Keberadaan Sabrina di kantor setiap hari sangat menggangu konsentrasi Adam. Karena itulah, selama ini, Adam tak pernah sekali pun menginginkan Sabrina menjadi sekretarisnya. Apalagi, Sabrina tak sebagus Maya dalam bekerja. Adam harus bekerja keras bahkan untuk menyusun file dan mengatur semua jadwal meeting yang kadang tumpang tindih. Sesuatu yang tak perlu dia lakukan bila Maya yang menjadi sekretarisnya.
Namun, Adam bertekad untuk menjalani semua ini demi keberhasilan dalam cinta dan tahta. Bukankah untuk meraih suatu tujuan memang diperlukan kerja lebih keras?
"Astaga! Lagi-lagi ada dua meeting dalam satu waktu," gumam Adam kebingungan. Namun, kesalahan seperti ini tak bisa membuatnya memarahi Sabrina. Dia harus memperlakukan Sabrina dengan kesabaran tingkat tinggi agar wanita itu tak kabur dari pelukannya.
"Sayang, kamu bisa beresin jadwal yang dobel ini?" pinta Adam dengan halus agar Sabrina tidak tersinggung.
Sabrina yang sudah merasa bekerja dengan serius merasa ditegur. "Ada yang begitulah? Bukankah sudah aku atur deng—"
Sabrina menutup mulutnya yang membuka. Dia meminta maaf pada atasannya dan segera menelepon salah satu rekan bisnis yang menurut Adam akan bersedia mengganti jadwalnya. "Tuan Aiden saja karena beliau lebih longgar jadwalnya. Tolong, ya!" ujar Adam sambil mengingat-ingat informasi yang dia dapatkan dari Maya.
Jauh dalam lubuk hati, Adam merindukan keadaan seperti dulu. Saat Maya masih menjadi sekretarisnya dan saat dia masih pacaran dengan Sabrina. Keadaan sangat santai dan tidak menuntut. Pekerjaan juga lebih teratur.
Namun, tentu saja, ada nilai plus saat Adam bersama Sabrina di kantor. Saat jadwalnya sedikit luang, Adam bisa mengisinya dengan bermesraan dengan wanitanya. Hal ini tentu tak akan bisa dia lakukan bila Sabrina tidak menjadi sekretarisnya. Waktu yang seperti saat inilah yang Adam dambakan. Waktu istirahat yang menyenangkan di sela-sela kepenatan di kantor.
Hal baru bagi Adam tentunya yang selama ini selalu bersikap profesional. Dia tak pernah mencampurkan antara bisnis dengan kesenangannya. Dulunya, Adam mengira hanya pria tak tahu diri yang melakukan hal tersebut di kantor bersama karyawannya. Namun, Adam tahu, kondisi mereka mungkin mirip dengan kondisinya saat ini. Dipaksa menikahi wanita yang tak dicintainya, dan ingin dekat dengan cintanya sehingga mereka memilih kantor sebagai salah satu sarang cinta.
"Adam, aku ...."
"Ssst! Ini di kantor, Sayangku! Jangan berisik!" Adam mengingatkan Sabrina agar tak bersuara keras karena takut ada yang mendengar. Walaupun ruangan telah dikunci, tetapi Adam tak yakin bahwa ruang kantor kedap suara. Dia pun membungkam mulut Sabrina dengan mulutnya saat wanita itu hampir mencapai titik rasa tertinggi.
Mereka menyeru dalam mulut masing-masing. Suaranya hanya bisa terdengar oleh orang yang memang berniat menguping saja. Untunglah, kebiasaan Adam sebagai bos profesional tidak akan mengundang karyawan mana pun untuk melakukan hal itu. Dia bos dengan reputasi yang sangat baik di mata pegawainya.
Terkadang, Adam sengaja lembur agar bisa lebih lama dengan Sabrina. Seperti malam ini. Dia menambah jam kerja di kantor saat semua karyawan sudah pulang. Tentu saja, hanya ada tiga puluh menit lembur untuk pekerjaan kantor. Satu jam sisanya hanya dia lakukan di atas sofa bersama Sabrina. Membuat kekasihnya itu merasa senang dan puas. Dia merasa hampir semua waktu Adam adalah miliknya.
"Aku pulang dulu. Sudah janji ke Maya akan makan malam di rumah," ujar Adam setelah dia dan kekasihnya yang melakukan hubungan rahasia itu merasa puas.
Saat seperti inilah, cemburu tetap membakar hati Sabrina yang tak pernah puas. Dia hanya menipiskan bibir tanpa tersenyum. Apalagi, kalimat Adam selanjutnya tidak dia sukai.
"Oh, ya. Aku sangat kelelahan hari ini. Kurasa aku akan tertidur lebih dulu dari Maya. Bolehkah aku tak mengunjungi kamu malam ini?" tanya Adam lagi. Berharap Sabrina akan mengatakan hal yang positif.
Namun, reaksi diam Sabrina tak menjelaskan apa pun selain perasaan tak sukanya akan permintaan Adam hari ini. Adam tak mengerti. Mengapa Sabrina berubah menjadi sangat penuntut seperti ini? Bukankah dia sudah seharian bersamanya? Bukankah hari ini mereka sudah melakukan hal ini di kantor dua kali? Apa yang membuat Sabrina merasa tak puas?
"Baiklah. Baiklah. Aku akan ke tempatmu malam ini walaupun mungkin agak terlambat. Okay?"
Senyuman mengembang di bibir Sabrina. Tentu saja hal ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Walaupun sebenarnya, Sabrina menginginkan Adam memilihnya di atas Maya, tetapi dia harus cukup puas dengan perhatian semacam ini. Bagi Sabrina, semua akan sempurna bila Adam memutuskan untuk tidak pulang ke unit Maya dan beristirahat saja di tempatnya.
'Ya, Tuhan! Berilah aku kekuatan untuk berbagi suami dengan wanita itu,' gumam Sabrina menangis dalam hati.
***
Sampai di rumah, Adam melihat Maya tertidur di lantai menyandarkan kepala di atas meja kaca di depan sofa. Tampaknya, Maya tertidur setelah membaca majalah yang baru datang tadi pagi.
"Majalah ibu dan anak?" gumam Adam pelan seraya mengerutkan kening, mencoba membaca halaman yang dibaca Maya dengan baik. "Apakah Maya hamil?"
Hati Adam bergemuruh antara senang dan tak senang. Adam membutuhkan anak dari Maya untuk mendapatkan warisan ayahnya. Untuk itulah dia memperlakukan Maya dengan perlakuan normal sebagai istri.
Tadinya, dia berencana menunda kehamilan Maya dan menunggu ayahnya meninggal untuk mendapatkan warisan tanpa harus mendapatkan anak dari Maya. Namun, ayahnya tentu tak sebodoh itu. Bila Adam tak memiliki anak dari Maya sampai beliau meninggal, semua harta akan jatuh ke tangan Maya. Adam tak akan mendapatkan bagian sepeser pun.
Karena itulah, sejak malam pertama, Adam bertekad untuk membuat Maya hamil secepatnya. Namun, bayangan akan kelakuan Sabrina yang sekarang, membuat Adam menjadi cemas. Bisakah Sabrina menerima kehamilan Maya dengan tenang dan lapang dada?
Adam menyentuh istrinya, hendak menggendongnya ke kamar agar tidur lebih nyaman. Namun, Maya terbangun ketika Adam menyentuhnya.
"Maaf! Aku ketiduran. Kau sudah makan?" tanya Maya sambil mengusap matanya yang masih merah. "Ah, aku sepertinya harus cuci muka dulu."
Maya beranjak menuju wastafel dan mencuci tangan. Ditampungnya air dingin dengan kedua tangan untuk mencuci muka beberapa kali agar pikirannya segar kembali. Kepalanya agak pusing karena tiba-tiba terbangun dari posisi tidur yang sama sekali jauh dari kata nyaman. Dia lalu meminum beberapa teguk air mineral dari lemari pendingin.
"Kau sudah makan, Sayang?" tanya Maya pada Adam yang masih terpaku di ruang tengah mengamati majalah yang dibaca Maya.
"Belum. Aku lapar sekali," jawab Adam setengah berbohong. Yang benar, dia telah makan malam bersama Sabrina di luar. Namun, dia memang kelaparan karena telah menghabiskan tenaga untuk bermain bersama istri gelapnya. Begitulah trik Adam untuk bisa makan malam dengan kedua istrinya. "Bukankah aku sudah berjanji akan selalu makan malam di rumah walaupun lembur?"
Maya tersenyum dan menghangatkan makanan yang telah dia siapkan dari tadi di microwave. Makanan segar yang baru matang tentu lebih sedap. Namun, apa boleh buat. Dia tak ingin memprotes jam pulang Adam yang akhir-akhir ini telat dan tak menentu.
"Hmm ... ini sedap sekali, Maya! Semakin hari, kamu semakin pintar memasak!" puji Adam karena masakan yang Maya masak kebetulan sama dengan masakan yang tadi dia makan bersama Sabrina. Ajaibnya, masakan Maya lebih sedap daripada masakan di restoran. Adam sampai menambahkan beberapa porsi sup kepiting dan tumis pokcoy yang biasanya dia tak suka.
"Aku memang sedang merencanakan kehamilan. Masakan yang kubuat harus sehat dan lezat agar semangat memakannya," jawab Maya senang. Adam terlihat benar-benar menyukai masakannya. Bukan sekadar basa-basi.
"Merencanakan? Jadi, kamu belum hamil?" tanya Adam tak percaya. Dia sendiri tak tahu mengapa, gelengan Maya membuatnya sedikit kecewa. Rasanya sangat bertentangan dengan kekhawatirannya akan reaksi Sabrina jika mengetahui Maya hamil. Apa yang salah dengannya? Harus berapa kali lagi dia melakukan hingga Maya hamil?
"Maya! Makanlah yang banyak! Kita akan mencoba lagi malam ini!" ujar Adam bersemangat sambil menambahkan tumis udang dan sayuran ke piring Maya. Sementara Maya hanya bisa menelan ludah melihat aksi Adam yang tiba-tiba sangat antusias. Apa yang akan Adam lakukan padanya malam ini?
Sudah satu bulan lamanya sejak Sabrina menggantikan Maya menjadi sekretaris. Selama satu bulan tersebut, Adam bekerja sangat keras. Namun, pekerjaan banyak yang tak terselesaikan dengan baik, tak peduli bagaimanapun juga Adam telah berusaha dengan sangat gigih membanting tulang.Di depan Adam, kini sang ayah memasang wajah seram seolah akan memakan anak semata wayangnya hidup-hidup. Beliau terlihat sama sekali tak puas dengan kinerja sang anak."Apa saja yang kamu lakukan di kantor? Aku tanya ke Maya, kamu bahkan sering lembur. Mengapa aku menerima laporan kinerja yang begitu buruk darimu?" ujar Tuan Paul dengan nada tinggi. Beliau duduk di kursi kerja Adam dengan menyilangkan kaki, membiarkan putranya berdiri mematung dan menunduk karena merasa bersalah dan tak bisa memberikan pembelaan diri yang memadai."Kudengar, kamu sering sekali membatalkan janji dengan klien secara mendadak. Tiga orang investor bahkan membatalkan niat kerja samanya dengan perusahaan kita
Tak terasa, sudah sepuluh hari berlangsung misi Adam untuk mengatur kesibukannya di kantor dan di rumah. Sabrina tak terlihat marah karena Elena, sekretaris senior yang diperbantukan menghandle lebih banyak pekerjaan sekaligus memeriksa kembali pekerjaannya.Sedangkan Maya yang hanya memiliki pikiran positif kepada Adam, justru merasa prihatin dengan kondisi suaminya yang saat ini sedang tertidur pulas di sampingnya. Badan Adam akhir-akhir ini terlihat lebih kurus. Wajahnya tak terlihat segar."Apakah kamu terlalu sibuk dan tidak makan dengan baik?" bisik Maya pelan. Dia lalu mengecup kening suaminya dan memikirkan apa yang sebaiknya dia lakukan untuk membantu kesibukan Adam. "Ah, mungkin aku akan membuatkan bekal saja untuknya. Akhir-akhir ini dia berangkat terlalu pagi sebelum aku bangun dan tidak sarapan sampai di kantor!"Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Maya sengaja bangun lebih awal kali ini agar bisa menyapa Adam sekaligus membuatkannya sar
Sabrina tersenyum puas melihat Adam mendatanginya di restoran tanpa terlihat semburat kecewa di wajah. Dia tahu Adam membawa kotak makanan hari ini. Dia memang dengan sengaja meminta Adam untuk makan di luar bersamanya demi menguji Adam mengenai siapa yang dia prioritaskan saat ini.Bila Adam datang, Sabrina akan sangat senang karena dia masih diutamakan. Bila Adam memilih makan bekal yang dibuatkan Maya, tentu Sabrina akan merasa dirinya sudah tergeser oleh Maya. Sekretaris cantik itu sangat khawatir kalau-kalau Adam terpesona dengan kepribadian Maya. Karena itulah, dia tak boleh terang-terangan berlaku buruk di hadapan Adam.Sabrina menyambut Adam dengan senyuman sangat manis yang membuai hati Adam. Pria itu senang Sabrina sudah tak marah. Mereka berdua lalu memesan makanan dan membicarakan hal-hal ringan yang tidak berhubungan dengan pertengkaran mereka tadi pagi.Damai menyelimuti perasaan Adam. Kepuasan membuncah dalam hati Sabrina. Sangat berkebalikan deng
Maya sama sekali tak ingin percaya apa yang dia lihat saat ini adalah kenyataan. Tetapi semuanya begitu nyata. Suami yang selama ini sangat baik padanya, melakukan perbuatan yang tak seharusnya dia lakukan bersama wanita lain.Sesuatu yang hanya haknya, yang seharusnya hanya untuknya, kini Adam lakukan bersama wanita lain. Keduanya tampak begitu larut hingga tak mempedulikan sekitar, tak menyadari kehadiran orang lain yang menyaksikan perbuatan yang begitu menyakitkan bagi Maya."Adam ... I love–you!" seru wanita yang menguasai Adam tatkala punggungnya melengkung ke belakang."I love–you–more, Baby! Kamu satu-satunya ...." Adam membalas dengan suara berat tertahan sebelum bibirnya mengklaim bibir wanita yang sedang bersamanya. "Cuma kamu di hatiku, Sayang!"Tentu saja, kalimat terakhir Adam membuat dunia Maya hancur berkeping-keping. Ternyata, suami yang dia kira selama ini adalah pria yang ditakdirkan untuknya, ternyata mencintai wanita
Sabrina mengantar makanan ke ruangan Adam dengan perasaan yang tak menentu. Di satu sisi, dia senang karena Maya telah mengetahui apa yang selama ini tersembunyi. Di sisi lain, dia khawatir akan posisi Adam di mata ayahnya.Bagaimana bila Maya mengadu kepada mertuanya? Apakah Adam akan dihukum oleh ayahnya? Bila benar demikian, siapa yang akan Adam pilih?"Adam, kalau misalkan semua nggak berjalan seperti yang kamu mau ...." Sabrina berhenti sejenak, berusaha memilih kata-kata yang tidak merusak suasana. "Kalau misalkan kita ketahuan, kamu bakal pilih aku atau warisan ayah kamu?"Adam tertegun mendengar pertanyaan Sabrina yang bernada pesimis. Dia berhenti mengunyah burgernya sejenak dan berkata, "Aku bermain dengan bersih. Segalanya sudah kuperhitungkan dengan baik. Tak mungkin ketahuan!"Adam lalu melanjutkan makannya dengan cepat. Direguknya cola dari gelas langsung agar lebih puas minum. Dia tak ingin membuang waktu dengan pertanyaan Sabrina yang hany
Leo memukul Adam bertubi-tubi tanpa ampun. Kini dia sudah berada di atas Adam, menduduki pahanya, dan mencengkeram kerah Adam. Wajahnya yang beringas tak bisa menampakkan ekspresi lain selain kemarahan. Kemudian, sekali lagi, dia memukul Adam hingga hidung dan bibirnya mengeluarkan darah segar.Sementara itu, Sabrina hanya bisa menjerit-jerit meminta Leo menghentikan perbuatannya. "Leo! Hentikan! Atau aku akan memanggil polisi.""Panggil saja dan aku akan mengumumkan kebejatan kalian kepada dunia!" tantang Leo tak peduli. Dia kemudian melayangkan lagi pukulannya ke muka Adam.Adam yang memang tak mempunyai kemampuan bela diri yang baik seperti Adam, hanya menjadi bulan-bulanan saja. Apalagi kondisi tubuh yang kelelahan, membuat dia tak mampu memberikan perlawanan sedikit pun kepada Leo. Dia hanya mengerang tanpa tahu mengapa dia dipukuli dengan sadis."Leo! Hentikan! Adam bisa mati!" seru Sabrina tak bisa lagi menahan kecemasan. Kondisi Adam terliha
Keesokan harinya, Maya bangun sendirian, tidak mendapati ada jejak Adam pulang. Dia mendesah pelan. Sebaiknya dia fokus terhadap apa yang sedang dia hadapi saat ini.Setelah menjalani rutinitas pagi, Maya segera menelepon pengacara untuk menyiapkan dokumen perceraian. Namun, betapa terkejutnya dia saat mendapati banyak pesan masuk yang menyatakan ucapan selamat atas kehamilannya.Tentu saja Maya terkejut dengan hal ini. Tak hanya inbox, bahkan dia kebanjiran ucapan selamat di media sosial yang menyatakan kegembiraan atas kehamilannya. Siapa yang membocorkan rahasianya? Bukankah hanya Leo yang tahu? Tidak mungkin dokter yang memeriksanya melakukan hal ini, bukan?Maya menelan ludah. Dia tak akan bisa menyembunyikan kehamilannya dari siapa pun sekarang. Apakah Adam akan melepaskannya setelah mengetahui kehamilannya? Ataukah bahkan Adam akan berubah dan berjanji untuk menjadi suami yang baik setelah mengetahui ini semua?Gelisah membayangi Maya. Dia mengurun
Suasana ruang meeting sangat menegangkan. Adam menelan ludah. Kiamat sudah baginya. Kehancuran rencana yang telah dia pikir matang-matang sudah menyambut di ambang pintu.Ini semua karena dia terlalu serakah. Tak mungkin ada manusia yang bisa berdiri di atas dua kursi. Seharusnya, sejak awal dia memilih salah satu saja. Warisan atau Sabrina. Karena tak bisa menjatuhkan keputusan yang tepat, Adam mencoba memperjuangkan keduanya yang justru berujung sengsara.Sementara itu, Sabrina lebih tercengang dengan apa yang tersaji di hadapannya. Selama ini, dia mengira Leo adalah pria miskin yang tak memiliki pekerjaan tetap. Pertama bertemu, Leo bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan. Tak lama karena dirinya dipecat setelah memukul seorang customer yang melecehkan Sabrina. Sejak saat itulah mereka berkencan.Beberapa bulan kemudian, Leo mendapatkan pekerjaan sebagai seorang bartender di salah satu kelab malam elit. Cukup lama Leo bertahan di sana. Sampai akhirnya dipe