Share

MELABRAK

Author: Rosemala
last update Last Updated: 2023-11-17 12:05:01

7

Aku melotot memandangi layar ponsel pagi ini. Terlihat chat di aplikasi hijau masuk dari nomor Dimas. Akhirnya, setelah beberapa hari menunggu, ia menghubungiku juga. Niat hati ingin langsung menghubunginya. Namun, urung saat kubaca isi pesannya.

[Al, mulai sekarang kita putus. Tidak perlu mencariku lagi!]

[Jangan tanya kenapa dan jangan salahkan aku! Kalau mau menyalahkan, salahkan laki-laki tua yang bersama Prisa kemarin.]

[Dia menghajarku, Al. Dia menyuruhku menjauhimu.]

[Kita putus, mulai sekarang tidak ada hubungan apa-apa di antara kita.]

Dimas? Mengirim pesan ini? Setelah beberapa hari aku menunggunya untuk sekadar mengaktifkan nomor? Lalu, begitu aktif dia langsung bilang putus? 

Aku menatap nanar layar ponsel. Apakah hubungan yang terjalin setahun ini tidak ada artinya sama sekali baginya? Sehingga ia memutuskan hubungan sepihak tanpa bicara dulu denganku? Apakah aku tidak berharga di matanya? Hingga ia dengan mudahnya bilang putus, bahkan hanya lewat pesan WA?

Apa salahku?

Aku mengusap kasar air mata yang tak bisa dicegah meleleh begitu saja. Sakit? Tentu saja. Ia yang kuharapkan datang memintaku pada Ayah, tetapi nyatanya ....

Tunggu! Dia bilang salahkan laki-laki tua yang bersama Prisa? Apakah itu Om Pandu? Apa hubungannya dengan Om Pandu?

Ok, aku harus mencari tahu. Apa hubungan Om Pandu dengan pemutusan hubungan Dimas ini. Awas saja kalau ini gara-gara dia. Aku juga akan memutuskan pertunangan ini. Pertunangan yang akhirnya kuterima dengan terpaksa. Karena tekanan Ayah, Ibu, juga Prisa.

Enak saja main hajar-hajar cowok orang. Memang dia siapa? Belum apa-apa sudah sok merasa memilikiku. Ini tidak bisa dibiarkan!

Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyambangi rumahnya. Padahal ini masih pagi. Ibu bahkan terbengong-bengong saat melihatku naik ojek yang sudah kupesan sebelumnya.

Di sini aku sekarang. Di depan pintu rumahnya, menekan bel dengan tidak sabar. Tak lama pintu terbuka. Tampak wajah Prisa yang masih bau bantal. Sepertinya dia baru bangun.

"Al? Ada apa pagi-pagi ke sini?" tanyanya dengan mata menyipit.

"Gue mau bicara sama papa lu," jawabku langsung sambil celingak-celinguk mencari sosoknya.

"Papa kayaknya di ruang olahraga ...."

Prisa belum selesai dengan kalimatnya, tetapi aku sudah menerobos masuk dan langsung menuju ruang olahraga yang dimaksud Prisa. Aku sudah tahu pasti di mana letaknya.

"Ciee ... calon manten sudah kangen aja. Baru kemarin ketemu." Prisa menggodaku sambil mengekor. Tak kuhiraukan. Aku terus melangkah menuju ruang itu. Rasanya sudah tidak sabar ingin mendamprat lelaki itu.

Dari luar ruangan tak berpintu itu terdengar suara embusan napas kasar khas orang berolahraga berat. Sepertinya Om Pandu tengah melatih otot-ototnya.

Huh, sepagi ini sudah olahraga. Untuk apa? Capek-capek badan saja. Mendingan juga bergelung di bawah selimut. Aku juga kalau tidak urgent, malas keluar rumah pagi-pagi begini.

Aku langsung masuk ke ruangan itu tanpa permisi. Susana hati yang buruk selalu membuatku seperti ini, tak mengindahkan sopan santun. Kekesalan yang sudah di ubun-ubun yang mendorongku langsung merangsek masuk.

Aku langsung menuju ke arahnya yang sedang sibuk dengan salah satu alat kebugaran. Sepertinya dia sedang fokus membentuk otot tubuh bagian atasnya. Terlihat gerakkan tangannya yang naik turun menarik alat itu. Otot-otot tangan dan punggungnya yang basah oleh keringat terlihat mengkilap. Posisinya membelakangiku hingga ia tidak menyadari kedatanganku.

Dengan langkah-langkah kasar, aku langsung maju dan berdiri di hadapannya. Repetan pertanyaan dan cacian yang sudah kupersiapkan dari rumah, sudah siap meledak.

Akan tetapi, OMG! Seketika aku membuang muka dengan kulit wajah terasa panas saat tubuh ini sudah berdiri di depannya. Kenapa, sih, Om Pandu ini hobi sekali tidak memaki baju? Mentang-mentang tubuhnya bagus. Aku, kan, jadi ... aku jadi lupa tadi mau apa ke sini.

Semua kekesalan yang tadi sudah di ubun-ubun menguap entah ke mana. Berbagai pertanyaan tajam yang sudah di ujung lidah pun mendadak hilang. Aku melengos saat Om Pandu menghentikan aktivitasnya. Dia berdiri. Sekarang kami saling berhadapan dengan jarak hanya sekitar satu meter.

Tuh, kan, aku gemetaran lagi. Kalau sudah begini serasa runtuh lagi harga diriku. Aarrgghhh! Ibu ... aku menyesal bangun pagi-pagi. Mendingan tadi selimutan lagi setelah salat subuh.

"Ada apa, Al? Jangan bilang kamu sudah kangen lagi sama calon suamimu?" tanyanya seraya mengangkat sebelah alis. Keringat terlihat membanjiri seluruh tubuhnya. Beberapa menetes melalui ujung rambutnya yang sedikit menjuntai di kening.

Aku mendelik ke arahnya. Namun, buru-buru membuang muka lagi. Tak kuat rasanya melihat pemandangan yang, ah ... entahlah.

"Om, bisa enggak kalau pakai baju dulu?" Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku dengan ketus.

"Kenapa?" tanyanya seraya maju mendekat. Refleks aku mundur karena kaget.

"Dasar mesum. Hobi banget telanjang dada, sih!” umpatku kesal.

"Lho, kamu datang tiba-tiba, mana Om tahu kamu mau ke sini.” Dia kian maju, dan aku semakin mundur.

Akan tetapi, sial, langkahku tertahan salah satu alat fitnesnya. Kini aku tersudut. Bahkan tidak tahu bagaimana nasib diri ini. Aku laksana mangsa yang masuk kandang macan dan menyerahkan diri.

Om Pandu sudah berdiri sangat dekat. Aku mulai gemetar, tangan terasa sedingin es, mataku melotot, tubuh panas dingin. Tangannya mulai terulur ke arah ... ke arah samping wajahku, dia meraih handuk kecil yang tergantung di belakang kepala ini.

"Tegang amat," tukasnya santai sambil mengelap keringat di wajahnya dengan handuk itu.

Ya Tuhan ... kukira dia mau ... ah, kenapa jadi aku yang mesum? 

Aku menarik napas dalam beberapa kali sambil mengumpulkan lagi kata-kata yang sempat ambyar. Om Pandu berjalan ke arah pintu sambil terus mengelap keringatnya.

"Om!" panggilku nyaring. Dia menoleh.

"Ya, Sayang ... kenapa teriak?" tanyanya menyipitkan mata.

Aku mendengkus kasar mendengar kata 'sayang' dari  mulutnya.

"Kenapa, Om, menghajar Dimas?" tanyaku seraya menatapnya tajam.

Om Pandu terlihat kaget. Namun, sebentar kemudian dia bisa menguasai diri. Wajahnya kembali datar.

"Kalau mau bersaing, yang sehat, dong! Om, kan, lebih tua, harusnya lebih tahu mana yang baik mana yang tidak. Bukan begitu caranya menarik perhatian wanita," ucapku berapi-api.

Om Pandu hanya menatapku datar, kemudian mengembus napas kasar. Lalu, melanjutkan langkahnya tanpa bicara.

"Om ...." panggilku lagi kesal merasa tak digubris.

"Om sudah bilang, tidak usah teriak. Sini coba kita bicara sambil duduk," jawabnya lagi menepuk sofa sebelahnya.

Ya, sekarang dia duduk manis di ruang TV setelah sebelumnya meneguk habis air putih dalam gelas besar.

"Atau ... mau duduk di sini?" lanjutnya menepuk pahanya yang hanya terbalut celana pendek.

Aku melengos.

"Aku tidak terima Om menghajar Dimas dan meminta dia meninggalkanku. Aku tidak terima, Om mendapatkanku dengan cara seperti itu. Itu curang namanya. Om tahu aku juga bisa berbuat curang. Aku bisa membatalkan pertunangan ini," cerocosku lagi penuh emosi.

Aku pikir dia akan terpancing dengan kata-kataku dan balik marah. Namun, ajaibnya dia sama sekali tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar.

"Om tidak merasa bersaing dengan siapa pun, apalagi dengan seorang pecundang." Santai. Begitulah cara bicaranya.

"Maksud, Om, Dimas pecundang? Om, jangan menganggap diri Om lebih hebat hanya karena lebih mapan sekarang. Di usia dia sekarang, aku jamin Om juga belum semapan ini," tudingku geram.

"Al, jaga bicara lu! Gue nggak suka lu bicara begitu sama papa!" Prisa yang tiba-tiba datang, menghardikku.

"Gue juga nggak suka papa lu semena-mena sama cowok gue!" balasku tak terima. Terdengar dengkusan dari mulut Prisa.

"Lu yakin dia cuma cowok lu? Lu yakin jadi satu-satunya pacar dia?" tanya Prisa lagi sinis.

"Maksud lu apa?" balasku tak kalah sengit.

Prisa sudah membuka mulutnya lagi hendak membalasku. Namun, Om Pandu mencegah dengan mengangkat tangannya. Dia menggeleng ke arah anaknya.

Prisa diam, tetapi menatapku kesal, dan aku balas dengan tatapan nyalang.

"Pris, sudah siap-siap sana! Kita ke rumah calon mertua Papa. Hormati calon istri Papa yang sudah jauh-jauh datang untuk mengundang kita sarapan di rumahnya," ucap Om Pandu yang membuatku tercengang.

Prisa mengangguk, lalu berjalan ke arah tangga. Sepertinya dia mau bersiap ke kamarnya.

"Tunggu sebentar, ya, Om mandi dulu," lanjut lelaki yang kini berdiri. Keringat masih membasahi tubuhnya.

"Atau ... mau nemenin mandi?" lanjutnya dengan senyum menggoda.

Aku yang sudah sangat kesal pun melengos. Kenapa, sih, dia tidak meladeni kemarahanku? Om Pandu hendak berlalu, tetapi sebentar kemudian kembali menghampiriku.

"Dengar, Al, karena kamu sudah menyinggung perasaan Om. Maka, tanggal pernikahan kita, Om majukan, dan begitu seterusnya setiap kali kamu berbuat salah!"

Apa?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Erna Ernawati
bagus bnget ceritanya
goodnovel comment avatar
Erna Ernawati
seneng dn penasaran dgn critanya
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Nah lo Al si duda benar² sudah kebelet kawin hahahaha
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   193. TUDUHAN

    Ruangan itu terasa sesak. Mesin pemantau detak jantung masih berdetak tenang, tapi jantung di dada mereka tak demikian. Alvina menggenggam tangan Sadewa erat, matanya basah menahan gejolak. Pandu berdiri kaku di sisi lain, sementara Prisa dan Nino saling berpandangan di dekat pintu, seolah menimbang waktu yang tepat untuk pergi—atau menyampaikan kenyataan paling pahit itu.“Inggit mana?” Suara Sadewa kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih kuat, tapi justru membuat ruangan makin sunyi.Alvina mengusap kening Sadewa dengan gemetar. “Sayang… tenang dulu, ya. Kamu baru sadar, masih butuh istirahat. Kamu minum dulu, ya. Atau mau Bunda suapi makan sekalian? Kamu pasti lapar, ya, Nak?” Sambil berdiri, Alvina membujuk.“Tapi Inggit di mana, Bun?!” Sadewa terus mendesak, tak menghiraukan tangan sang ibu yang mengasongkan botol minum. “Tadi aku... kami... kecelakaan, kan? Aku ingat! Mobil... truk... suara keras... terus gelap! Tapi Inggit ada di sebelahku! Di mana dia sekarang? Kenapa d

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   192. KECELAKAAN

    Jalanan itu ramai. Terlalu ramai bagi Pandu dan Alvina yang baru saja turun dari mobil dalam keadaan panik. Suara sirene, bisik-bisik warga, lampu rotator polisi dan ambulans yang berkedip-kedip, semuanya menambah sesak di dada mereka. Alvina masih mengenakan kebaya pastel dengan sepatu hak rendah yang kini terasa seperti jerat. Napasnya memburu, matanya liar mencari.“Permisi! Maaf ... anak saya ... Sadewa!” Pandu mendorong pelan barisan warga yang berkerumun di balik garis polisi.“Bapak tidak bisa masuk. Ini area evakuasi—” seorang polisi menahan mereka.“Saya ayah korban! Anak saya dan istrinya … mereka …! Saya mohon ... izinkan saya masuk!” Suara Pandu serak, tapi penuh desakan.Polisi itu sempat ragu, namun melihat raut wajah Alvina yang hampir pingsan, dia akhirnya memberi isyarat ke rekannya. “Oke, tapi jangan halangi proses evakuasi. Hati-hati, Bu.”Mereka melewati garis polisi. Aroma besi, asap, dan darah memenuhi udara. Mobil sedan biru yang membawa Sadewa dan Inggit ringse

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   191. PESTA TAMAN

    Langit sore itu menghamparkan warna jingga yang membara. Matahari mulai turun perlahan, seolah memberikan restu kepada sepasang kekasih yang berdiri di altar sederhana berlatarkan taman penuh bunga. Musik lembut mengalun mengiringi momen sakral itu.Ya, ini pesta resepsi pernikahan Nakula dan Dinda. Akhirnya, setelah perjalanan berliku dan penuh intrik, mereka bisa melenggang ke pelaminan. Pernikahan sengaja dipercepat oleh Pandu untuk menghindari banyak godaan yang mungkin berpeluang menimbulkan kesalahpahaman lagi.Toh, Nakula sudah memiliki penghasilan meski masih kuliah. Walaupun mungkin belum sebesar penghasilan Dinda sebagai seorang manajer resto, tetapi itu sama sekali bukan hal besar. Dinda bisa menerima.Nakula terlihat gagah dengan setelan jas putih tulang, rambutnya disisir rapi, senyumnya tak pernah lepas dari bibir sejak pagi. Di sisinya, Dinda berdiri anggun dalam balutan kebaya modern berwarna champagne. Tatapan mereka saling menyatu, seolah dunia hanya milik mereka ber

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   SALING MELENGKAPI

    190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   KERAGUAN & KESERIUSAN

    189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   SEMUA SAMA

    188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status