Pukul satu tepat, Satria sudah berada di depan butik Salsa. Menunggu wanita itu datang. Sebelumnya, Salsa sudah memberikan panduan arah untuk memudahkan Satria sampai lebih cepat di butiknya. Satria duduk melantai sambil mengisap satu batang rokok terakhir yang ia punya, saat motor besar Salsa masuk pekarangan ruko tempat butiknya berada.
"Maaf lama menunggu ya, Bang?" tanya Salsa sambil membuka helemnya dan tersenyum pada Satria.
"Baru dua puluh menit, Mbak." Satria berdiri menyambut Salsa sambil membuang puntung rokok yang sudah selesai ia hisap. Satria masih tersenyum pada Satria.
"Rokok terakhir, Mbak, he he he ... kalau sudah jadi suami nanti saya udah janji mau berhenti merokok," kata Satria pada Salsa. Semakin rasa bersalah mendera hati wanita itu, ternyata banyak yang tidak ia ketahui tentang Satria. Seorang pria luar biasa yang memiliki banyak kelebihan di balik sejuta kekurangannya.
"Bagus kalau begitu, Bang. Lelaki yang tidak merokok itu
"Bos, wah ... ganteng banget pakai jas begini, pangling saya," puji Ramlan saat memasuki kamar Satria yang sudah dihias begitu cantik. Satria tersenyum, lalu menepuk sisi tempat tidur yang sudah berhiaskan taburan kelopak mawar dengan maksud meminta Ramlan duduk di dekatnya."Kenapa, Bos?" tanya Ramlan penasaran."Gue deg-degan," kata Satria sambil memegang dadanya."Ini pernikahan kedelapan, masa masih deg-degan aja. Bukannya udah hapal luar kepala. Mau apa dulu yang dipelorotin? Ha ha ha ...."Puk!"Aw!" Satria memukul kepala Ramlan dengan peci hitamnya."Kalau itu iya, Ram, gue udah cum laude, tapi ijab sah ini loh yang bikin gue deg-degan. Mungkin ini firasat baik bahwa pernikahan gue dan Haya akan langgeng ya, Ram. Aamiin ... Masalah cinta bisa datang karena terbiasa. Gue harap setelah menikah nanti, gue bisa menyerahkan semua hati gue dan Tyrex gue hanya untuk Haya," ujar Satria serius. Namun Ramlan malah terbah
"Mbak, kita terpisah dari rombongan yang lain, apa ini tidak salah jalan?" tanya Satria kebingungan sambil memperhatikan jalanan yang saat ini sedang ia lewati."Saya tahu jalan pintas, Bang, tenang saja," jawab Salsa dengan suara bergetar. Ia masih fokus mengendarai mobilnya dengan dada yang berdebar. Melewati jalan yang berbeda dari rombongan pengiringnya yang lain."Apa tidak akan lama?" tanya Satria lagi dengan perasaan khawatir."Tidak." Salsa menjawab pendek. Satria melepas peci, lalu melihat jam di tangannya. Setengah jam lagi acara akad dimulai dan ia tidak tahu sedang ada jalan mana bersama Salsa."Kenapa tidak ikuti rombongan saja biar sampai di sana bareng?" tanya Satria lagi seakan protes dengan apa yang dilakukan Salsa. Mobil masih berjalan dengan kecepatan sedang, lalu di ujung jalan ada jembatan penyeberangan yang biasa dilalui orang dan pengendara roda empat maupun roda dua, tetapi banyak juga yang berhenti di pingg
"Mbak Salsa, terima kasih sudah menyediakan mobil sekaligus menjadi sopirnya. Saya doakan Mbak Salsa segera menyusul ya, Mbak," ujar Haya tulus sambil tersenyum."Eh, iya, Mbak Haya, sama-sama. Saya senang bisa berpartisipasi dalam acara sakral Bang Satria dan Mbak Haya," jawab Salsa diiringi senyuman."Bang.""Ya."Keduanya sama-sama ingin memulai pembicaraan."Abang dulu deh," kata Haya dengan wajah tersipu malu."Terima kasih sudah mau menjadi istri saya," bisik Satria di telinga Haya hingga istrinya itu merasa kegelian."Geli ih!" Haya tertawa dengan bulu tangan yang meremang. Salsa merasa hatinya bagaikan dicubit menggunakan tang. Namun ia harus bersabar karena ini adalah pilihannya. Ia harus siap dengan segala rasa cemburu dan sakit hati yang saat ini ia rasakan."Saya yang terima kasih Abang sudah mau menjadi imam saya dan ayah sambung untuk Samudra. Semoga kita bisa bersama-sama melewati ba
"Mau mandi bareng gak?" ledek Satria pada Haya saat lelaki itu sudah menyiapkan handuk menggantung di pundaknya. Haya yang baru saja masuk, tentu saja langsung merona dengan godaan suaminya."Malu ih! Nanti saja di kamar, Bang," jawab Haya malu-malu."Asik, Abang mandi kilat deh, biar kita langsung bisa main mamah papah di kasur," komentar Satria dengan senyuman teramat lebar. Haya tertawa, lalu dengan gemas mendorong tubuh suaminya untuk segera keluar dari kamar.Satria tersenyum, lalu berjalan ke kamar mandi, tapi langkahnya terhenti di depan pintu kamar mandi. Kamar mandinya sempit, tidak muat untuk dua orang di dalam. Kalau pun muat, pasti gak bisa banyak gaya."Kenapa ngeliatin kamar mandi lu?" tanya Bu Mae heran."Bu, Satria mau bongkar kamar mandi, digedein gitu, Bu, boleh ya?" kening Bu Mae mengerut dalam saat mendengar ucapan Satria. Ia memanjangkan lehernya untuk melihat keadaan kamar mandi yang biasa digunak
"Apa katanya Mbak Salsa?" tanya Haya ingin tahu."Ini, baca saja!" Satria memberikan secarik kertas ucapan selamat dari Salsa pada istrinya. Haya membacanya sambil tersenyum senang."Alhamdulillah, Abang gak jadi sama Mbak Salsa, kalau tidak, saya tidak jadi jalan-jalan naik pesawat, terus nginep di cottage pula, hi hi hi ...." Satria tertawa mendengar komentar Haya yang polos. Istrinya tidak cemburu sama sekali dan itulah yang memang ia harapkan. Haya tidak cemburu dengan semua wanita yang pernah dekat dengannya."Nanti biar saya WA Mbak Salsa ucapkan terima kasih," katanya lagi masih dengan tangan menggenggam tiga buah tiket honeymoon dari Salsa."Kamu tidak cemburu?" tanya Satria pada Haya."Tidak, Abang boleh berteman dengan mantan Abang, karena saya juga masih temenan sama mantan suami saya." Haya menyeringai lebar."M-maksud kamu apa, Ya?" Satria menelan ludah, lalu menoleh ke kanan dan kiri dengan perasaa
"Kita buka kado dulu aja yuk, Ya? Masih sore ini, saya juga belum isya. Asep Tyrex masih bisa nunggu kok," kata Satria pada istrinya. Haya tertawa, lalu mengangguk setuju. Walau ia sudah pernah menikah, tetap saja berduaan dengan lelaki yang baru saja menjadi suaminya, membuat jantungnya berdetak cepat.Akan lebih siap dirinya jika Satria memberikannya cukup waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru."Terima kasih Abang sudah mengerti. Saya gak harus buru-buru pelorotin sarung Abang, he he he ...." Haya bersemu merah mendengar ucapannya sendiri."Saya paham, Haya, justru itu saya gak mau buru-buru, yang penting saya sudah punya istri. Biarin Bu RT sama sopir ambulan kesel nunggu di depan, padahal kita gak ngapa-ngapain, ha ha ha ...." Satria terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya."Ambulan untuk apa, Bang?" tanya Haya tak paham."Untuk siaga satu, siapatahu kamu pingsan saat bertemu Asep nanti," jawab Satria dengan
21+Tuk! Tuk!Suara ketukan lembut di pintu kamarnya membuat Salsa menoleh. Cepat ia menghapus air mata dan membetulkan air wajahnya yang sangat berantakan."Sebentar, Bun," ujarnya sedikit berteriak, lalu berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka. Sungguh tidak mudah melepas lelaki yang ternyata kamu cinta untuk bersanding dengan wanita lain. Apalagi kamu pernah benar-benar tidak menganggapnya.Cklek"Ya, Bun?""Kamu baru mandi?" tanya Juwi memperhatikan putri cantiknya dari atas sampai bawah."I-iya, kenapa, Bun? Salsa tidak ingin makan, mau langsung tidur saja," kata Salsa dengan tangan yang siap mendorong pintu kamarnya. Juwi menahan pintu lebih cepat dari perkiraan Salsa."Ada Fajar di depan. Katanya dia menelepon kamu seharian tetapi diabaikan. Selesaikan ya, Sayang. Jangan memberikan harapan jika kamu tidak yakin. Temui Fajar!" pinta Juwi diiringi senyuman. Wanita dewasa itu sangat mem
"Sepertinya istri Mas terlalu kelelahan. Dehidrasi, dan maaf, Mas bilang tadi masih suasana pengantin baru ya? Ini ... mm ... ada sedikit luka lecet di organ intimnya." Satria menghela napas berat, lalu menoleh pada ibunya yang sudah meneteskan air mata. Satria pun kini tengah berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah."Saran saya, biar istri Mas dirawat dahulu mungkin dua malam ya. Mas bisa konsultasi ke dokter kelamin jika nanti memang diperlukan bagaimana kiranya berhubungan dengan pasangan secara normal dan tentu saja yang sehat," lanjut dokter lagi sambil tersenyum tipis."Baik, Dok, terima kasih atas penjelasannya." Dokter itu pun pamit meninggalkan Satria dan Bu Mae di ruangan VIP. Haya masih terlelap dengan jarum infus menancap di punggung tangan kirinya. Satria mendekati brangkar, mencium kening istrinya dengan satu dua tetes air mata yang jatuh di dahi kain kerudung yang dipakai istrinya."Yah, Sat, kasihan Haya. Emangnya gimana