Share

15. Cinta yang Terabaikan

Tak terasa, sudah sepuluh hari berlangsung misi Adam untuk mengatur kesibukannya di kantor dan di rumah. Sabrina tak terlihat marah karena Elena, sekretaris senior yang diperbantukan menghandle lebih banyak pekerjaan sekaligus memeriksa kembali pekerjaannya.

Sedangkan Maya yang hanya memiliki pikiran positif kepada Adam, justru merasa prihatin dengan kondisi suaminya yang saat ini sedang tertidur pulas di sampingnya. Badan Adam akhir-akhir ini terlihat lebih kurus. Wajahnya tak terlihat segar. 

"Apakah kamu terlalu sibuk dan tidak makan dengan baik?" bisik Maya pelan. Dia lalu mengecup kening suaminya dan memikirkan apa yang sebaiknya dia lakukan untuk membantu kesibukan Adam. "Ah, mungkin aku akan membuatkan bekal saja untuknya. Akhir-akhir ini dia berangkat terlalu pagi sebelum aku bangun dan tidak sarapan sampai di kantor!" 

Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Maya sengaja bangun lebih awal kali ini agar bisa menyapa Adam sekaligus membuatkannya sarapan lebih pagi. 

Tak lama, masakan sudah siap saat alarm Adam berbunyi. Pria itu terkejut mendapati Maya yang telah bangun dan menyiapkan makanan untuknya.

"Makan dulu, Sayang! Aku sudah membuatkan pancake blueberry yang kamu suka," ujar Maya dengan antusias walaupun wajahnya terlihat kurang tidur. "Aku bawakan bekal untuk makan siang juga, ya?"

Adam termangu menatap semua usaha yang dilakukan Maya untuknya. Dia tak menyangka semua ini akan Maya lakukan demi seorang suami yang mencuranginya. Pikiran murninya yang bersih dari kelicikan saat bangun tidur, mambuatnya tak sanggup dan ingin menghentikan semua sandiwara ini.

Adam mendekati Maya, menatap mata wanita yang dulu dia benci, tapi kini telah menjadi istrinya yang sah. Dia melakukan semua tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri dengan sangat baik. Air mata menggenang di pelupuk, membuat pandangan mata Adam menjadi kabur. Tangan Adam mencengkeram lembut bahu Maya, membuat Maya berhenti melakukan aktivitasnya menata bekal di kontainer makan yang baru setengahnya ditata.

"Adam, sarapan dul—"

Perasaan Adam membuncah. Dia tak sanggup menahan apa yang dibisikkan nalurinya saat ini. Mungkin, ini pertama kali dia melakukan dengan Maya dengan diiringi emosi. Bukan seperti yang sebelumnya dia lakukan, yang hanya berdasarkan keinginan primal semata yang semua lelaki bisa melakukan meski tanpa ada rasa dalam hati.

Maya bingung. Dia ingin membuat Adam lebih fit. Namun, dia tak mampu menolak keinginan Adam saat ini. Sehingga, pagi itu pun, semua tak berjalan seperti yang biasanya dijadwalkan oleh Adam.

Lebih siang dari biasanya, Adam melangkahkan kakinya masuk ke kantor. Beberapa file yang harus dipisahkan sudah berada di meja–bersama seorang wanita dengan penampilan molek yang duduk di atasnya.

"Terlambat satu jam!" ujar wanita berblazer merah itu dengan nada datar. "Kamu ngapain aja?"

Adam tak menoleh. Dia tahu Sabrina akan marah. Namun, dia tak kuasa memutar kembali waktu dan mengulangi kejadian tadi pagi agar berjalan dengan normal saja, tanpa terbawa perasaan.

"Maaf, Maya bangun lebih pagi dan memasak untukku. Aku harus bersikap baik dan berterima kasih padanya!" ujar Adam tanpa menatap mata Sabrina.

"Oh, bersikap baik dan berterima kasih dengan memberikan pelayanan istimewa?" sindir Sabrina dengan kadar cemburu tingkat tinggi membakar dadanya.

"Sabrina! Aku baru kali ini meluangkan waktu untuknya dan kau sudah marah. Bukankah kamu berjanji akan mendukung rencanaku? Ayah bisa menghukumku bulan depan bila masalah bulan lalu tak terselesaikan!" Adam mulai mengatakan isi hatinya dengan jujur kali ini. Dia tak menyangka Sabrina tak bisa bersikap lebih dewasa dan kooperatif dalam menyikapi hal remeh seperti ini.

"Adam! Kamu janji tak akan menyentuhnya bulan ini!" sanggah Sabrina tak mau kalah. Dadanya membusung menantang Adam dengan emosi tingkat tinggi.

"Dia istriku juga, Sabrina! Dan kau tahu, hampir seluruh waktuku kuhabiskan bersama kamu. Bukan dia!" bentak Adam berapi-api. Matanya melotot seolah hampir lepas. 

Plak!

Sabrina menampar Adam lalu keluar dari ruangan dengan langkah cepat dan membanting pintu kayu jati keras-keras. Tampak sekali bahwa kali ini Sabrina sangat tersinggung. Dia tak suka Adam membela posisi Maya.

Ponsel Adam berdering. Ayahnya meminta laporan perkembangan perusahaan dalam sepuluh hari terakhir. Adam tahu, saat ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan Sabrina maupun Maya. Pria itu segera fokus ke pekerjaan dan memanggil Elena ke ruangannya untuk membantu menyiapkan berkas yang dia butuhkan dengan cepat.

"Tuan Albert dan Tuan Liam bisa bertemu pekan depan, tapi Tuan Naz menolak karena tidak bisa percaya lagi ke kinerja kita," jawab Elena melaporkan hasil lobi ke tiga orang calon investor yang membatalkan rencana kerja sama bulan lalu.

Adam mengembuskan napas panjang. Dia tak punya pilihan lain. Harus mencari calon investor baru yang setara dengan Al-Fayed Group. Dia mulai memilah daftar kemungkinan calon investor yang bisa dia hubungi. 

Potensi terbesar saat ini adalah pesaing terbesar Al-Fayed. Warren Group! 

Dia akan mencoba menghubungi pihak Warren Group yang kabarnya sedang tertarik untuk menanamkan modal di bidang perhotelan juga. Lagi pula, desas-desus mengabarkan bahwa anak bungsu William Warren sedang berkeliaran di sekitar sini. 

Beberapa kali paparazi memergoki anak muda itu sedang berpesta. Walaupun pihak Warren menyangkalnya, tapi Adam yakin bahwa kebenaran berada di pihak media. Siapa tahu dengan keberadaan putranya di kota ini, William Warren akan bersedia melakukan perjalanan bisnis dalam waktu dekat. Tak menunggu lama, Adam meminta Elena untuk menghubungi pihak William Warren untuk memberikan kesempatan setidaknya satu kali meeting di bulan ini. 

Setelahnya, Adam segera mengirimkan laporan kepada sang ayah agar beliau memeriksa langsung kinerja sepuluh harinya dengan cermat. Tak disangka, Tuan Paul cukup puas dengan hasilnya. Bahkan sangat berharap dapat bekerja sama dengan pihak Warren. Adam tak tahu bahwa ayahnya kurang menyukai pimpinan tertinggi Al-Fayed saat ini karena urusan pribadi di masa muda mereka. Dengan peralihan rencana dari Al-Fayed ke Warren, setidaknya, Adam telah memberikan satu hal positif yang memuaskan ayahnya hari ini. Sinyal baik. Dia bisa beristirahat dari tekanan sang ayah walaupun sejenak.

Waktu menunjukkan pukul dua siang. Adam belum makan siang. Dia teringat akan bekal yang disiapkan Maya. Karena sangat lapar, dia pun meminta Elena untuk menghangatkan makanan di microwave dan menyiapkan kopi untuknya.

Saat itulah, ponselnya bergetar oleh pesan dari Sabrina, wanita yang sempat dia lupakan sejenak karena beberapa jam lalu dia sangat sibuk. Adam lupa bahwa tadi pagi dia membuat Sabrina marah.

Segera dibukanya pesan Sabrina yang menyampaikan permintaan maaf cukup panjang. Hal ini membuat perasaan Adam menghangat dan merasa tersentuh.

[Sabrina: Maafkan kelakuanku tadi pagi. Aku hanya sangat cemburu. Aku sadar bahwa ini semua karena aku terlalu mencintaimu.]

[Sabrina: Aku akan mentraktirmu makan siang di Restoran Bulgogi sebagai permintaan maaf. Kutunggu kedatanganmu!]

Adam kebingungan. Dia tak berencana makan siang di luar karena Maya telah membuat bekal untuknya. Namun, karena Sabrina sudah berkelakuan baik dan meminta maaf, tentu saja Adam memilih untuk mendatangi kekasihnya.

Tepat saat Adam hendak keluar, Elena masuk membawa kotak bekal yang sudah dihangatkan beserta secangkir kopi. Tentu saja dia kebingungan karena atasannya tampak akan pergi. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah dia terlalu lama menyiapkan makanan?

"Elena! Kamu makan saja itu! Saya makan di luar saja!" ujar Adam sambil meraih jasnya.

Adam berlalu meninggalkan Elena yang termangu menatap atasannya yang berubah pikiran dengan cepat. Lain kali, dia bertekad akan menyiapkan makanan lebih cepat lagi.

Wanita paruh baya yang berpenampilan rapi itu hendak duduk tatkala telepon di meja sekretaris berdering. Saat dia mengangkat, ternyata itu adalah telepon dari Maya yang menanyakan apakah suaminya sudah makan siang.

"Pak Adam sedang makan siang di luar, Bu!" jawab Elena datar dan jujur tanpa berpikiran macam-macam.

Maya tak menyahut begitu lama. Tentu saja karena makanan bekal yang dia buatkan pagi-pagi tadi dengan mengorbankan waktu tidur ternyata tidak disantap oleh sang suami.

"Bu, Bu Maya ... Bu Maya ...." Elena memanggil istri atasannya agar menyahut. Namun, tak ada jawaban sama sekali.

Elena tak tahu, bahwa di seberang sana, Maya sedang menangis tanpa suara. Hatinya teriris oleh pisau kekecewaan yang tak dia sangka akan begitu tajam. Sakit ... sakit sekali ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status