Share

ALERGI DUDA

6

Sekarang, hanya kami berdua di sini, di ruang tamu ini. Aku dan Om Pandu. Entah kenapa Ayah, Ibu, dan Prisa pergi ke ruang makan tanpa mengajak kami.

Sebenarnya, tadi aku berniat menyusul mereka, tetapi dengan galak Ibu menghardikku, menyuruh tetap tinggal menemani Om Pandu di sini. Ibu galak sekali seolah-olah aku ini anak tiri.

Dari sini terdengar mereka makan sambil bercengkerama dengan hangat. Seolah-olah sengaja memanasiku. Aku sebal sama Ayah dan Ibu. Mereka jahat sekali. Tega. Anak mereka itu aku atau Prisa?

Aku melipat tangan di dada dengan kesal. Aku tahu dari tadi Om Pandu memperhatikan, tetapi mencoba tidak peduli. Jarak duduk kami lumayan jauh. Aku tetap memasang tampang judes.

Dari ekor mata aku bisa melihat Om Pandu berdiri, lalu berjalan mendekat, sepertinya ia mau menghampiriku. Cepat aku menahannya dengan mengangkat tangan.

"Stop, Om! Berhenti di situ. Jangan dekat-dekat!" hardikku galak.

Om Pandu berhenti.

"Kenapa?" tanyanya dengan mengangkat sebelah alis.

"Aku alergi," jawabku ketus.

"Alergi apa?"

"Alergi duda." Aku menjawab asal.

Dia terbahak. Lalu, duduk lagi tanpa meneruskan langkah.

"Tenang, nanti Om terapi. Dijamin pasti sembuh, dan yakin kamu bakal kecanduan sama obatnya," ucapnya dengan senyum menggoda.

Idih! Apa, sih? Aku semakin kesal. Apalagi mendengar suara tawa Prisa dari ruang makan yang begitu bahagia. Bertambahlah rasa dongkolku.

"Jadi, kamu mau kapan dihalalinnya? Kamu mau mas kawin apa? Mau di mana tempatnya? Mau konsep pernikahan seperti apa?" berondong Om Pandu yang membuatku membulatkan mata. Sumpah aku salut, percaya dirinya terlalu tinggi.

"Om, pede banget, sih! Aku, kan, belum bilang mau.” Aku berujar sinis.

"Tidak apa bibir belum bilang mau, yang penting hati udah OK," timpalnya ringan.

Aku berdecak sebal. Tiba-tiba terlintas ide yang menurutku brilian untuk membuat Om Pandu ilfeel.

"Om, yakin mau nikahin aku? Nanti menyesal, lho. Om, kan, belum kenal siapa aku?" Aku memancing. Kutatap wajah yang sejujurnya sangat tampan dan terlihat sangat muda untuk ukuran pria seusianya.

Dia mengangguk dengan pasti. Tanpa keraguan sedikit pun. Ok, lihat reaksinya! Apa dia masih seyakin itu kalau aku sudah cerita sesuatu.

"Kamu teman baik Prisa, dan dia juga sudah sangat dekat dengan orang tuamu. Itu cukup alasan bagi Om mengenal bagaimana kamu. Lagipula, Om sudah jatuh hati sejak kamu menodai Om di rumah tempo hari," jawabnya sambil tersenyum. Senyum yang … ah, bisa-bisa aku kena diabet bila terus disuguhi pemandangan seperti ini. Terlalu manis.

Aku menggeleng dengan kuat. Tidak boleh lemah, tidak boleh terhipnotis.

"Om tahu tidak, aku kalau bobok mengoroknya keras, lho. Terus ileran sampai sini, Om." Aku menunjuk pipi bawah sampai dagu.

"Ada lagi, aku kalau tidur enggak bisa diam, jabrah. Seumpama aku tidur di lapangan bola, niscaya bisa keubek semua itu lapangan dari ujung Persija sampai ujung Persib tidak ada yang kelewat, Om," lanjutku lagi dengan suara yang dibuat sedramatis mungkin. Biar apa coba? Ya, biar Om Pandu ilfeel seilfeel-ilfeelnya.

"Terus apa lagi, Al?" tukas Om Pandu mengulum senyum, dan yang membuatku heran, dia tidak ilfeel sama sekali. Biasa saja.

"Apa kentutmu keras? Ketekmu bau? Jempolmu cantengan? Rambutmu kutuan? Atau semuanya?" tanyanya santai. Sumpah, membuatku ternganga tak percaya.

Ya Tuhan, dia makhluk apa, sih? Kok, tidak ada jijik-jijiknya menyebut semua itu? Dasar makhluk tampan meresahkan. Ups!

"Om, Om ini makhluk apa sebenarnya?" tanyaku asal. Sumpah aku heran, kenapa dia tidak ilfeel sama sekali, bahkan setelah aku menakut-nakutinya dengan semua yang kebanyakan orang akan menutupi dari calon pasangan karena dianggap aib.

"Apa?" Om Pandu mengernyit kemudian terbahak.

"Kamu lucu sekali, Al. Sumpah Om gemas banget, semakin tidak sabar pingin halalin kamu," lanjutnya menatapku gemas.

Oh My God ....

Aku menggaruk kepala walaupun tak gatal. Entah harus bagaimana lagi meyakinkan dia agar tak jadi melamarku. Sepertinya aku mulai putus asa.

"Neng, ajak Pak Pandu makan sana, kasihan pasti sudah lapar." Tiba-tiba Ayah sudah berdiri di belakangku.

"Om, makan sendiri saja, gih! Aku belum lapar." Aku berkata dengan ringan sembari menunjuk arah ruang makan.

"Alvina!" seru Ayah tiba-tiba dengan suara keras, dan itu sukses menciutkan nyaliku. Aku menunduk, tak berani melihat wajah Ayah.

Ayah itu pria berhati lembut. Jarang bicara dengan suara keras, baik kepadaku atau Ibu. Jadi, kalau itu sudah dilakukannya, berarti beliau sedang marah.

"Ayo makan, Om!" ajakku kepada Om Pandu dengan suara pelan. Kemudian mendahului berjalan menuju ruang makan, Om Pandu mengekor.

Masih ada ibu dan Prisa di sana yang sedang mencuci piring sambil mengobrol hangat. Prisa menyebalkan sekali, dari tadi terus bergelayut manja dengan ibu. Aku mendengkus sebal. Cemburu? Iri? Jelas. Beliau ibuku. Kenapa jadi Prisa yang seperti anak Ibu?

"Nanti, kita gantian bikin Prisa iri, ya. Kita balas dendam lebih menyakitkan dari ini," bisik Om Pandu tiba-tiba di dekat telingaku.

Ih, apa, sih, dia? Bikin aku tambah dongkol saja.

"Cie ... calon manten, mesra banget, sih," ledak Prisa saat menyadari kami sudah berada di sana. Aku mendelik, tetapi gadis itu malah tergelak sambil menggandeng tangan ibu meninggalkan kami.

"Al, Om cuci tangan di mana, nih?" tanya Om Pandu. Pasti pura-pura. Bukankah dia melihat sendiri Prisa dan ibu di sana mencuci piring?

"Sana, Om!” jawabku singkat sambil menarik salah satu kursi, lalu duduk di sana.

"Om, duduk di mana, Al?" tanya Om Pandu lagi setelah mencuci tangan.

"Di mana sajalah, Om, terserah. Kursi kan, banyak, masa harus aku pangku?" Aku mulai kesal.

Om Pandu menarik satu kursi tepat di sebelahku dan sengaja didekatkan pula. Aku mendelik.

"Jangan modus, deh. Aku, kan, udah bilang alergi dekat-dekat duda!" dampratku semakin kesal.

Om Pandu menggeserkan lagi kursinya agak menjauh. Anehnya walaupun aku terus bersikap galak dan ketus, tak terlihat sedikit pun raut kesal atau marah di wajahnya. Malah aku yang semakin emosi melihat ketenangannya.

"Piringnya mana, Al?" tanyanya seperti sengaja. Padahal tumpukan piring jelas ada di depan matanya.

"Itu, kan, piring, Om!" tunjukku dengan kasar di depan wajahnya. Dia hanya mengangguk tipis.

"Sendoknya?"

Aku semakin kesal. Darahku semakin panas. Dengan kasar kuambilkan sendok lalu menaruh di atas piringnya dengan gerakan kasar juga.

"Nasinya, Al?”

Apa?

Darahku semakin mendidih, sepertinya tanduk juga sudah tumbuh di kepala. Apalagi setelah itu ....

"Lauknya belum."

"Sayurnya mana?"

"Tolong ambilkan tisu, Al!"

"Minumnya mana?"

"Al, suap-suapan yuk!"

Aaarghhh ....

Kawinin saja aku, Om! Eh, salah. Matiin aja aku, Om!

Dasar, duda meresahkan!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Bhahahahahah dasar duda meresahkan seneng bgt ngerjain Alvina
goodnovel comment avatar
Nathalie Simatupang
Aaahh..om Pandu, bner2 meresahkan...jd gemes pengen cubit ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status