189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
1"Prisa, tolong bilang sama teman kamu, dia harus bertanggung jawab, ya! Kedudaan Papa sudah ternoda. Da sudah melihat aurat Papa. Pokoknya Papa tidak mau tahu, dia harus bertanggung jawab!" teriak Om Pandu dari depan pintu kamar Prisa, membuatku terperangah. Apa katanya? Aku harus bertanggung jawab? Oh My God, yang ternoda di sini, aku. Mata dan otakku sudah ternoda gara-gara melihat ... ah, aku mengacak rambut frustrasi. Menyesal kenapa harus datang ke sini kalau tahu akan seperti ini. "Iya, Pa. Tenang aja, Alvina bukan gadis yang suka lari dari tanggung jawab, kok," balas Prisa juga sambil teriak dan diiringi tawanya yang membahana.Aku melotot kesal ke arah sahabatku itu, tetapi hanya dibalas dengan tawa renyahnya. "Pokoknya Papa tidak mau tahu, dia harus mau menikahi Papa. Kalau tidak, Papa akan tuntut sama orang tuanya!" teriak Om Pandu lagi dari celah pintu kamar Prisa yang sedikit terbuka. Aku semakin terbelalak mendengar ucapan ayah sahabatku itu. Dasar duda meresahkan
2“Dasar duda meresahkan!” Aku terus menggerutu sembari mengacak rambut dengan kesal. Walaupun sudah menganggap ucapan ayahnya Prisa hanya angin lalu, tetapi tak ayal pikiran ini terganggu.Bagaimana kalau benar dia datang ke rumah, menemui ibu dan ayah, terus melamarku?“Aarghhh ….” Lagi, aku mengacak rambut. Apa yang akan dipikirkan orang tuaku nantinya? Bagaimana kalau mereka mengira aku dihamili Om Pandu? Atau mereka menyangka aku dihamili Dimas, tapi Dimas tidak mau bertanggung jawab, terus yang nikahin malah ayahnya Prisa?Idih, amit-amit. Masa iya aku harus nikah sama duda. Dudanya ayahnya Prisa lagi. Apa kata dunia? Helo, Alvina apa kamu sudah tidak laku lagi sampai harus nikah sama Om-om? Ingat, dia ayahnya Prisa. Pantasnya jadi ayahmu juga.Tapi kan, dia masih ganteng. Walaupun sudah empat puluhan, dia masih gagah, masih tampan, kaya lagi. Rumah makannya saja memiliki cabang di seleuruh sudut kota. Sisi hatiku yang lain terus mempengarungi. Mungkin itu diriku yang versi berw
3Dua hari semenjak kejadian di rumah makan itu, aku tidak keluar rumah. Aku kesal dengan Prisa dan ayahnya. Saat itu aku sampai pingsan mendengar perkataan Prisa yang seolah mendukung ucapan ayahnya tempo hari. Apa mereka berdua sudah tidak waras? Bahkan mereka bermakar memutuskan sesuatu tanpa meminta persetujuanku dulu.Aku pingsan saking kaget dan tidak percaya dengan ucapan mereka. Dan sesaat sebelum kesadaran benar-benar hilang, entah nyata atau sekadar halusinasiku saja, aku melihat Dimas memasuki resto bersama seorang wanita.Aku meyakini jika itu hanya halusinasi saja. Namanya orang mau pingsan kan, pasti kerja organ tubuh sudah kacau. Aku yakin Dimas tidak seperti itu. Setahun kami berpacaran, ia pasangan yang setia, tidak banyak tingkah, sangat romantis dan kami juga sudah merencanakan hubungan ke jenjang lebih serius. Dia kekasih idaman setiap wanita.Selama dua hari aku tidak keluar rumah. Selama itu pula Prisa bolak-balik menjengukku. Takut terjadi sesuatu denganku katan
4"Alvina!” teriak Prisa dengan suara nyaring saat kelas baru saja berakhir.Aku pura-pura tidak mendengarnya. Kuayun langkah dengan tergesa. Memang sengaja sejak pagi menghindarinya. Aku bahkan tidak mengaktifkan ponsel sejak ia dan ayahnya ke rumah. Aku kesal ia yang terus saja menjodoh-jodohkanku dengan ayahnya.Aku ini masih muda. Baru dua puluh satu tahun. Masa iya harus nikah sama duda. Ayahnya dia pula. Apa kata dunia? Memangnya di dunia ini tidak ada lagi bujangan hingga aku harus nikah sama duda ayah sahabatku sendiri?Idih, amit-amit, deh. Kalau Om Pandu sudah kebelet kawin, kan, bisanyari yang janda lagi.“Al ….” Ternyata walaupun sudah berusaha keras menghindarinya, ia dapat mengejarku. Aku lupa ia jago marathon. Apalagi kalau sedang kepepet dikejar satpam kampus karena parkir motor sembarangan."Temenin makan, yuk," ajaknya ringan seolah tidak menyadari aku sengaja menghindarinya."Aku mau pulang, tidak enak badan." Aku menepis tangannya. Juga terpaksa berbohong.“Ayolah,
5Di sini kami sekarang. Berlima duduk di ruang tamu dengan suasana canggung. Apakah ini yang dimaksud lamaran oleh Om Pandu? Entahlah. Yang pasti ia datang hanya berdua Prisa dengan pakaian sedikit formal dan membawa banyak parsel. Tanpa meminta persetujuanku, mereka tetap mengadakan acara lamaran ini.Aku terpaksa setuju karena ternyata benar kata Prisa, Dimas tidak kembali bahkan hingga hari menjelang sore. Nomornya yang sudah tidak aktif sejak lama, semakin tidak bisa dihubungi, padahal aku lihat dengan mata sendiri ia mengutak-atik ponselnya kemarin. Bahkan kudengar ada panggilan masuk. Itu artinya dia memakai nomor lain. Atau nomorku yang diblokir?Tidak habis pikir dengan Dimas. Apa salahku hingga ia memperlakukanku seperti ini? Aku merasa kami tidak ada masalah apa pun.Kemarin untunglah walaupun dengan marah, Prisa menungguku hingga aku yakin jika Dimas tidak akan kembali. Ternyata Prisa tidak benar-benar pergi. Ia dan Om Pandu menungguku di dalam mobil tak jauh dari tempatku
6Sekarang, hanya kami berdua di sini, di ruang tamu ini. Aku dan Om Pandu. Entah kenapa Ayah, Ibu, dan Prisa pergi ke ruang makan tanpa mengajak kami.Sebenarnya, tadi aku berniat menyusul mereka, tetapi dengan galak Ibu menghardikku, menyuruh tetap tinggal menemani Om Pandu di sini. Ibu galak sekali seolah-olah aku ini anak tiri.Dari sini terdengar mereka makan sambil bercengkerama dengan hangat. Seolah-olah sengaja memanasiku. Aku sebal sama Ayah dan Ibu. Mereka jahat sekali. Tega. Anak mereka itu aku atau Prisa?Aku melipat tangan di dada dengan kesal. Aku tahu dari tadi Om Pandu memperhatikan, tetapi mencoba tidak peduli. Jarak duduk kami lumayan jauh. Aku tetap memasang tampang judes.Dari ekor mata aku bisa melihat Om Pandu berdiri, lalu berjalan mendekat, sepertinya ia mau menghampiriku. Cepat aku menahannya dengan mengangkat tangan."Stop, Om! Berhenti di situ. Jangan dekat-dekat!" hardikku galak.Om Pandu berhenti."Kenapa?" tanyanya dengan mengangkat sebelah alis."Aku ale