Adam memandangi kedua makhluk kecil yang ada di hadapannya dengan linangan air mata. Begitu kecil dan rapuh. Mereka membutuhkan selang-selang bantuan untuk hidup.
"Anak-anakku ...." Kata-kata yang Adam bisikkan dengan penuh perasaan, membuat Leo merasa keputusan Maya untuk menyerahkan bayi-bayinya kepada ayah kandungnya adalah pilihan yang tepat.
Darah lebih kental daripada air. Begitulah. Adam pun menyayangi kedua anaknya karena mereka adalah darah dagingnya sendiri.
"Dia begitu bahagia saat mendengar bahwa dia mengandung anak kembar. Aku pun begitu. Sampai-sampai aku mengumpat betapa beruntungnya dirimu," jelas Leo mengenang saat-saat Maya bersorak mengetahui jenis kelamin bayinya. "Seandainya saat itu dia hamil dengan pria yang tulus mencintainya, pasti akan sangat membahagiakan. Tahukah kau perasaan Maya saat melihat kau dan Sabrina bergembira saat tahu jenis kelamin bayi kalian?"
Ada
Lima tahun telah berlalu sejak kepergian Maya. Kini, si kembar telah tumbuh menjadi anak yang sehat dan lincah. "Paul, Freya! Ayo cepat turun dan habiskan sarapan kalian!" seru Adam dari bawah memanggil kedua anaknya yang terdengar ribut di atas saat berganti pakaian. "Ayah, Paul menyembunyikan bonekaku! Padahal aku ingin mengajaknya jalan-jalan saat menjemput Paman Leo di bandara!" jawab Freya dengan suara hampir menangis. Gadis kecil berambut gelap bergelombang itu semakin tampak mirip dengan ibunya seiring dengan bertambahnya usianya. "Bohong! Kamu sendiri yang lupa meletakkan di mana boneka kelinci jelekmu itu. Jangan menuduh sembarangan!" sanggah Paul dengan suara melengking. Mata gelap miniatur Adam itu memandang tajam saudarinya yang berukuran lebih mungil darinya. Dengan tubuhnya yang lebih kuat dan besar, dia memang kerap mengusili Freya. Sekalipun dia berkali-kali dihukum, mengusili kembarannya sudah bagaikan candu yang akan tetap dia lakukan tak peduli apa pun konsekuen
"Adam, dengarkan! Nikahi Maya secepatnya atau kamu akan kehilangan semua warisan!" bentak Tuan Paul kepada Adam, putra semata wayangnya.Maya adalah sekretaris Adam, sekaligus tunangan Adam sejak kecil. Dia anak dari kawan Tuan Paul yang meninggal karena kecelakaan dua bulan lalu. Maya kini hidup sebatang kara. Karena itulah, Tuan Paul ingin segera mengambil Maya sebagai menantu sebagaimana beliau janjikan kepada orang tua Maya sejak dulu."Ayah, aku tidak bisa! Ayah tahu aku sudah ... ehm ... aku belum ingin menikah, bukan!" Adam mengelak. Hampir saja dia keceplosan bahwa sebenarnya dia mencintai gadis lain, bukan Maya.Selama ini, Adam memang mengulur waktu untuk menikahi Maya dengan satu alasan. Dia menunggu ayahnya meninggal, agar dia tetap mendapatkan warisan tanpa harus menikahi Maya. Dengan demikian, Adam akan bisa menikahi kekasihnya, Sabrina.Sang ayah tentu tidak bodoh. Beliau tahu ma
Adam keluar perlahan dari kamar 509 menuju kamar 506, tempat Sabrina berada. Dia bergegas karena sangat takut akan kemarahan Sabrina. Tidak mungkin dia akan membiarkan dirinya gagal di malam pertama dalam menjalankan misi penting, bukan?Pria bercambang tipis itu mengetuk pintu dan mendapati Sabrina membuka pintu dengan cepat. Sangat cepat. Pertanda bahwa dia sudah menunggu kehadiran Adam sedari tadi."Lama sekali kamu, Adam! Ngapain aja?" bentak Sabrina dengan wajah sangat marah. Kemarahannya sungguh tak cocok dengan muka bulatnya yang manis dan dirias tipis. Rambutnya panjangnya yang tergerai bergelombang membuat penampilannya semakin terlihat anggun. Sangat anggun seandainya dia tak sedang berapi-api. "Aku dari tadi nungguin kamu! Lamaaaa banget! Ngapain aja, sih? Kamu main sama dia sampai teler, ya?""Sabrina, stop! Dia istriku. Walaupun semua ini sandiwara, aku harus memperlakukan dia seperti layaknya istri sungguhan. Kalau nggak, papa akan membatalkan semu
Tak ada pria securang Adam. Dia berbulan madu bersama dua istri secara rahasia. Dia memang sudah merencanakan hal ini dengan cukup baik sebelumnya.Adam akan menghabiskan waktu selama sepekan di hotel agar dia bisa membagi waktu untuk Maya dan Sabrina secara bersamaan tanpa harus ketahuan Maya maupun keluarganya. Sementara itu, dia menyiapkan rencana ke depan yang lebih mulus agar semua tujuannya tercapai. Harta dan cinta.Adam tahu, wanita tak bersalah yang akan dia korbankan adalah Maya. Namun, dia berencana akan memberikan alimoni yang sangat besar untuk Maya agar dia bisa hidup dengan nyaman dan bisa mencari suami baru yang dia sukai.Adam yakin Maya akan setuju karena alasan wanita yang terlihat polos itu mau dijodohkan dengannya juga pasti karena uang. Apalagi memangnya? Bukankah seharusnya setiap orang akan memilih jalannya sendiri? Bukan perjodohan seperti zaman Siti Nurbaya. Kecuali ada faktor pendukung la
Tatapan marah Adam menyerang pusat perasaan Sabrina. Cara yang ampuh untuk membuat orang yang merasa bersalah agar semakin merasa bersalah."Aku jalan-jalan sebentar tadi," jawab Sabrina dengan datar. Dia berusaha menyembunyikan perasaan bersalahnya karena telah berciuman dengan pria selain suaminya. Walaupun, dalam hal ini dia tak bersalah … ralat, mungkin dia sedikit bersalah karena menikmati dan menyambut ciuman Leo."Dengan siapa? Ke mana?" desak Adam memburu. Dia tidak suka dengan cara berkilah Sabrina yang sangat khas. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. "Tadi aku berkali-kali ke kamar kamu. Dua jam lebih aku menunggu dan kamu belum kembali juga."Sabrina berbalik dan berujar, "Bukan urusan kamu aku mau ke mana dengan siapa!" Dia terus melangkah, memasuki kamar mandi dan berkata. "Lagi pula, aku tidak tahu kamu akan datang lebih cepat. Biasanya kamu sibuk meninabobokan istrimu, 'kan?""Sabrina! Kamu juga istriku! Ada apa denganmu?" bentak
Sabrina menutup percakapan dengan Adam dengan perasaan campur aduk. Dia sudah memutuskan untuk menyetujui rencana Adam. Namun, emosi membuat dirinya tak menepati janji dan menuntut lebih. Hal ini membuat Adam bekerja keras untuk memberikan yang Sabrina minta. Dia bahkan rela mengambil risiko untuk berbohong kepada Maya dengan alasan pekerjaan agar bisa mendapatkan waktu berdua saja dengan Sabrina.Mengetahui hal ini, Sabrina merasa sedikit malu walaupun dia senang akan kesungguhan Adam. Dia pun menyunggingkan senyuman tipis di bibir dan berencana akan memaafkan Adam atas perlakuannya semalam. Tidak, Adam tidak salah. Dialah yang salah. Dialah yang hampir berselingkuh dengan Leo semalam.Tak hanya berciuman di depan kamar. Semalam, Sabrina hampir melakukan hubungan terlarang dengan Leo karena rayuan Sabrina sendiri walaupun Leo sudah menolak. Benar-benar sebuah pengkhianatan yang sempurna yang dilakukan Sabrina atas dasar ingin membalas denda
Maya memperkenalkan diri sambil menyambut hangat uluran tangan Leo, menyunggingkan senyuman manis untuk pria baik hati yang membantunya. Dalam hati, dia terheran mengapa pria pirang bernama Leo itu terperangah mendengar namanya. Apakah namanya begitu aneh?"Maya?" tanya Leo lagi meyakinkan.Maya pun mengangguk sambil tetap tersenyum dengan polos. Dia lalu menarik tangan karena Leo terlalu lama dan terlalu erat mencengkeram. Tentu tanpa sengaja, karena pikiran Leo saat ini melayang kepada hal lain.Mendengar nama Maya, mengingatkan Leo akan sosok gold digger istri Adam yang diceritakan Sabrina semalam. Sangat bertentangan dengan penampilan Maya yang kini ada di hadapannya.Untuk memastikan, Leo melihat jemari kiri Maya dan alangkah terkejutnya dia bahwa Maya mengenakan cincin nikah. "Kamu sudah menikah?""Benar. Saya baru saja menikah dan sekalian berbulan madu di sini," jawab Maya. Mata bulatnya menatap Leo dengan pancaran kebahagiaan, membuat hati
Maya berjalan menyusuri jalanan asing yang dia sendiri tak tahu jalan ini akan membawanya ke mana. Namun, karena suasananya semakin sepi dan mencurigakan, Maya memutuskan untuk kembali ke jalan semula.Memandangi sekeliling, wanita berbadan langsing itu menelan ludah. Hanya sunyi dan senyap yang mewarnai suasana di sekitarnya. Pertokoan yang tutup dan banyak coretan grafis memakai cat semprot hasil karya seniman jalanan liar membuat Maya sangat yakin bahwa tempat ini seharusnya tak dia lalui.Matahari sudah hampir tenggelam. Sebentar lagi, hari mulai gelap. Bila dia tidak segera menemukan jalan pulang, tentu liburan ini akan berubah menjadi bencana."Ya, Tuhan! Mana mungkin aku masih bisa menyebut diri sebagai sekretaris lagi?" ratap Maya mengutuk kebodohannya sendiri.Ini semua hanya karena hal sepele. Dia tidak ingat nama hotel tempatnya menginap. Karena bukan dia yang mengatur ini semua, Maya lupa mengingat semua detailnya.Masalah bertambah tat