“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
“Cepetan dikit, Aya!” Suara teriakan Mas Adam terdengar dari depan.“Iya, Mas. Bentar lagi.”Buru-buru kusapukan lipstik di bibirku agar tak terlihat pucat, lalu berjalan keluar kamar sambil merapikan gaunku.“Kamu ini kebiasaan deh, kalau udah dandan lama banget. Mana hasilnya juga biasa saja.” Pria itu menyapukan pandangannya dari ujung kaki hingga kepalaku.Aku sudah biasa mendapatkan komentar kurang menyenangkan dari pria yang berstatus suamiku ini, maka aku sudah tak terlalu ambil pusing.“Aku cuma dandan 15 menit tadi, Mas. Itu masih wajar, wanita-wanita lain bahkan menghabiskan waktu lebih dari itu jika berdandan.” Aku berusaha protes, namun yang kudapatkan justru tatapan mata melotot dari pria itu.“Iya, kalau orang lain lama-lama hasilnya bagus, cantik, elegan. Lah, kamu ya gini-gini aja. Dandan nggak dandan juga sama aja, sama-sama ngebosanin liatnya!” Ia tak mau kalah. Kali ini bahkan sambil menoyor pelan keningku.Sakit? Dulunya iya. Sakit sekali mendengarnya selalu menghi
“Aya! Hey! Kamu Cahaya, kan?”Aku menengadahkan wajahku mencari asal suara yang memangil namaku barusan. Lalu dengan napas sedikit ngos-ngosan kuraih lengan Mas Adam yang kini tepat berada di sampingku.“K-kalian?” Masih suara yang tadi. Sementara aku mengeryitkan keningku menebak-nebak siapa pria yang tau namaku ini.“Kamu Aya, kan? Kalian datang bersama?” Pria yang kuduga adalah pemilik coffeshop itu bertanya sambil menatap ke arah tanganku yang masih menggandeng lengan Mas Adam.“Iya dia Cahaya, istriku. Kamu kenal?” jawab Mas Adam sambil melepas tanganku dari lengannya dengan perlahan.“Istri? Kamu nikah sama Aya, Dam? Wah aku nggak nyangka.” Pria itu menatapku tajam.Sementara aku masih memutar otakku mengingat-ingat siapa pria di hadapanku ini.“Gimana kabarmu, Cahaya? Aku Ivan. Kamu nggak ngenalin aku?”Ivan? Aku masih berpikir di mana mengenal pria ini.“Ivan? Kenal di mana, ya? Apa kita teman SMA?” tanyaku penasaran.“Apa sih yang kamu ingat, Ay? Syukur-syukur masih ingat sam
“Mas aku ke sana dulu, ya,” pamitku pada Mas Adam setelah merasa bosan duduk di hadapannya sementara pandangannya hanya terfokus pada ponselnya.“Hmm.” Ia hanya menaikkan alisnya.Aku pun bangkit dari tempatku duduk, lalu berjalan menuju ke arah yang ditunjuk Ivan tadi. Senyumku langsung merekah ketika melihat taman kecil yang ada di bagian belakang kafe. Taman bunga yang terlihat masih baru dan terawat, di sudutnya ada kolam ikan kecil lengkap dengan air terjun mini. Beberapa pengunjung juga terlihat mengagumi taman kecil yang indah ini, bahkan beberapa anak-anak terlihat memainkan ikan-ikan kecil di kolam.“Suka tamannya?” Suara bariton itu mengejutkanku.“Eh ... k-kamu!” Pemilik coffeshop itu sudah berdiri di sampingku.“Kamu benar-benar nggak ingat aku, Cahaya?”Aku menggeleng. “Maaf,” ucapku lirih.Dia terkekeh. Kemudian menatap lurus ke arah taman bunga mini.“Aku udah lama nyari kamu. Nggak nyangka kalau ketemunya justru di sini. Lebih nggak nyangka lagi ternyata kamu udah nika
Hatiku menghangat mengenang masa-masa indah sebelum akhirnya semua berubah ketika aku harus mengambil keputusan terberat pada saat itu, yaitu berhenti kuliah. Saat itu, ayahku yang seorang pegawai negeri pangkat rendah meninggal karena serangan jantung, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa yang akhirnya hanya mengandalkan gaji pensiun ayah yang tak seberapa. Sementara aku masih punya tiga orang adik yang masing-masing masih membutuhkan biaya. Hingga akhirnya aku mengalah, lalu berhenti kuliah dan memilih mencari pekerjaan demi membantu ekonomi keluarga.“Aku dulu penggemar rahasiamu, Ay.” Ivan membuyarkan lamunanku.“Itu aku yang dulu. Cahaya yang sekarang sudah jauh berbeda,” gumamku.Ivan tak menjawab, hanya tersenyum tipis sebelum kemudian berpamitan untuk kembali ke dalam kafenya saat seorang karyawannya memanggil.Aku pun meneruskan lamunanku mengenang masa-masa indahku selama setahun menjadi mahasisiwi. Hendra, sang ketua BEM yang saat itu menjadi kekasihku merasa kecewa