Sabrina tersenyum puas melihat Adam mendatanginya di restoran tanpa terlihat semburat kecewa di wajah. Dia tahu Adam membawa kotak makanan hari ini. Dia memang dengan sengaja meminta Adam untuk makan di luar bersamanya demi menguji Adam mengenai siapa yang dia prioritaskan saat ini.
Bila Adam datang, Sabrina akan sangat senang karena dia masih diutamakan. Bila Adam memilih makan bekal yang dibuatkan Maya, tentu Sabrina akan merasa dirinya sudah tergeser oleh Maya. Sekretaris cantik itu sangat khawatir kalau-kalau Adam terpesona dengan kepribadian Maya. Karena itulah, dia tak boleh terang-terangan berlaku buruk di hadapan Adam.
Sabrina menyambut Adam dengan senyuman sangat manis yang membuai hati Adam. Pria itu senang Sabrina sudah tak marah. Mereka berdua lalu memesan makanan dan membicarakan hal-hal ringan yang tidak berhubungan dengan pertengkaran mereka tadi pagi.
Damai menyelimuti perasaan Adam. Kepuasan membuncah dalam hati Sabrina. Sangat berkebalikan dengan yang dialami oleh Maya saat ini.
Maya masih belum berhenti bersedih. Apakah selama ini Adam hanya berpura-pura baik saja padanya? Mengapa dia mau menerima bekal buatannya kalau tak akan dimakan?
Maya berusaha menepis pikiran buruk dengan pikiran yang positif. Sisi lain hatinya memaksa untuk berpikir bahwa Adam memang lebih menyukai makanan segar yang baru dimasak daripada makanan yang dihangatkan di microwave.
Lagi pula, bukankah bekerja itu sangat berat dan melelahkan? Pastilah Adam butuh refreshing walaupun hanya dengan makanan yang lezat dan segar.
Maya menghapus air mata. Wanita yang selalu berusaha berpikir positif tentang semua hal itu pun bertekad untuk memberikan hal yang lebih baik untuk suaminya.
"Baiklah, kalau begitu, lebih baik aku antarkan makanan yang baru matang saja ke kantor." Maya bergumam sambil membongkar lemari dan mengambil tas penjaga suhu untuk membuat suhu makanan tetap panas di perjalanan.
Senyuman mengembang di bibir ranum Maya. Dia berharap, kali ini Adam akan menyukainya. Maya pun memilah-milah resep istimewa yang hendak dia eksekusi.
***
"Pak, pihak Warren Group masih akan mempertimbangkan untuk tawaran bertemu dengan kita. Mereka akan memberi jawaban pekan ini," ujar Elena memberikan laporan kepada Adam mengenai Warren Group.
"Baguslah, kalau begitu!" Adam merasa cukup puas karena pihak yang akan diajaknya bekerja sama tak langsung menolak. Mengingat pihak Warren terkenal dengan sikapnya yang sesuka hati memperlakukan perusahaan yang kelasnya berada di bawah mereka. Terlebih lagi, memberi jawaban pekan ini sudah cukup cepat. Sama sekali tak meleset dari perkiraannya.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Elena dengan sopan.
"Tidak. Terima kasih. Silakan pulang kalau tugas kamu hari ini sudah selesai." Adam tersenyum simpul dan memberikan izin kepada Elena untuk meninggalkan ruangan setelah sekretarisnya membantu untuk mengklasifikasikan file yang akan dia pakai untuk meeting esok hari.
Beberapa saat setelah Elena dan karyawan lain pulang, Sabrina masuk ke kantor Adam dengan membawa makanan ringan dan kopi. Tentu saja Adam terkejut dengan sikap baik istri pertamanya yang tak biasa.
"Wow, terima kasih, Sayangku!" ujar Adam terpesona. Dia mengecup Sabrina kemudian memintanya untuk duduk menunggu dulu. "Tunggu sebentar lagi. Nanti kita pulang dan makan malam di tempat yang kamu suka, okay? Aku harus menyiapkan materi untuk besok." Adam sibuk kembali dengan laptopnya. Sementara Sabrina sibuk dengan sesuatu yang ada di pikirannya sendiri.
Sabrina sebenarnya tahu, dia hampir tak mempunyai pekerjaan setelah Elena membantunya mengerjakan pekerjaan kantor. Wanita itu pun mulai menyadari bahwa keberadaan dia di kantor hanya sebagai pajangan saja. Adam membiarkannya di sini agar dia tetap bisa bersama dengan suaminya seharian walaupun hanya sekadar menatap pria tampan itu bekerja.
Oleh karena itu, Sabrina harus memanfaatkan situasi dan kondisi sebaik mungkin. Dia tak boleh membuat Adam bosan dengan keberadaannya yang hampir tidak berguna. Bisa-bisa, dia akan dipecat karena karyawan lain menggunjing tentangnya yang tak punya kemampuan tapi bisa menjadi sekretaris Adam.
Perlahan, Sabrina berjalan mendekati cermin di wastafel. Dia menata kembali penampilannya saat ini agar tampak sensual dan menggiurkan bagi Adam. Wanita itu melepas tiga kancing atas kemeja, sengaja agar tampak aset indahnya yang disukai Adam. Disemprotkannya parfum stroberinya yang manis ke belakang telinga dan titik-titik lain yang biasanya Adam hirup.
Tentu saja, bau parfum khas Sabrina yang familiar di penciuman Adam membuat keinginan pria itu tumbuh. Dia menoleh ke arah Sabrina dan bertanya, "Sayang, kamu tidak berencana melakukan apa pun di sin—"
Adam tak sanggup meneruskan kata-katanya. Sabrina kini telah menoleh dan menguasai pikiran Adam dengan pandangan mata yang sayu menggelap. Hidangan makan malam terbaik untu Adam ternyata disajikan lebih awal untuk hari ini.
Sedikit kewarasan Adam memaksanya untuk tetap fokus kepada pekerjaan. Namun, keinginan yang lebih besar muncul dan membuatnya berhenti dari kegiatan apa pun selain menatap lekat penampilan memukau Sabrina.
Ketika logika sudah tak lagi mengambil kendali, Adam pun menggeser laptopnya ke sisi meja dan menggantinya dengan sosok wanita paling sempurna di matanya.
"Sentuh aku, Adam...," bisik Sabrina dengan suara yang serak dan menyihir. "Sudah lama kita tak melakukannya di ruangan ini ...."
"Dengan senang hati, Sayang!" sambut Adam dalam bisikan yang berat. Matanya kini sudah gelap oleh keinginan. Sudah sangat jelas dia akan melakukan apa pada detik-detik berikutnya.
Matahari baru saja terbenam. Hari baru saja mulai gelap. Namun, ruang kerja Adam sudah dipenuhi oleh kepekatan hasrat dua anak manusia yang lupa diri dibuai api asmara. Membuat suhu di sekitar mereka meningkat, walaupun pendingin ruangan bekerja dengan sempurna.
***
Saat waktu makan malam hampir tiba, Maya telah selesai mandi dan berias secukupnya. Bau vanilla body mist yang lembut menguar dari tubuhnya, membuat aroma udara di sekitarnya menjadi lebih manis dan segar.
"Tumis sayuran dengan daging, jeruk madu, tempura sayur, dan ebi-katsu," gumam Maya mengecek semua yang akan dia bawa ke kantor Adam untuk makan malam sang suami tercinta.
Maya kemudian menggelung sebagian rambutnya agar tampak lebih rapi dan modis agar Adam tak bosan dengan gaya rambut ekor kudanya yang terlalu sering dia tampilkan. Di balik kemeja dan rok selututnya, Maya telah mengenakan lingerie merah yang menantang. Dia memang berencana memberi kejutan untuk Adam selain makan malam buatannya. Dia tahu, Adam butuh refreshing.
Dengan percaya diri, Maya turun ke tempat parkir mobil dan melaju dengan kecepatan sedang menuju kantor Adam. Semua karyawan sudah pulang selain security yang masih berjaga di depan. Mereka menyalami Maya dengan sopan, walaupun dalam hati mereka mengagumi kecantikan wanita yang dulunya bekerja sebagai sekretaris pribadi pria nomor satu di kantor tersebut.
Maya naik ke kantor Adam dengan memasang senyuman yang tentunya dia pasang dengan sangat manis. Saat pintu lift terbuka, senyuman Maya mengembang semakin lebar.
Tak ada tanda-tanda karyawan masih bekerja. Lampu ruang sekretaris pun telah mati, begitu pula dengan komputer di meja mereka. Mungkin saja Adam bekerja lembur sendirian. Kadang, Adam memang akan lebih konsentrasi bekerja bila tak ada seorang pun di sisinya.
Namun, pintu ruangan Adam yang membuka sedikit memberikan informasi lain kepada Maya. Adam tidaklah sendiri. Ada seorang wanita bersamanya. Dari suara napas mereka yang tersengal-sengal, jelas sekali mereka sedang bekerja, walaupun pastinya itu bukan pekerjaan kantor!
Lima tahun telah berlalu sejak kepergian Maya. Kini, si kembar telah tumbuh menjadi anak yang sehat dan lincah. "Paul, Freya! Ayo cepat turun dan habiskan sarapan kalian!" seru Adam dari bawah memanggil kedua anaknya yang terdengar ribut di atas saat berganti pakaian. "Ayah, Paul menyembunyikan bonekaku! Padahal aku ingin mengajaknya jalan-jalan saat menjemput Paman Leo di bandara!" jawab Freya dengan suara hampir menangis. Gadis kecil berambut gelap bergelombang itu semakin tampak mirip dengan ibunya seiring dengan bertambahnya usianya. "Bohong! Kamu sendiri yang lupa meletakkan di mana boneka kelinci jelekmu itu. Jangan menuduh sembarangan!" sanggah Paul dengan suara melengking. Mata gelap miniatur Adam itu memandang tajam saudarinya yang berukuran lebih mungil darinya. Dengan tubuhnya yang lebih kuat dan besar, dia memang kerap mengusili Freya. Sekalipun dia berkali-kali dihukum, mengusili kembarannya sudah bagaikan candu yang akan tetap dia lakukan tak peduli apa pun konsekuen
Adam memandangi kedua makhluk kecil yang ada di hadapannya dengan linangan air mata. Begitu kecil dan rapuh. Mereka membutuhkan selang-selang bantuan untuk hidup."Anak-anakku ...." Kata-kata yang Adam bisikkan dengan penuh perasaan, membuat Leo merasa keputusan Maya untuk menyerahkan bayi-bayinya kepada ayah kandungnya adalah pilihan yang tepat.Darah lebih kental daripada air. Begitulah. Adam pun menyayangi kedua anaknya karena mereka adalah darah dagingnya sendiri."Dia begitu bahagia saat mendengar bahwa dia mengandung anak kembar. Aku pun begitu. Sampai-sampai aku mengumpat betapa beruntungnya dirimu," jelas Leo mengenang saat-saat Maya bersorak mengetahui jenis kelamin bayinya. "Seandainya saat itu dia hamil dengan pria yang tulus mencintainya, pasti akan sangat membahagiakan. Tahukah kau perasaan Maya saat melihat kau dan Sabrina bergembira saat tahu jenis kelamin bayi kalian?"Ada
Dua bayi, lelaki dan perempuan yang berpelukan di ruang NICU itu berukuran sangat kecil. Yang lelaki beratnya 656 gram, sedangkan lainnya 533 gram. Banyak selang menempel di tubuh kecil mereka demi memperjuangkan detak jantung keduanya.Kulit mereka begitu keriput. Begitu kurus seperti hanya tulang dan kulit tanpa selapis daging pun. Bila orang berkata bahwa bayi sangat lucu, pemandangan yang disaksikan mata hijau pria kekar yang mengamatinya dari kaca luar ruangan tidak demikian. Mereka berdua jauh dari kata lucu. Seperti alien. Seperti bukan manusia.Kesedihan masih belum bisa lepas dari hati Leo. Melihat mereka berdua membuat Leo teringat akan sang ibu yang telah berjuang mempertahankan nyawa mereka. Usaha telah dilakukan sebaik mungkin walau hasilnya tak sempurna, seperti yang diinginkan oleh semua pihak."Maya, mereka akan berterima kasih padamu suatu hari nanti," bisik Leo dengan suara yang bergetar hebat karena menahan air mata."Paul, Freya .... J
Dapur kecil sebuah di sebuah apartemen mungil milik lelaki menawan berbadan atletis, kini dipenuhi dengan aroma butter yang menggoda. Tak hanya aroma makanan yang membuat air liur menetes, tapi ada pemandangan lain yang tak kalah menggiurkan. Celana training pria yang sedang beraksi di dapur tersebut menggantung terlalu rendah di bagian pinggang, membuat wanita mana pun yang memandang tak akan bisa melewati harinya tanpa merasa kepanasan karena terbayang pemandangan indah itu sepanjang hari. Andai saja ada seorang wanita di sana, pasti kelima indranya akan dimanjakan dengan kenikmatan duniawi karena suara pria yang sedang memegang wajan dan tongs itu pun akan membuat hati semua kaum hawa berdesir bila sedang berbicara. Jangan tanya bagaimana sensasi yang dirasa bila suara merdu itu berbisik di telinga, sudah bisa dipastikan para bidadari dunia akan melayang walaupun tak ada sayap yang menempel di punggungnya. Namun, di saat yang sama, siapa pun yang melihat waj
Pukulan Adam yang pertama mengenai wajah Leo. Namun, yang kedua tentu berhasil ditangkis oleh lawannya."Adam! Hentikan! Mengapa kau tiba-tiba memukul Leo!" jerit Maya berusaha menghentikan amukan Adam.Adam tak peduli. Dia masih berusaha menghajar Leo. Sementara Leo yang sebenarnya dapat dengan mudah menghabisi lawannya, hanya sibuk menangkis dan menahan serangan Adam. Tak sampai hati dia memukul Adam karena ada Maya di sampingnya."Hei! Mengapa kau berbuat sembarangan seperti ini? Ingatlah kita sedang di rumah sakit!" bisik Leo pelan tapi tegas."Kau apakan Sabrina, huh? Seorang saksi mengatakan istriku jatuh setelah pria berambut pirang dengan tubuh besar membuatnya ketakutan!" balas Adam dengan geram. "Siapa lagi kalau bukan kau!"Leo pun mengernyit. Dia bingung dengan pertanyaan Adam. Dia memang sempat bersitegang dengan Sabrina. Namun, apakah semengerikan itu sampai-sampai membuat kondisi Sabrina dalam keadaan kritis?"Kamu! Kamu pasti
Sabrina berjalan menyusuri koridor perlahan karena merasakan sakit di perutnya. Dia tak menyangka bahwa kegiatan hari ini membuatnya kelelahan. Bagaimanapun juga, berjalan kaki sejauh dua kilometer dari apartemennya ke rumah sakit bukan tugas mudah untuk wanita hamil sepertinya.Dering ponsel yang lembut pun membuat Sabrina terkaget. Dia lalu mengangkat telepon yang berasal dari suaminya. Dalam hati, Sabrina sangat cemas. Dia takut Adam sudah sampai di rumah lebih dulu dan mendapati apartemen mereka kosong."Sabrina, kamu di mana?" tanya Adam dari ujung telepon dengan suara cemas."Aku ... aku keluar sebentar. Suplemen penambah darahku habis." Sabrina menjawab dengan sedikit tergagap karena dia tak meminta izin kepada Adam bahwa dia akan menemui Maya hari ini. Jika suaminya tahu, pastilah akan menentang aksi frontalnya kali ini. Bagaimanapun juga, Adam akan menganggap dirinya mengemis kepada Maya untuk memperbaiki kondis