Share

ALERGI DUDA

Author: Rosemala
last update Last Updated: 2023-11-15 07:23:36

6

Sekarang, hanya kami berdua di sini, di ruang tamu ini. Aku dan Om Pandu. Entah kenapa Ayah, Ibu, dan Prisa pergi ke ruang makan tanpa mengajak kami.

Sebenarnya, tadi aku berniat menyusul mereka, tetapi dengan galak Ibu menghardikku, menyuruh tetap tinggal menemani Om Pandu di sini. Ibu galak sekali seolah-olah aku ini anak tiri.

Dari sini terdengar mereka makan sambil bercengkerama dengan hangat. Seolah-olah sengaja memanasiku. Aku sebal sama Ayah dan Ibu. Mereka jahat sekali. Tega. Anak mereka itu aku atau Prisa?

Aku melipat tangan di dada dengan kesal. Aku tahu dari tadi Om Pandu memperhatikan, tetapi mencoba tidak peduli. Jarak duduk kami lumayan jauh. Aku tetap memasang tampang judes.

Dari ekor mata aku bisa melihat Om Pandu berdiri, lalu berjalan mendekat, sepertinya ia mau menghampiriku. Cepat aku menahannya dengan mengangkat tangan.

"Stop, Om! Berhenti di situ. Jangan dekat-dekat!" hardikku galak.

Om Pandu berhenti.

"Kenapa?" tanyanya dengan mengangkat sebelah alis.

"Aku alergi," jawabku ketus.

"Alergi apa?"

"Alergi duda." Aku menjawab asal.

Dia terbahak. Lalu, duduk lagi tanpa meneruskan langkah.

"Tenang, nanti Om terapi. Dijamin pasti sembuh, dan yakin kamu bakal kecanduan sama obatnya," ucapnya dengan senyum menggoda.

Idih! Apa, sih? Aku semakin kesal. Apalagi mendengar suara tawa Prisa dari ruang makan yang begitu bahagia. Bertambahlah rasa dongkolku.

"Jadi, kamu mau kapan dihalalinnya? Kamu mau mas kawin apa? Mau di mana tempatnya? Mau konsep pernikahan seperti apa?" berondong Om Pandu yang membuatku membulatkan mata. Sumpah aku salut, percaya dirinya terlalu tinggi.

"Om, pede banget, sih! Aku, kan, belum bilang mau.” Aku berujar sinis.

"Tidak apa bibir belum bilang mau, yang penting hati udah OK," timpalnya ringan.

Aku berdecak sebal. Tiba-tiba terlintas ide yang menurutku brilian untuk membuat Om Pandu ilfeel.

"Om, yakin mau nikahin aku? Nanti menyesal, lho. Om, kan, belum kenal siapa aku?" Aku memancing. Kutatap wajah yang sejujurnya sangat tampan dan terlihat sangat muda untuk ukuran pria seusianya.

Dia mengangguk dengan pasti. Tanpa keraguan sedikit pun. Ok, lihat reaksinya! Apa dia masih seyakin itu kalau aku sudah cerita sesuatu.

"Kamu teman baik Prisa, dan dia juga sudah sangat dekat dengan orang tuamu. Itu cukup alasan bagi Om mengenal bagaimana kamu. Lagipula, Om sudah jatuh hati sejak kamu menodai Om di rumah tempo hari," jawabnya sambil tersenyum. Senyum yang … ah, bisa-bisa aku kena diabet bila terus disuguhi pemandangan seperti ini. Terlalu manis.

Aku menggeleng dengan kuat. Tidak boleh lemah, tidak boleh terhipnotis.

"Om tahu tidak, aku kalau bobok mengoroknya keras, lho. Terus ileran sampai sini, Om." Aku menunjuk pipi bawah sampai dagu.

"Ada lagi, aku kalau tidur enggak bisa diam, jabrah. Seumpama aku tidur di lapangan bola, niscaya bisa keubek semua itu lapangan dari ujung Persija sampai ujung Persib tidak ada yang kelewat, Om," lanjutku lagi dengan suara yang dibuat sedramatis mungkin. Biar apa coba? Ya, biar Om Pandu ilfeel seilfeel-ilfeelnya.

"Terus apa lagi, Al?" tukas Om Pandu mengulum senyum, dan yang membuatku heran, dia tidak ilfeel sama sekali. Biasa saja.

"Apa kentutmu keras? Ketekmu bau? Jempolmu cantengan? Rambutmu kutuan? Atau semuanya?" tanyanya santai. Sumpah, membuatku ternganga tak percaya.

Ya Tuhan, dia makhluk apa, sih? Kok, tidak ada jijik-jijiknya menyebut semua itu? Dasar makhluk tampan meresahkan. Ups!

"Om, Om ini makhluk apa sebenarnya?" tanyaku asal. Sumpah aku heran, kenapa dia tidak ilfeel sama sekali, bahkan setelah aku menakut-nakutinya dengan semua yang kebanyakan orang akan menutupi dari calon pasangan karena dianggap aib.

"Apa?" Om Pandu mengernyit kemudian terbahak.

"Kamu lucu sekali, Al. Sumpah Om gemas banget, semakin tidak sabar pingin halalin kamu," lanjutnya menatapku gemas.

Oh My God ....

Aku menggaruk kepala walaupun tak gatal. Entah harus bagaimana lagi meyakinkan dia agar tak jadi melamarku. Sepertinya aku mulai putus asa.

"Neng, ajak Pak Pandu makan sana, kasihan pasti sudah lapar." Tiba-tiba Ayah sudah berdiri di belakangku.

"Om, makan sendiri saja, gih! Aku belum lapar." Aku berkata dengan ringan sembari menunjuk arah ruang makan.

"Alvina!" seru Ayah tiba-tiba dengan suara keras, dan itu sukses menciutkan nyaliku. Aku menunduk, tak berani melihat wajah Ayah.

Ayah itu pria berhati lembut. Jarang bicara dengan suara keras, baik kepadaku atau Ibu. Jadi, kalau itu sudah dilakukannya, berarti beliau sedang marah.

"Ayo makan, Om!" ajakku kepada Om Pandu dengan suara pelan. Kemudian mendahului berjalan menuju ruang makan, Om Pandu mengekor.

Masih ada ibu dan Prisa di sana yang sedang mencuci piring sambil mengobrol hangat. Prisa menyebalkan sekali, dari tadi terus bergelayut manja dengan ibu. Aku mendengkus sebal. Cemburu? Iri? Jelas. Beliau ibuku. Kenapa jadi Prisa yang seperti anak Ibu?

"Nanti, kita gantian bikin Prisa iri, ya. Kita balas dendam lebih menyakitkan dari ini," bisik Om Pandu tiba-tiba di dekat telingaku.

Ih, apa, sih, dia? Bikin aku tambah dongkol saja.

"Cie ... calon manten, mesra banget, sih," ledak Prisa saat menyadari kami sudah berada di sana. Aku mendelik, tetapi gadis itu malah tergelak sambil menggandeng tangan ibu meninggalkan kami.

"Al, Om cuci tangan di mana, nih?" tanya Om Pandu. Pasti pura-pura. Bukankah dia melihat sendiri Prisa dan ibu di sana mencuci piring?

"Sana, Om!” jawabku singkat sambil menarik salah satu kursi, lalu duduk di sana.

"Om, duduk di mana, Al?" tanya Om Pandu lagi setelah mencuci tangan.

"Di mana sajalah, Om, terserah. Kursi kan, banyak, masa harus aku pangku?" Aku mulai kesal.

Om Pandu menarik satu kursi tepat di sebelahku dan sengaja didekatkan pula. Aku mendelik.

"Jangan modus, deh. Aku, kan, udah bilang alergi dekat-dekat duda!" dampratku semakin kesal.

Om Pandu menggeserkan lagi kursinya agak menjauh. Anehnya walaupun aku terus bersikap galak dan ketus, tak terlihat sedikit pun raut kesal atau marah di wajahnya. Malah aku yang semakin emosi melihat ketenangannya.

"Piringnya mana, Al?" tanyanya seperti sengaja. Padahal tumpukan piring jelas ada di depan matanya.

"Itu, kan, piring, Om!" tunjukku dengan kasar di depan wajahnya. Dia hanya mengangguk tipis.

"Sendoknya?"

Aku semakin kesal. Darahku semakin panas. Dengan kasar kuambilkan sendok lalu menaruh di atas piringnya dengan gerakan kasar juga.

"Nasinya, Al?”

Apa?

Darahku semakin mendidih, sepertinya tanduk juga sudah tumbuh di kepala. Apalagi setelah itu ....

"Lauknya belum."

"Sayurnya mana?"

"Tolong ambilkan tisu, Al!"

"Minumnya mana?"

"Al, suap-suapan yuk!"

Aaarghhh ....

Kawinin saja aku, Om! Eh, salah. Matiin aja aku, Om!

Dasar, duda meresahkan!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Bhahahahahah dasar duda meresahkan seneng bgt ngerjain Alvina
goodnovel comment avatar
Nathalie Simatupang
Aaahh..om Pandu, bner2 meresahkan...jd gemes pengen cubit ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   193. TUDUHAN

    Ruangan itu terasa sesak. Mesin pemantau detak jantung masih berdetak tenang, tapi jantung di dada mereka tak demikian. Alvina menggenggam tangan Sadewa erat, matanya basah menahan gejolak. Pandu berdiri kaku di sisi lain, sementara Prisa dan Nino saling berpandangan di dekat pintu, seolah menimbang waktu yang tepat untuk pergi—atau menyampaikan kenyataan paling pahit itu.“Inggit mana?” Suara Sadewa kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih kuat, tapi justru membuat ruangan makin sunyi.Alvina mengusap kening Sadewa dengan gemetar. “Sayang… tenang dulu, ya. Kamu baru sadar, masih butuh istirahat. Kamu minum dulu, ya. Atau mau Bunda suapi makan sekalian? Kamu pasti lapar, ya, Nak?” Sambil berdiri, Alvina membujuk.“Tapi Inggit di mana, Bun?!” Sadewa terus mendesak, tak menghiraukan tangan sang ibu yang mengasongkan botol minum. “Tadi aku... kami... kecelakaan, kan? Aku ingat! Mobil... truk... suara keras... terus gelap! Tapi Inggit ada di sebelahku! Di mana dia sekarang? Kenapa d

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   192. KECELAKAAN

    Jalanan itu ramai. Terlalu ramai bagi Pandu dan Alvina yang baru saja turun dari mobil dalam keadaan panik. Suara sirene, bisik-bisik warga, lampu rotator polisi dan ambulans yang berkedip-kedip, semuanya menambah sesak di dada mereka. Alvina masih mengenakan kebaya pastel dengan sepatu hak rendah yang kini terasa seperti jerat. Napasnya memburu, matanya liar mencari.“Permisi! Maaf ... anak saya ... Sadewa!” Pandu mendorong pelan barisan warga yang berkerumun di balik garis polisi.“Bapak tidak bisa masuk. Ini area evakuasi—” seorang polisi menahan mereka.“Saya ayah korban! Anak saya dan istrinya … mereka …! Saya mohon ... izinkan saya masuk!” Suara Pandu serak, tapi penuh desakan.Polisi itu sempat ragu, namun melihat raut wajah Alvina yang hampir pingsan, dia akhirnya memberi isyarat ke rekannya. “Oke, tapi jangan halangi proses evakuasi. Hati-hati, Bu.”Mereka melewati garis polisi. Aroma besi, asap, dan darah memenuhi udara. Mobil sedan biru yang membawa Sadewa dan Inggit ringse

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   191. PESTA TAMAN

    Langit sore itu menghamparkan warna jingga yang membara. Matahari mulai turun perlahan, seolah memberikan restu kepada sepasang kekasih yang berdiri di altar sederhana berlatarkan taman penuh bunga. Musik lembut mengalun mengiringi momen sakral itu.Ya, ini pesta resepsi pernikahan Nakula dan Dinda. Akhirnya, setelah perjalanan berliku dan penuh intrik, mereka bisa melenggang ke pelaminan. Pernikahan sengaja dipercepat oleh Pandu untuk menghindari banyak godaan yang mungkin berpeluang menimbulkan kesalahpahaman lagi.Toh, Nakula sudah memiliki penghasilan meski masih kuliah. Walaupun mungkin belum sebesar penghasilan Dinda sebagai seorang manajer resto, tetapi itu sama sekali bukan hal besar. Dinda bisa menerima.Nakula terlihat gagah dengan setelan jas putih tulang, rambutnya disisir rapi, senyumnya tak pernah lepas dari bibir sejak pagi. Di sisinya, Dinda berdiri anggun dalam balutan kebaya modern berwarna champagne. Tatapan mereka saling menyatu, seolah dunia hanya milik mereka ber

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   SALING MELENGKAPI

    190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   KERAGUAN & KESERIUSAN

    189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   SEMUA SAMA

    188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status