Share

Chapter 02 : Mix and Match

Naniana bangun pagi dengan sambutan yang tak biasa kali ini. Semalam ia tertidur di Light Factory, gedung kasino dan klub malam yang dikelola oleh The Heatens. Naniana yakin semalam ia sudah mengatakan pada Jay agar jangan ada yang mengganggunya sampai ia turun tangan sendiri mengurus apa yang harus ia lakukan sebagai seorang penerus, tapi pagi ini, Naniana dikejutkan dengan kehadiran Litch, penasihat pribadi sang ibu.

Lelaki berusia 40 tahunan itu berkata kalau sebentar lagi akan ada perang besar yang melibatkan The Heatens dan Little Boy. Semua itu bersumbu dari sampainya berita percobaan pembunuhan yang hampir terjadi pada Naniana kemarin, ke telinga ibunya.

Naniana memijat tengkuknya yang terasa pegal, dia bangun dengan perasaan terkejut dan sekarang perasaannya sangat tak baik. “Aku ingin membunuh orang,” ujarnya, dengan tatapan lurus dan tajam, seperti cahaya laser yang bisa membelah apa saja yang ditatapnya.

Litch menatap ngeri. “No-Nona, aku menyarankanmu untuk berusaha menghentikan perang ini.”

“Kenapa aku harus melakukannya?” Naniana balik bertanya, dengan nada bicara yang dingin seakan ia sama sekali tidak peduli. Hal itu makin membuat kening Litch mengerut penuh cemas.

“Jika perang ini terjadi, akan banyak orang yang mati.”

“Aku akan melindungimu kalau kau benar-benar takut mati di perang nanti, sekarang aku mau tidur.”

“Bukan seperti itu, Nona, dan ... aku tidak semata-mata memikirkan diriku saja, tapi ini menyangkut banyak nyawa. Akan banyak orang-orang kita yang mati dan warga sipil juga,” ujar Litch dengan raut yang cemas. Naniana meliriknya dengan dingin, memperhatikan. Gadis itu tahu jika Litch memang bukan orang yang menjadi anggota kelompok mafia murni karena ia menyukainya, dia hanya memiliki utang budi dengan ibunya di masa lalu dan memutuskan untuk mengabdi menjadi penasihat pribadinya. Tak peduli akan jadi siapa ibunya Naniana di masa depan, Litch akan terus bersamanya.

Karena itulah, Naniana bisa mengerti perasaan Litch saat ini. Orang yang sebenarnya tak memiliki hasrat untuk membunuh di dalam dirinya itu pasti merasa amat bersalah karena perang besar yang tak bisa ia cegah itu nantinya akan membunuh banyak orang. Tak hanya anggota kelompoknya, melainkan warga sipil yang tak berdosa.

“Baiklah. Kau ingin aku melakukan apa? Kau tahu aku tidak bisa menahan Ibu hanya dengan kata-kataku, ‘kan?” tanya Naniana. Litch diam sesaat, mengiyakan ucapan terakhir Naniana dengan raut tak berdaya.

Tapi selanjutnya, ia berkata, “Jika kau tidak bisa mencegah Nyonya dengan kata-katamu, kau bisa melakukan sesuatu yang bahkan tak bisa ia hentikan dengan kata-katanya, Nona.”

“Dan apakah sesuatu yang kau maksud itu?” tanya Naniana. Wajahnya masih enggan membaik setelah bangun paginya tidak semulus hari kemarin.

“Aku memiliki sebuah ide, tapi aku tidak terlalu percaya kau akan melakukannya.”

“Katakan dengan jelas, Litch. Aku ingin kembali tidur!”

Litch melihat Naniana dengan tatapan penuh ragu, dari rautnya tampak dibumbui rasa takut. Mengesampingkan rasa takutnya, Litch memberanikan diri untuk berkata. “Mulailah sebuah hubungan yang baik dengan anak dari pemimpin Little Boy.”

“Hubungan baik seperti apa yang kau maksud?”

“Berpacaran.”

Apa yang Litch katakan sekonyong-konyong membuat Naniana menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan yang tajam. Litch membeku, seketika merasakan perasaan merinding menjalari lengannya sampai ke bahu.

“Kau sadar dengan apa yang kau katakan ini, Litch?” tanya Naniana tanpa menghilangkan tatapan tajamnya.

“Ma-maaf, Nona. Tapi hanya itu yang ada di pikiranku, dan aku rasa itu adalah hal terbaik untuk menghentikan perang ini.”

“Litch, mau aku mengaku akan menikahi anak itu pun, Ibu tidak akan peduli. Ibu tidak pernah peduli pada keinginanku, kau juga tahu akan hal itu.”

“Tapi Nona, kalau bukan karena rasa sayangnya sebagai seorang ibu, Nyonya tidak akan mengiyakan perang ini hanya karena ada orang-orang Little Boy yang mau membunuhmu.” Naniana terhenti tepat sebelum kakinya menyentuh lantai, tentu saja itu karena ucapan Litch. “Sekeras apa pun Nyonya, kau tetap satu-satunya yang beliau punya. Beliau pasti akan mendengarkanmu jika kau terus mengatakannya. Aku tahu itu butuh beberapa kali memohon, tapi aku hanya berpikir ini adalah satu-satunya cara. Aku memohon padamu, Nona.”

Naniana mengalihkan tatapannya dengan sinis ke arah lain. Suasana hatinya jadi lima kali lebih buruk dari sebelumnya, ia juga merasa melihat wajah Litch lebih lama akan membuatnya makin kesal dan melakukan sesuatu yang akan ia sesali nantinya. Jadi Naniana memilih untuk mengusir Litch keluar dari kamarnya. “Pergilah dan bawakan aku sarapan,” ujarnya sembari mengusir Litch dengan gerakan tangannya.

Litch hanya bisa menghela napas berat, kecewa. Tapi ia tentunya tak mau mencari masalah dengan terus memohon di sana dan membuat Naniana kesal. Akhirnya, dengan berat hati Litch memutuskan untuk meninggalkan ruangan yang Naniana tempati itu sembari mengiyakan perintah nona mudanya.

Tapi ketika membuka pintu, Litch sedikit dikejutkan dengan presensi Jay yang berdiri di depan pintu dengan membawa sarapan untuk Naniana. Pemuda itu sudah terlihat rapi dan tampan dalam balutan seragam sekolahnya. Jay pasti mulanya datang untuk membangunkan Naniana, tapi siapa sangka kalau Litch akan mendahuluinya?

“Se-selamat pagi, Tuan Muda,” ujar Litch segera setelah ia sadar siapa sosok yang berdiri di depannya. Jay seperti biasanya, pemuda dingin yang irit bicara, bahkan hanya untuk menjawab sapaan ramah yang diberikan bawahannya. Dia hanya melirik Litch sekilas sebelum memasuki kamar Naniana dan menutup rapat pintunya.

Naniana yang bangun dengan suasana hati kacau, merasa tak ingin menemui siapa pun dan tidak ingin siapa pun menemuinya. Tapi ketika melihat Jay, entah mengapa rasanya tidak masalah jika ia harus bersabar sedikit lagi. Jadi ia hanya menatap Jay tanpa mengusirnya.

Jay melangkah maju, meletakkan nampan sarapan yang berisi segelas susu dan dua lapis roti isi selai. “Aku membawa sarapanmu,” ujarnya, singkat dan jelas.

“Kau sudah bersiap akan ke sekolah?” tanya Naniana, berbasa-basi. Dia meminum susu yang Jay berikan dan terdiam. “Sejauh mana kau mendengar?” Gadis itu langsung mengganti topik pembicaraan menuju ranah yang lebih serius. Dia tentunya tahu kalau Jay sudah berdiri lama di depan pintu kamarnya.

“Semuanya,” jawab Jay langsung dan terus terang, tanpa perlu untuk berbohong.

Naniana meletakkan kembali gelas susunya. Minuman yang sudah mendingin itu, merupakan petunjuk yang jelas jika Jay sudah berdiri lama di depan pintunya sebab Naniana tidak suka susu yang dingin dan ia selalu disajikan susu hangat oleh siapa pun yang melayaninya.

Gadis itu menuju kursi mewah yang ada di kamarnya lalu duduk di sana sembari membuang napas. “Apa kau tahu sudah sejauh apa situasi sebelum perang?” tanya Naniana pada satu-satunya orang yang bersamanya, Jay.

“Sejauh ini sudah ada beberapa kali perkelahian antara Little Boy dan The Heatens di beberapa titik lokasi, dan itu sebagian besar dimulai oleh serangan dadakan orang-orang dari Little Boy,” tutur Jay.

“Apa ada perselisihan antara kedua kubu yang mengawali konflik panjang ini?”

“Itu sedang diselidiki.”

“Diselidiki?” tanya Naniana. Kening gadis itu berkerut heran. “Kalau sampai sekarang alasan perkelahian mereka masih diselidiki, alasan apa yang membuat mereka terus bertengkar selama ini?” Naniana tak habis pikir. Ditambah suasana hati yang sedang buruk, hal-hal yang ia dengar di awal harinya ini membuatnya makin merasa kesal.

“Aku tidak bisa menafsir apa-apa mengenai hal ini, tapi aku sedikit setuju dengan usul Litch.” Ucapan Jay mengalihkan tatapan Naniana seketika. Gadis itu menatap kakak laki-lakinya dengan alis yang menukik tajam.

“Jay, kau serius dengan apa yang kau katakan?”

“Kau menanyakan itu juga pada Litch dan jawaban kami pasti akan sama. Kami memikirkan kemungkinan dengan mempertimbangkan situasi yang terjadi di lapangan.”

Naniana mendesis panjang, menahan rasa kesal. Gadis itu memijat pelipisnya. “Kalian terlihat lucu. Anggota mafia yang terkenal jahat dan tidak memiliki rasa belas kasihan, memikirkan nasib dan keselamatan nyawa orang lain?” ujar Naniana, tertawa konyol.

Jay hanya menatapnya, tidak merespons dengan agresif. Dia tenang seperti biasa. “Baiklah kalau kau menolak mengasihani nyawa warga sipil, tapi kota ini adalah kota yang memberimu makanan dan fasilitas hidup mewah. Seburuk apa pun sebutan untuk para mafia, yang kita lakukan ini tetaplah sebuah pekerjaan. Jika seandainya kita kalah dan kota ini hancur, apa kau berpikir The Heatens akan mengungsi ke kota lain dan meminta sedikit wilayah untuk dikuras? Apa kau bisa membayangkan ibumu yang penuh martabat itu akan melakukan hal memalukan seperti itu?”

“Kenapa harus kota ini yang hancur? Kenapa tidak Little Boy dan selokan New Orleans saja yang hancur?” Naniana bertanya balik dengan suara keras. Gadis itu seakan berusaha sekuat tenaga untuk menolak fakta dan menyanggah pendapat Jay atas ide Litch yang disetujuinya. “Aku percaya ada cara lain untuk menghentikan perang itu! Aku akan bicara pada Ibu!”

“Ibumu tetap akan melakukannya,” ucap Jay, menghentikan langkah Naniana yang baru saja melewatinya, hendak pergi dan meninggalkan percakapan. “Ibumu akan tetap melakukannya karena ini adalah kesempatan yang bagus untuknya, bukan?” Naniana berbalik arah, menatap Jay yang juga baru membalik badannya untuk menatap Naniana. Tatapan dingin dan seolah tak ada setitik perasaan di dalamnya itu seakan memberi tahu Naniana, kalau apa yang mulutnya ucap bukanlah sebuah hal yang mudah untuk Naniana sanggah.

Itu terbukti benar.

Naniana tentunya tahu apa yang terjadi. Jauh sebelum dirinya lahir, ibunya dan wanita yang memimpin Little Boy adalah musuh. Wanita itu tidak akan membiarkan ibunya yang melakukan pengkhianatan untuk hidup dengan tenang, sementara ibunya yang berpegang pada prinsipnya juga tak akan dengan mudah mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Sampai mati, ibu Naniana akan menganggap segala hal yang dilakukannya sebagai hal yang benar.

Ya, karena mereka adalah musuh sejak jauh hari, kesempatan ini tidak akan dilewatkan ibunya dengan sia-sia. Ibu Naniana pasti akan menggunakan kesempatan kali ini untuk benar-benar membunuh wanita itu. Ucapan Jay memang benar, Naniana tidak bisa menyangkalnya.

Jay kembali buka suara. “Jika kau melakukan apa yang Litch sarankan, ibumu tidak akan memiliki alasan kuat untuk meneruskan perang ini. Dia tidak akan melakukan hal yang bisa membuatmu, kartu as satu-satunya miliknya, berpihak pada musuh jika saja ia tetap melakukan perang dan berhasil membunuh ibu dari kekasihmu.”

Naniana hanya diam, berusaha memikirkan kembali ucapan Jay. Ia ingin menolak ucapan itu, menyanggah ucapan kakak laki-lakinya dengan kepala tegak dan suara lantang. Namun, sial sekali rasanya sebab lidahnya mendadak kelu dan tak terpikirkan satu pun kata untuk menyanggahnya. Singkatnya, Naniana tahu jika apa yang Jay ucap adalah hal yang benar, dan dia dengan konyol masih berusaha untuk menyanggahnya.

Gadis itu menatap Jay lagi dengan tajam. Sifat keduanya yang tak ramah terhadap orang lain membuat tatapan itu terasa seperti mengeluarkan kilatan petir dan menyerang satu sama lain.

“Jika perang itu sampai pecah, para aparat hukum akan dengan mudah menangkap kita dan menghancurkan The Heatens,” ujar Jay, masih berusaha membujuk Naniana.

“Aku akan senang kalau mafia sialan ini hancur.”

“Aku ingin mendengarnya lebih jelas.”

“Tidak ...,” Naniana berdalih, mengalihkan tatapannya menuju ke luar jendela sembari bersilang tangan di depan dada, “aku hanya penasaran, kau terdengar sangat yakin membujukku untuk melakukan apa yang Litch sarankan. Apa kau akan baik-baik saja melihatku dengan lelaki lain?” Gadis itu bertanya, mengalihkan tatapannya menuju Jay seolah menantang—jawaban apa yang akan Jay berikan atas pertanyaannya.

Jay diam, tak terasa akan menjawab dalam waktu singkat. Itu sudah hampir membuat Naniana menyunggingkan senyum kemenangan, tapi senyum itu kembali ia tahan saat Jay memberikan jawaban dengan tenangnya. “Aku akan baik-baik saja. Memang siapa aku sampai harus tak baik-baik saja saat adik perempuanku memiliki kekasih? Toh itu juga hanya untuk pura-pura,” ujarnya, tak ada keraguan di setiap kata. Naniana menautkan alisnya, kesal sebab jawaban yang ingin ia dengar bukanlah itu. Jay tentunya tahu apa yang ia katakan, juga dengan kalimat tambahannya. “Aku mungkin baik-baik saja, tapi tidak dengan anak itu.”

Naniana ikut melihat ke arah Jay memandang. Pemuda tinggi dengan dagu yang panjang, mata elangnya semakin bertambah kesan tajamnya ketika kedua alisnya seakan saling bertaut satu. Bibir yang biasa digunakannya untuk tersenyum manis pada Naniana, kali ini hanya melengkung ke bawah. Tangannya mengepal kuat, menahan kesal yang sudah tampak jelas dari air mukanya.

“Jake ....” Jika kau berpikir Naniana akan merasa tak enak hati dan bergegas memberikan penjelasan pada Jake, maka itu salah. Naniana hanya merasa kalau akan terjadi hal yang merepotkan sebentar lagi.

“SIAPA YANG MAU MEREBUTMU!?”

Iya, hal merepotkan yang Naniana maksud adalah Jake yang merajuk seperti anak kecil pada Naniana setelah apa yang didengarnya.

“Sejak kapan kau berdiri di sana?” tanya Naniana, tak berniat menanggapi Jake dan kembali duduk meminum susunya.

Jake mendekati Naniana dengan langkah menggebu. “Hal konyol apa yang kalian rencanakan!? Kenapa harus kau yang menjadi pionnya!? Kenapa kau terima saja dijadikan pion catur oleh Litch dan Jay?”

“Ah, berhentilah berkata kasar pada saudara kembarmu, Jake. Kalian tinggal di rahim yang sama.”

“Aku tidak peduli dengannya, aku hanya peduli denganmu, Niana. Kenapa kau menuruti ucapan Litch!?”

Suara Jake benar-benar membuat Naniana merasa terganggu, tapi dia sedang tidak ingin memarahi Jake dan ingin berusaha bersikap tenang seperti Jay. Siapa tahu dia bisa melakukannya lebih baik. Maka gadis itu menjawab ucapan Jake dengan, “Aku belum mengiyakan rencana itu, Jake.”

“Lalu, apa kau akan menolaknya?” tanya Jake, bersimpuh di lantai sembari menggenggam tangan Naniana, seperti seorang ksatria yang memberi salam hormat pada tuan putrinya. Tapi tatapan matanya seperti anak anjing yang minta dielus.

Naniana meliriknya dingin dan sekilas. “Yah ... aku rasa aku akan menyetujuinya,” ujarnya sembari menggosok pelipisnya dengan satu jari. Dia berusaha untuk tidak melihat respons Jake atas ucapannya, tapi agaknya tak bisa akibat Jake yang langsung bersuara lantang.

“KENAPA!?”

“A-aku hanya berusaha untuk melindungi kota ini dari kehancuran, juga rumah kita.”

“Tapi kenapa harus kau!?”

Naniana menghela napas sembari menutup matanya, berusaha menahan kesabaran agar tak pergi meninggalkannya. Jake banyak bertanya dan itu benar-benar membuatnya terganggu. Di saat seperti ini, pemuda itu bertingkah seperti anak kecil yang perlu penjelasan untuk segala hal. Tidak seperti dia biasanya saat berhadapan dengan musuh yang tanpa banyak bertanya, akan langsung melakukan tugas dengan gesit, tepat dan tanpa ampun.

“Ayolah, Jake. Berhenti bersikap seperti anak kecil! Aku hanya berpura-pura! Kita juga akan melakukan negosiasi dengan anak Little Boy itu dan menjelaskan rencana kita,” tutur Naniana, masih berusaha menjawab dengan suara tenang kendati alisnya sudah seperti akan menempel di satu titik.

“Tapi, Niana—” Naniana tak tahan lagi, ia segera hentikan ucapan Jake sebelum makin banyak kata yang pemuda itu keluarkan dengan menyentuh lembut pipinya.

“Jake, mengertilah, aku melakukan ini hanya untuk kepentingan kelompok kita. Aku akan memikirkannya lagi. Jika aku menemukan solusi lain, aku tidak akan menyentuh laki-laki itu. Tapi jika hanya ide Litch yang bisa kita gunakan, kau harus mendukungku, demi kelompok kita!” Terus menekankan kata ‘kelompok’ dan berkata seakan ia hanya melakukan rencana konyol itu demi kelompoknya, Naniana berusaha agar Jake percaya padanya. Ayolah, dia lelah mendengar Jake terus merajuk hanya karena hubungan palsu yang belum terjadi itu.

Sepertinya, kalimat-kalimat Naniana bekerja. “Kalau kau sudah berkat seperti itu, aku akan berusaha melakukan yang terbaik,” ujar Jake dengan lebih tenang kendati kecemasan belum meninggalkan rautnya.

Naniana tersenyum lalu mengusap pipi Jake. “Anak pintar,” ucapnya. Naniana kemudian beranjak dari kursinya, lalu berjalan keluar. Sebelum membuka pintu, ia memutar tubuh, memandang Jay dan Jake secara bergantian. “Kalian masih akan pergi ke sekolah itu setelah apa yang terjadi kemarin?” tanyanya sembari bersilang tangan.

Jay dan Jake hanya menatap Naniana tanpa menjawab apa-apa. Kalau Jake, terlihat jelas dia bingung mau menjawab Naniana dengan kalimat apa. Tapi kalau Jay, entah mengapa ia hanya diam membisu sembari memandang Naniana. Hal itu membuat Naniana muak. Dia bercecah kesal lalu membuka pintu ruangannya, ia mendapat sapaan dari beberapa orangnya yang datang untuk melayaninya di tempat itu. Gadis itu terdiam beberapa saat, melihat wajah-wajah itu bergantian dan merasa kesal.

Naniana merotasi matanya dengan malas, kemudian melewati beberapa orang yang berdiri di depan kamarnya dengan angkuh. Dia tidak mau melakukan apa-apa hari ini selain bersantai dan berpikir lebih matang tentang rencana menghentikan perang. Selain dia tak ingin menyetujui ide yang Litch berikan, Naniana harap agendanya hari ini mampu melepas penat dan membuatnya menemukan solusi lain untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status