Saat berpamitan pulang pun, Mas Adam terlihat menasihati adik-adikku dengan bijaknya, kemudian mencium punggung tangan ibuku dengan takzimnya. Momen ini selalu saja membuatku terpana. Bagaimana mungkin pria yang hampir tiap ucapannya selalu meyakitiku itu bersikap sedemikan sempurnanya di depan keluargaku?🌸🌸🌸“Mas.” Aku memecah keheningan dalam mobil saat kami sedang dalam perjalanan pulang dari rumah ibu.“Hm.”“Kenapa beliin Candra motor?”Ia melirikku.“Kenapa bertanya bukannya berterima kasih.”“Bukan tak berterima kasih, Mas. Aku hanya tak mau adik-adikku terlalu bergantung padamu.”“Emangnya kenapa?”Aku menghela nafas.“Mereka akan berpikir hubungan kita baik-baik saja, Mas.”“Memangnya ada apa dengan hubungan kita. Apa aku kurang memberimu nafkah?”“Ck! Bukan begitu, Mas. Kurasa kamu tak mungkin tak menyadarinya. Komunikasi kita selalu seperti ini, tak ada keharmonisan sebagaimana suami istri pada umumnya.”“Jadi hubungan seperti apa yang kamu inginkan, Aya? Kita bukan pas
“Mas, aku bulan ini omzet butikku lumayan meningkat dari beberapa bulan terakhir. Boleh nggak aku undang karyawan butik dan beberapa pelanggan butik ke rumah kita. Sekedar makan-makan sebagai ucapan terima kasih.”Aku menghempaskan tubuhku di sofa, di samping Mas Adam yang sedang duduk di depan tv. Namun pria itu sama sekali tak menonton tv, sedari tadi kuperhatikan ia hanya berkonsentrasi ke layar ponselnya sambil sesekali tersenyum sendiri.“Kenapa harus ngundang ke rumah? Kenapa nggak rayain di butikmu aja?” jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.Aku mencari-cari alasan apa yang tepat untuk permintaanku ini. Karena sebenarnya ini hanya alasanku untuk menepati janjiku pada Bella mengundangnya ke rumah kami. Aku juga menggunakan omzet butik sebagai alasan, karena aku tak mau hanya membawa Bella seorang ke rumah ini untuk memenuhi keinginannya bertemu dengan Mas Adam. Aku tak ingin terjadi hal-hal yang tak kuinginkan dengan kedatangan Bella. Paling tidak, jika aku me
“Besok aku ditugaskan ke Banjarmasin, Ay. Tolong siapkan pakaian dan perlengkapanku selama seminggu ke depan,” ucap Mas Adam saat aku sudah tidur dan sudah hampir masuk ke dalam dunia mimpi.“Hmmm? Kenapa, Mas?” gumamku.“Kamu budek, ya! Aku besok tugas ke Banjarmasin, siapin perlengkapanku untuk satu minggu ke depan!” Suaranya meninggi, membuat rasa kantukku hilang. Aku membalikkan tubuhku menatap pria yang masih berkutat dengan laptopnya itu.“Kok baru ngomong sekarang, Mas? Baru dapat info?”“Nggak. Surat Tugasnya udah kuterima dari kemarin tapi aku lupa bilang.”Aku berdecak kesal.“Kenapa berdecak, Ay? Nggak mau nyiapin? Terus gunanya kamu jadi istri apa?”“Bukan gitu, Mas. Kenapa nggak ngomong dari tadi sih? Aku udah ngantuk gini,” jawabku, sambil menyibak selimut dan turun dari ranjang menuju ke arah lemari pakaian, lalu memilih-milih pakaian Mas Adam dan beberapa perlengkapan lainnya.Mas Adam memang sering ditugaskan ke cabang-cabang perusahaan. Hampir setiap bulan ia melakuk
Dengan menggunakan mobilku, pagi ini aku ikut Mas Adam menjemput Nindya di apartemennya untuk menuju bandara. Sepanjang jalan dari rumah menuju apartemen Nindya tadi aku sama sekali tak bersuara. Karena sebenarnya ada sisi hatiku yang menolak menjemput Nindya. Bagaimanapun aku seorang istri, perasaanku terusik ketika suamiku terlihat sangat antusias menjemput rekan wanitanya meskipun ia mengajakku. Perhatiannya pada Nindya sejujurnya melukaiku, meski aku belum menemukan alasan apapun untuk menaruh curiga pada hubungan mereka. Aku ingin protes, tapi tak ingin pria itu kembali menjawab dengan hinaan ataupun kalimat cercaan. Dia pasti akan menilaiku wanita kolot jika aku memprotes kepergiannya dengan Nindya. Karena memang mereka pergi bersama dalam rangka tugas dari kantor, dan juga tak hanya berduaan karena ada tim lain bersama mereka.“Selamat pagi, Aya! Maaf ya jadi ngerepotin kamu. Padahal aku udah bilang pada Pak Adam nggak perlu jemputin aku.” Nindya langsung meyapaku dengan ramah
Nindya sedang berada dalam pelukan Mas Adam. Rupanya tadi Mas Adam sempat menarik tangan Nindya untuk menghindarkan gadis itu dari tabrakan trolley. Seketika aku merasa dadaku sesak. Teriakan “Awas Nindya!” dari Mas Adam tadi, juga gerakan refleksnya memilih menarik tubuh Nindya cukup menyakitiku. Dia, suamiku, lebih mengutamakan menyelamatkan Nindya di saat-saat genting dibanding aku, istrinya.Aku masih terdiam dan merasakan sesaknya dadaku saat sebuah tangan terjulur di hadapanku.“Are u okay, Aya?”Mataku beralih dari Mas Adam dan Nindya yang sudah melepaskan dirinya dari dekapan suamiku, lalu menoleh mencari tahu siapa pemilik tangan yang seolah ingin membantuku berdiri itu.“Ivan!” pekikku tak percaya. “Kenapa kamu ada di sini?”“Aku ada perjalanan bisnis ke Makassar pagi ini. Dan aku tadi kebetulan melihat kalian. Baru mau menyapa eh kamu udah jatuh ketubruk trolley.” Dia melirik Mas Adam yang hanya berdiri terpaku.“Berdirilah, kurasa kakimu terkilir.”Ivan membantuku berdiri,
Dengan susah payah akhirnya aku bisa sampai juga ke parkiran mobilku dengan bantuan Ivan. Sesekali kulihat pria itu melirik arlojinya, sambil terus membantuku berjalan dengan tertatih.“Terima kasih, Van,” ucapku setelah berhasil duduk di belakang setir mobilku.Pria itu mengangguk, kembali melirik arlojinya sebentar kemudian mengambil ponselnya dari saku celananya. Ia lalu menunjukkan layar ponselnya padaku.“Pesan dari Adam,” katanya sambil menghadapkan layar ponselnya padaku.Maaf nggak sempat ngobrol, Bro. Aku buru-buru, takut ketinggalan pesawat. Terima kasih tadi udah nolongin Cahaya.Begitu isi pesan dari nomor suamiku yang kubaca di layar ponselnya. Aku mengdengkus malas, sikap Mas Adam tadi masih menyisakan rasa dongkol di hati ini.“Bisa nyetir?” tanyanya.“Bisa, Van. Terima kasih.”“Kamu lagi latihan pidato ucapan terima kasih? Dari tadi ngomongnya terima kasih melulu.” Ia tersenyum, aku ikut tersenyum.Manis sekali senyumnya!Aku menggelengkan kepalaku sendiri setelah kali
“Bisa turun sendiri? Biar aku yang nyetir.” Ia kembali menjulurkan lengannya, menawarkan bantuan.“Aku bisa sendiri, Van,” jawabku ragu-ragu, sambil mencoba keluar dari mobilku.Tapi rupanya kakiku memang tak mau kompromi, sehingga aku terpaksa kembali berpegangan pada lengannya lalu ia menuntunku memutari bagian depan mobilku kemudian membuka pintu depan sebelah kiri dan membantuku masuk. Mataku mengekori gerakan pria itu hingga ia duduk di belakang setir mobilku. Ia menyetel jok dengan memundurkannya, kemudian perlahan melajukan mobilku keluar dari parkiran bandara.“Tadi aku kirim pesan pada Mas Adam minta ia menyuruh orang mengambil mobilku ke sini tapi ponselnya sudah tidak aktif.” Aku berusaha memecah kesunyian.“Oh.”Asem! Ia hanya menjawab sesingkat itu.“Kamu cancel penerbangan karena aku?”“Iya.”Lagi, hanya sesingkat itu. Oke, ini orang mulai nyebelin.“Kenapa? Padahal harusnya kamu tak perlu melakukan itu, Van.”Ia tak menjawab, aku meliriknya kesal. Hingga tanpa kusadari
Kubuka kembali applikasi WA, pesan yang kukirim pada Mas Adam tadi sudah centang biru tapi ia belum membalas pesanku. Kembali kuintip stroy-nya.Touch down Banjarmasin. Semoga menyenangkan untuk seminggu ke depan bersama orang-orang yang menyenangkan. Tulis Mas Adam di story-nyaOrang-orang yang menyenangkan? Pasti termasuk salah salah satunya Nindya. Aku berdecak kesal. Ia bahkan belum membalas pesanku apalagi menanyakan keadaanku setelah insiden di bandara tadi. Tapi bukankah Mas Adam memang seperti itu? Ia tak pernah meneleponku jika sedang tugas keluar kota seperti saat ini. Aku bahkan tak pernah tahu kapan jadwalnya pulang, lebih tepatnya ia tak pernah memberi tahu.“Kenapa cemberut?” Suara Ivan mengagetkanku. Pria itu membawa minuman dan beberapa cemilan di nampan lalu meletakkannya di atas meja.“Sarapan dulu, Aya.”Aku hanya meliriknya.“Ini salep untuk luka memar. Kamu mau oles sendiri atau kubantu oleskan.” Ia menyodorkan plastik kecil berlogo apotik.Ah, rupanya ia berhenti