tentu saja Naniana adalah pewaris sekaligus pemimpin selanjutnya dari The Heatens.

Jika gadis yang akrab disapa Niana itu diminta untuk menyebutkan apa keuntungan menjadi anak gadis satu-satunya dari pemimpin organisasi mafia sekelas The Heatens, maka dia akan diam saja. Bagi Naniana, tidak ada hal yang bisa ia banggakan sebagai anak yang terlahir dari ayah yang seorang penjahat kelas kakap. Apa bedanya dari menjadi anak dari penjahat yang mendekam di penjara? Toh ayahnya dulu kerjanya hanya menjual barang haram, mencuci uang dan membunuh orang. Apa yang bisa Naniana banggakan?

Bahkan karena dia lahir seperti itu, hidupnya jadi berbanding jauh dari anak-anak kebanyakan.

Orang tuanya punya pilihan untuk melepaskan Naniana dan membiarkannya hidup seperti gadis normal pada umumnya, tapi itu tidak terjadi. Naniana malah diajarkan caranya membunuh orang di usia yang masih sangat muda, di usia di mana anak seumurnya seharusnya menangis saja di belakang punggung orang tuanya.

Ya ... semua akan berbeda kalau kau lahir sebagai anak penjahat. Naniana malah diajarkan untuk menjadi penjahat juga. Semua pendidikan yang diterimanya dengan formal selama ini hanya kesenangan sesaat saja, sebelum Naniana diresmikan menjadi pemimpin The Heatens setelah ibunya dan menjalani sisa hidupnya sebagai penjahat.

Lalu, apa Naniana tidak berniat untuk kabur saja? Dia bisa melakukan itu kalau dia mau, tapi Naniana terlalu malas untuk melakukannya.

Ketimbang menciptakan kehebohan, lebih baik jalani dengan profesionalitas. Lagi pula, Naniana tidak bisa menolak darah seorang penjahat yang mengalir dalam tubuhnya, darah yang memberinya kehidupan sebagai salah satu entitas di bumi yang tak bernasib baik. Mau kabur sampai ke mana pun, ibunya tidak akan melepaskan Naniana. Dia adalah orang nomor satu yang terobsesi untuk menjadikan Naniana sebagai pemimpin selanjutnya The Heatens.

Satu-satunya hal yang Naniana sukai di dunia ini adalah sekolahnya, yang katanya bisa membuatnya merasa seperti gadis normal pada umumnya. Tapi sebenarnya, itu tidak seasyik yang Naniana kira. Identitasnya sebagai anak dari penjahat yang ditakuti banyak orang tak bisa ia sembunyikan dengan mudah, itu membuat teman-temannya segan dan menghambat sosialisasinya dengan orang-orang di sekitarnya.

Sudah ditebak seperti apa kehidupan sekolah yang sangat ia cintai itu ...? Iya, membosankan. Bukan punya sedikit teman dekat, Naniana bahkan tak punya sama sekali. Teman-teman yang datang kepadanya, berjalan dengan terpaksa. Sudah dipastikan, mereka tentunya tidak mau seberapa terlibat dengan anak penjahat seperti Naniana. Simpelnya, mereka cari aman. Padahal Naniana hanya ingin berteman seperti biasanya. Padahal Naniana hanya ingin memiliki teman sebagai hal yang bisa membuatnya lupa akan siapa dirinya, tapi teman-temannya di sekolah malah menarik batas dan makin memperjelas posisi Naniana sebenarnya.

Naniana tidak menangisinya, toh dia juga sudah melalui fase seperti ini di tiga tahun ia duduk di bangku sekolah menengah atas. Tapi kalau menyayangkannya, itu pasti. Sayang sekali kalau tiga tahunnya di sekolah menengah atas ini juga akan dilalui dengan kesendirian karena teman-temannya takut semua padanya.

“Huh ... apa tidak ada satu pun dari mereka yang mau mengajakku bicara?” Naniana kembali melirik ke sekitar, anak-anak yang berada di kelas yang sama itu seakan-akan tidak menganggapnya ada. Naniana sampai bertanya-tanya, apa dia memang sebegitu menyeramkannya sampai tidak ada yang berani mengajak bicara? Mereka bahkan langsung mengalihkan wajah ketika tak sengaja bertatap mata dengan Naniana, padahal kalau ada yang tersenyum padanya, Naniana juga tidak akan menolak untuk membalas. “Aku harap di kehidupan selanjutnya, aku jadi anak tukang jahit saja!”

Memilih tak melanjutkan gumamannya, Naniana meletakkan kembali kepalanya dengan santai. Dia benar-benar ingin tidur saja ketimbang menunggu guru masuk dengan kebosanan. Tapi sayang sekali, Naniana tidak diberi waktu bahkan untuk sekejap memejamkan mata.

“Selamat siang, anak-anak!” Guru datang menyapa. Sebagai murid yang berusaha menjadi baik, Naniana langsung menegakkan tubuhnya dan membalas sapaan yang gurunya berikan.

“Selamat siang, Nyonya Kim!”

“Aku harap kalian masih semangat karena kita akan belajar tentang sejarah hari ini!” Guru wanita yang sudah berumur itu tersenyum dengan hangat pada anak-anak muridnya, tapi ketika matanya menangkap sosok dingin Naniana yang duduk diam dengan bibir yang melengkung, senyumnya tiba-tiba hilang. “Naniana? Apa ada masalah?” Tiba-tiba saja, dia bertanya begitu pada Naniana.

“Ah, menyebalkan,” ucap Naniana sembari merotasi matanya dengan muak. Tentu saja jawabannya itu akan diartikan lain oleh gurunya yang kini langsung mengemasi buku-buku yang ia bawa.

“Tidak apa-apa, Naniana. Aku akan keluar sekarang.” Wanita itu akan keluar, tapi Naniana segera menahannya.

“Aku tidak mengusirmu, Nyonya Kim!” Gurunya itu berhenti melangkah akibat ucapan Naniana. “Aku benar-benar tidak apa-apa kau mengajar kelas ini. Kenapa kau keluar?”

“Kau terlihat tidak senang melihatku, aku pikir kau tidak menyukai kelasku.”

Naniana memijat pelipisnya. Sikap orang-orang yang selalu mengaitkan wajah dinginnya dan identitasnya sebagai anak penjahat ini sangat membebaninya. Memang mereka pikir Naniana itu orang yang gampang membangun kembali suasana yang semula baik-baik saja setelah salah paham mereka membuat suasana jadi tegang? Naniana saja payah dalam bersosialisasi karena orang-orang selalu takut dan menjauhinya.

“Maaf, Nyonya Kim. Apa aku harus tersenyum agar terlihat seperti menerima pelajaranmu?” tanya Naniana setelah beberapa detik berdiskusi dengan dirinya sendiri. Ya, soalnya Naniana sempat berpikir untuk membiarkan guru itu pergi dengan salah paham dan membuat kelas jadi tegang, lagi. Tapi ia memilih untuk mencoba memperbaiki suasana, sebab seperti yang Naniana tahu, hari ini adalah hari yang indah kalau untuk dihancurkan oleh kelakuannya. Jadi, Naniana mengulang kembali pertanyaannya, “Apakah aku harus tersenyum untuk menunjukkan kalau aku baik-baik saja denganmu dan pelajaranmu, Nyonya Kim?”

Gurunya itu dengan gugup menjawab, “K-kau lebih cantik ketika kau tersenyum, Nania—”

“Lihatlah, Nyonya Kim! Aku tersenyum!” Belum kelar kalimat yang gurunya ucap, Naniana langsung menyela dengan perkataan dan senyum lebar yang ia tunjukkan. “Bagaimana? Apa kau percaya kalau aku sama sekali tidak membenci jam pelajaranmu?” Naniana tersenyum lebar, berharap gurunya akan kembali mengajar seperti biasa. Tapi sebenarnya, senyum yang ia buat itu malah menjadi tekanan lain yang membuat gurunya tak kuasa untuk berkata ‘tidak’.

“I-iya, aku rasa aku sudah salah paham padamu, Naniana.”

“Kalian selalu salah paham denganku dan aku tumbuh sangat baik dengan itu,” gumam Naniana, kembali duduk.

Namun, belum sampai bokongnya menyentuh permukaan kursi, ia dan seisi kelas dikejutkan dengan suara pintu yang ditendang amat keras dari luar. Naniana yang terkejut, sempat hampir terjungkal dari kursinya. Dia mengumpat pelan dan melihat penyebab suara keras itu, yang ternyata bersumber dari tendangan seorang lelaki gila yang kini berjalan memasuki ruang kelasnya.

“Orang gila dari mana lagi ini?” tanya Naniana dengan suara pelan. Tak ada yang menjawabnya, semua pasang mata tertuju dengan waswas pada lelaki bermata tajam yang kini mengamati seisi kelas dengan pandangan membara.

“Di mana dia?” tanya lelaki itu, dengan tatapan yang seperti dipenuhi amarah, kini melirik ke tempat guru Naniana berdiri. Dengan cepat, dia berlari dan menjambak rambut wanita itu. “Katakan! Di mana anak itu berada!?”

Seisi kelas tentu saja langsung mendelik kaget menyaksikan apa yang terjadi. Para gadis yang terkejut, menjerit dalam ketakutan. Sementara para pemuda hanya berdiri gugup, tak tahu harus melakukan apa sementara mereka juga sama terkejutnya.

Naniana masih berada di tempat duduknya, menyaksikan apa yang akan lelaki asing itu lakukan di kelasnya. Tentu saja, dia tahu apa yang lelaki itu cari.

“Jawab aku! Di mana dia!?”

“Si-siapa yang kau maksud, Tu-Tuan?”

“Anak sialan itu! Di mana dia berada?”

“Anak sialan? Siapa yang kau mak—AH ... TOLONG AMPUNI AKU!”

Semakin riuh murid-murid yang berada di kelas itu ketika si lelaki asing tiba-tiba saja mengeluarkan sebuah pistol dari saku mantelnya, menempelkannya ke pelipis guru Naniana. Wanita itu ketakutan sampai kakinya seperti tak kuat lagi berdiri, sementara Naniana mengerutkan keningnya, mulai terganggu.

“DI MANA DIA!? KALAU TIDAK ADA YANG MENGATAKANNYA, KALIAN SEMUA AKAN MATI!” Naniana bercecah sebal sembari mengalihkan tatapan. Hampir semua murid melirik ke arahnya, mencurigainya kalau dirinyalah anak sialan yang lelaki gila itu maksud. Tentu saja mereka berharap Naniana adalah harapan terakhir yang akan menyelamatkan mereka, kendati itu harus mengorbankan Naniana sendiri. “CEPAT KATAKAN!”

Naniana menggigit bibir bawahnya. Ia merasa sebal sebab agaknya dia harus segera bertindak, terlebih ketika lelaki itu melepaskan satu tembakan ke udara, melubangi atap kelas Naniana.

Dengan terpaksa, gadis itu berdiri dari duduknya. “Kalau mencari seseorang, sebut namanya dengan benar, dasar babi bodoh!” ujar Naniana, dengan berani meninggalkan kursi tempatnya bersantai beberapa detik lalu, berjalan menuju lelaki agak gempal yang berdiri sembari memelototinya. “Sebut namanya dengan benar! Na-ni-a-na!” lanjutnya, menekan nada bicara saat ia menyebut namanya.

“Kau ...!”

“Iya, aku Naniana Kradse. Orang yang kau cari itu ... aku, ‘kan?” Ketika mendengar Naniana memperkenalkan dirinya, lelaki itu langsung melepas cengkeramannya pada rambut sang guru lalu berjalan cepat menuju Naniana. Seluruh kelas kembali dibuat terkejut, Naniana seperti berdiri di ujung jurang kematiannya ketika ujung dingin pistol itu menyentuh dahinya. Tapi sebisa mungkin, ia bersikap tenang. “Aku tidak tahu kau dari kelompok mana, tapi mencariku dengan datang ke sekolahku itu sama saja mengiyakan kalau kau sudah tidak punya akal, lho ...?”

“Aku tidak peduli!” ujar lelaki itu selagi tersenyum lebar. “Aku hanya peduli untuk menemukan dan membunuhmu, Naniana Kradse! Akhirnya ...! Akhirnya aku bisa membunuhmu!”

Naniana masih berdiri tanpa melakukan perlawanan ketika ia mendengar pelatuk pistol itu ditarik, mempersiapkan peluru untuk diluncurkan sebentar lagi menuju bagian terdalam dari kepalanya yang bisa ditembus. Ia melirik ke sekitar, orang-orang menatapnya dengan nanar dan penuh ketakutan.

“Tuan, boleh aku mengajukan satu permintaan?” tanya gadis itu, sejurus kemudian ia merasa kepalanya didorong dengan tekanan pistol yang menempel di dahinya itu.

“Apa kau pikir kau bisa memperdayaiku dengan alibi murahanmu itu?”

“Anggap saja ini adalah permintaan terakhir dari orang yang akan kau bunuh.”

“Naniana ...,” gurunya berkata, memanggil nama Naniana dengan suara pelan dan raut cemas.

Naniana mengabaikan itu dan berkata, “Tolong biarkan orang-orang keluar.”

Lelaki itu menatap Naniana dengan tajam, seakan sedang mendeteksi adakah kebohongan yang Naniana sembunyikan dari ucapannya. Ya ... sayang sekali, ekspresi Naniana yang dingin itu seperti tembok tinggi yang tak mengizinkan siapa pun untuk melirik ke dalam hatinya. Lelaki itu tidak bisa membaca apa-apa jika memperhatikan ekspresi Naniana saja.

Tapi bukan berarti ia mau percaya begitu saja. Untuk berjaga-jaga, ia menjatuhkan Naniana. Mengunci gerakan gadis itu dan menahan kepala Naniana dengan tangan tangannya yang lebar dan berkekuatan besar. Naniana sempat meringis, kepalanya tentu saja pusing setelah dibenturkan dengan keras begitu. Dia juga membuat satu kelas cemas, tapi setelahnya ia malah tertawa.

“Apa yang kalian lakukan? Cepat keluar,” ujar Naniana.

“Ta-tapi, orang itu akan membunuhmu, Naniana. Kau tidak takut?”

Tawa Naniana hilang, tak tersisa sedikit pun senyum di sana. Raut wajahnya kembali dingin dan kaku. “Kalau kalian tidak cepat-cepat keluar, orang ini akan membunuh kalian juga. Cepat pergi selagi dia mau berbaik hati,” ujar Naniana dan dengan langkah berat, teman-teman sekelasnya termasuk gurunya meninggalkan Naniana di dalam kelas, bersama seorang lelaki gila yang berkata akan membunuhnya.

“Sekarang, aku bisa membunuhmu?” tanya lelaki itu. Tanpa bertanya pun, Naniana sudah tahu kalau tidak ada niat lain dari lelaki itu selain membunuh dirinya.

Naniana bertanya, “Kau benar-benar ingin membunuhku?”

“KAU PIKIR AKU BERCANDA?” Naniana kembali meringis dengan suara tertahan. Lelaki itu menekan leher Naniana dengan tangannya lebih kuat.

“Jawab pertanyaanku, dari mana kau berasal?” tanya Naniana.

“Untuk apa kau ingin tahu soal itu?”

“Akhir-akhir ini banyak orang yang datang untuk membunuhku, aku hanya memastikan kalau kau bukan orang yang berasal dari kelompokku.”

“Haha!” Lelaki itu tertawa. “Bukannya itu hal wajar kalau sampai ada orangmu yang datang untuk membunuhmu? Mereka pasti tidak mau kalau dipimpin oleh seorang anak yang tidak memiliki darah dari pemimpin mereka yang sebelumnya!”

Naniana menatap lurus dengan dingin, entah kenapa dinginnya lantai terasa sangat menusuk ketika ia mendengar kalimat itu. “Wah ... kau cukup tahu tentang masalah rumah tanggaku untuk dikatakan sebagai orang luar. Apa ada orangku yang berkhianat dan membocorkan beberapa informasi kepadamu?”

“KAU BERISIK!” Lelaki itu sudah tak sabar lagi. Ia ingin segera menanam satu pelurunya ke kepala Naniana, tapi sayang sekali, itu tak terjadi ketika tiba-tiba saja sebuah kursi melayang menghantam dirinya dan membuatnya tumbang dengan kepala yang pusing luar biasa.

Naniana segera bangkit, merasa tenang ketika ia tahu kalau bantuan yang ia percaya sudah datang. “Tadi itu hampir mengenaiku,” ujarnya, tersenyum pada oknum yang melempar kursi, “Jake.”

Pemuda dengan seragam sekolah yang sama dengannya itu langsung berlari menghampiri Naniana, memeluknya. Tak berselang lama, seorang lagi yang berada di belakang Jake sejak tadi, langsung maju dan menerjang lelaki asing yang hampir mencelakai Naniana. Dia sangat bengis, memukuli lelaki yang kini tak menggenggam senjata itu dengan tanpa ampun. Wajah lelaki itu babak belur sampai tak bisa lagi dikenali.

Naniana melepaskan pelukan Jake dan berkata, “Jangan sampai membunuhnya di sini, Jay,” ujarnya pada pemuda yang masih semangat memukuli laki-laki asing itu. “Dan Jake, berhenti memelukku seenaknya!”

“Niana, aku sangat cemas karena mendengar ada yang mencoba membunuhmu. Untunglah aku dan Jay tidak terlambat,” ujar Jake, kekhawatiran tampak kentara sekali di wajahnya.

Tapi tetap saja, Naniana tidak melegalkan Jake untuk memeluknya seperti tadi, apalagi sudah banyak sekali pelukan yang pemuda itu berikan padanya. Ketimbang seperti seorang kakak, Jake akan terlihat seperti kekasihnya Naniana kalau dia tidak bisa menekan kebiasaan memeluknya itu.

“Jay, aku bilang berhenti.” Mengabaikan Jake, Naniana beralih pada Jay. Tapi tampaknya pemuda dengan tatapan tajam dan bengis itu tak mendengarkan Naniana barang sedikit. Dia masih dengan menggebu-gebu memukuli korbannya, kendati sebentar lagi si korban akan sekarat dan mati, dia tampak sama sekali tidak peduli. Naniana menghela napas, ia berjalan menuju Jay dan menahan tangan yang pemuda itu gunakan untuk memukuli korbannya. “Berhenti, Jay. Kau tidak bisa membunuhnya di tempat ini.”

Jay baru berhenti ketika Naniana sudah menahan tangannya. Ia melihat sekitar, ruangan yang hanya diisi empat orang dengan banyak orang yang mengintip dari luar. Dia seperti orang linglung yang baru saja tersadarkan. “Oh, Niana, kau baik-baik saja?”

Naniana merotasi bola matanya. “Kau ini kesetanan setelah melihat darah, ya?” tanya Naniana dengan maksud menyindir.

Jay bangkit dari sana, menjauhi korbannya yang tergeletak tak berdaya dengan wajah lebam dan darah yang seperti disiramkan ke wajahnya. Jay melihat tangannya yang kotor karena noda darah, kemudian bercecah sebal. Dia menyesal karena tidak berhenti sejak tadi dan sekarang tangannya kotor, sangat kotor.

“Niana, kau benar baik-baik saja?” Jake kembali bertanya, dia tampaknya masih sangat cemas padahal matanya itu masih bekerja sangat baik dan bisa melihat kalau Naniana seratus persen baik-baik saja.

“Berhenti cemas berlebihan, Jake. Aku baik-baik saja,” jawab Naniana dengan muka sinis. Dia melirik lelaki yang beberapa detik lalu masih bersemangat berkata akan membunuhnya.

“Apa yang akan kau lakukan padanya?” tanya Jay pada Naniana.

“Simpan dulu dan tanyakan padanya, siapa yang menyuruhnya.”

“Kau tidak mau membunuhnya saja? Aku malas menyimpan sam—”

“Jay.” Naniana menyela ucapan Jay. Dia sudah tahu kalau Jay pasti akan berkata seperti itu. Ya ... Jay memang sangat menggilai darah dari seseorang yang sudah membuatnya marah, terlebih orang itu berniat mencelakai Naniana, adiknya. “Kau tidak perlu mengotori tanganmu di sini. Aku ingin kakakku yang dingin ini mendapat setidaknya satu gadis saja, jadi kau tidak boleh menakuti calon gadismu yang mungkin saja sedang berdiri di luar sana dan menontonmu dalam ketakutan.” Naniana membersihkan noda darah yang ada di tangan Jay sembari melirik ke luar kelas.

Jay tampak tak memedulikan apa yang Naniana tuju, pemuda itu masih menatap adik perempuannya dengan lekat. “Kau benar-benar tidak terluka?” tanyanya, membuat Naniana mengalihkan tatapan dengan malas.

“Selain kepalaku yang membentur lantai, semuanya baik-baik saja,” jawab Naniana dengan santai, tapi respons yang berbeda dikeluarkan kedua kakak laki-lakinya.

“KEPALAMU!?” Jake bertanya dengan mata mendelik, tampak seperti kepalanya akan menyemburkan lava sebentar lagi. “DIA YANG MEMBENTURKAN KEPALAMU KE LANTAI!?” lanjutnya sambil menunjuk lelaki yang tergeletak di lantai dengan penuh amarah. Jake sudah akan berjalan dan memberinya pukulan tambahan, tapi karena Naniana merasa pukulan tambahan itu akan mengakhiri hidup lelaki yang hampir membunuhnya, ia mencegat langkah sang kakak.

“Berhenti, Jake! Kau berlebihan! Dia bahkan sudah tidak bisa mengangkat wajahnya, kau tidak perlu menghukumnya lagi!”

“Tapi Niana, dia—”

“Aku tahu. Jake, ini hari yang sangat indah. Jangan merusaknya dengan mengotori tanganmu. Aku akan mengatakan padamu kalau kau harus membunuhnya.” Bak sebuah perintah yang mutlak, Jake menuruti ucapan Naniana. Pemuda itu kembali mundur, tak jadi melakukan aksi. Naniana melihat ke sekitar, semakin banyak orang-orang yang datang untuk menonton aksinya. “Astaga, aku tidak tahu kenapa manusia zaman sekarang senang sekali menghampiri kematiannya sendiri,” ucap Naniana sembari merotasi bola mata.

Gadis dengan rambut hitam panjangnya yang lurus sepinggul itu melangkah keluar kelas, diikuti Jake dan Jay. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Jay.

“Aku mau pulang saja. Katakan pada semuanya untuk tidak menyebarkan apa yang berhubungan dengan kejadian hari ini. Aku akan menunggu di mobil bersama Jake,” ucap Naniana, ia sempat berhenti dan menatap Jay lalu tersenyum tengil. “Itu pun kalau kau mau membolos juga,” lanjutnya, dan melangkah pergi setelahnya.

Jake menyusul Naniana yang berjalan menuju mobilnya. “Kenapa kau tidak mengatakannya padaku juga?” tanya Jake sembari menyesuaikan langkahnya dengan Naniana.

“Katakan apa?”

“Itu pun kalau kau mau membolos juga. Kau berkata seperti itu pada Jay.”

“Untuk apa aku mengatakannya? Kau sudah pasti akan pergi ke mana aku pergi, ‘kan?”

Jake tersenyum sampai deretan gigi putihnya terlihat. “Haha, kau mengingat kebiasaanku, ya?” ujarnya, merasa tersipu. Sementara Naniana menghela napas jenuh.

“Itu bukan hal yang spesial sampai kau harus tersipu seperti itu,” balas Naniana dengan dingin. Gadis itu memasuki mobilnya, duduk di bangku belakang dan Jake pun ikut duduk di bangku belakang sampai membuatnya terkejut akibat Jake yang duduk terlalu dekat dengannya. “Kenapa kau duduk di sini?” tanya Naniana.

“Memang aku tidak boleh duduk di sini?”

“Kau boleh duduk di bagian mana pun asalkan bukan bagian yang aku duduki. Aku lebih suka duduk dengan Jay dari pada denganmu!”

“Astaga, Niana. Tidakkah itu terlalu kejam untuk kau katakan padaku?” Naniana lagi-lagi hanya bisa menghela napas. Mau ia katakan seperti apa pun, Jake tidak akan dengan mudah berhenti mengganggunya. Jadi Naniana biarkan pemuda itu melakukan apa yang ia mau, sementara dia hanya ingin menikmati perjalanan saja sambil memperbaiki suasana hatinya.

Tak lama mereka menunggu, Jay datang sembari membawa tas miliknya, milik Jake dan juga Naniana. Gadis itu mengerjap dengan mata yang membulat. “Kau membawa tasku?” tanyanya pada Jay yang baru saja duduk di bangku sebelah sopir.

“Kalian meninggalkan ponsel di tas, aku tidak akan membiarkan mereka melakukan hal yang merepotkan dengan apa yang kalian bawa ke sekolah!” Naniana tertawa kecil. Jay memang orang yang teliti dan sangat berhati-hati, dan Naniana suka sikapnya yang satu itu.

“Baiklah, terima kasih.”

Setelah itu, tak ada percakapan antara ketiganya untuk beberapa saat. Itu berlangsung lumayan lama, sampai Jay akhirnya membuka suara.

“Dia orang dari Little Boy,” ujarnya dengan suara tenangnya.

Naniana agak terkejut, tapi dia tidak merespons dengan suara keras seperti yang Jake lakukan. “LITTLE BOY!? Astaga ...! Sudah yang ke berapa di minggu ini?”

“Tiga ...?”

“Naniana, sudah tiga orang suruhan Little Boy yang datang untuk membunuhmu! Aku tidak tahu kalau mereka akan bertindak sebodoh ini dan mengundang perang pada The Heatens!”

Naniana dan Jay hanya terdiam, tak menanggapi ucapan Jake. Meski dalam hati, gadis itu juga bertanya-tanya mengapa terus ada orang suruhan dari Little Boy yang datang dan berniat membunuhnya. Terhitung sudah ada 12 orang di bulan ini yang datang.

Naniana tahu kalau The Heatens adalah musuh utama Little Boy dalam perang dingin yang terjadi di dunia mafia Amerika, ia juga tahu kalau The Heatens maupun Little Boy tidak akan pernah bisa menjadi sekutu, sejak dulu berjalan seperti itu. Namun, Naniana tidak tahu masalah apa yang mengakari teror percobaan pembunuhannya yang sering terjadi akhir-akhir ini.

“Kau sudah dengar tentang satu-satunya anak dari pemimpin Little Boy sebelumnya?” tanya Jake, dia mengajak Jay berbincang.

Jay merespons dengan, “Ah ... anaknya yang penuh afeksi itu?”

“Haha, anak yang payah. Aku yakin pemimpin Little Boy sebelumnya mati dengan membawa rasa kecewa karena dia tidak sempat membuat anak lain yang lebih kuat dan pantas menjadi penerusnya!” Naniana melirik Jake, merasa sedikit tertarik dengan apa yang pemuda itu bicarakan. “Kalau Little Boy benar-benar menjadikannya pemimpin selanjutnya, aku yakin organisasi mafia paling agung di New Orleans itu akan menjadi penampungan kucing liar!”

“Apa maksudmu?” tanya Naniana, tak tahan lagi untuk terus diam dan mendengarkan. “Apa maksudmu organisasi mafia jadi penampungan kucing liar?”

“Kau tidak tahu tentang anak tunggal pemimpin Little Boy? Dia anak payah yang tidak mau menjadi penerus anaknya dan memilih untuk hidup sebagai pemuda biasa yang anti kekerasan! Haha, konyol sekali!” ujar Jake, masih menertawakan betapa konyolnya anak tunggal pemimpin Little Boy yang ia maksud.

Naniana tidak kenal siapa yang Jake maksud, dia hanya tahu kalau pemimpin Little Boy memiliki satu anak laki-laki, tapi dia belum pernah mendengar cerita ini sebelumnya. “Oh, benarkah?” Naniana ikut tertawa meski itu dengan suara yang pelan. Dia mengalihkan wajahnya ke jalanan, sementara Jay juga tak bersuara sejak terakhir kali dan hanya diam membiarkan dirinya tenggelam dalam pikiran.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status