Share

8. Meniup Balon

Napas Satria benar-benar sesak dan Bu Mae pun segera memanggil Mak Piah;tukang urut ternama di kampung mereka. Kebetulan juga, rumah Mak Piah bersebelahan dengan rumah Satria. 

Bu Mae berlari ke rumah Mak Piah, lalu mengetuk pintu rumah wanita tua itu dengan tergesa-gesa.

Tok! Tok!

"Mak, buka! Ini Mae!" seru Bu Mae dengan suara kencang. Namun Mak Piah belum juga membukakan pintu.

"Mak, buka! Ini Mae, Mak!" Tangan Bu Mae masih terus menggedor pintu rumah tukang urut itu, tetapi belum juga dibukakan pintu. Bu Mae tidak kehabisan akal, dia harus mengeluarkan kalimat ajian agar pintu segera dibuka.

"Mak, Satria sesek, dia butuh ..."

Cklek

"Siapa sesek? Satlia? Ayo, sebelum mati." Mak Piah berjalan melewati Bu Mae begitu saja dengan wajah tanpa dosa. Ibu dari Satria itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas berat. Segera ia menyusul Mak Piah yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumahnya. Padahal setahu Bu Mae, jalan Mak Piah itu sudah pincang karena pernah jatuh, tetapi kenapa berjalan ke rumahnya begitu gesit dan cepat? 

Bu Mae segera mengibaskan tangan di wajahnya, lalu menyusul Mak Piah yang ternyata sudah berdiri di depan pintu kamar Satria.

"Bang, Eneng masuk boleh gak?" tanya Mak Piah sambil tersenyum lebar. 

"Masuk neraka gih!" teriak Satria dalam hati. Sayang sekali napasnya tengah terengah-engah, sehingga ia tidak bisa mengusir Mak Piah dari kamarnya. 

Wajah keriput Mak Piah mendadak merona karena harus berjalan malu-malu ke arah Satria. Melihat sikap aneh nenek tukang urut pada anaknya, Bu Mae mengambil sikap menarik tangan Mak Piah agar segera mendekat pada anaknya.

"Mak, kalau jalannya kayak pengantin sunat gitu, nanti anak saya keburu mati. Ayo, cepat! Anak saya butuh napas buatan!" seru Bu Mae tak sabar.

"Tapi Emak malu sama Satlia. Ambilin gigi palsu Emak gih, bial gak nyeplos gini bibilnya pas nyium," pinta Mak Piah sambil menunjuk pintu kamar. 

"Bu, ja-jangan ... tinggalin Satria bersama ... nenek grandong ini!" Tentu saja Satria tidak bisa mengatakannya secara langsung, melainkan dengan isyarat mata. 

"Mak, saya gak tahu tempat gigi palsu Emak ada di mana? Nanti saya malah ngambil yang lain. Mak aja dah yang ambil. Gak sopan juga saya masuk rumah Emak, karena Emak di sini," ujar Bu Mae memberi alasan. Mak Piah pun mengangguk setuju. Wanita tua itu berbalik badan dan langsung berlari keluar dari kamar Satria. 

"Bu, Satria bunuh aja, daripada harus kena bibir Mak Piah. Bu, plis!"

"Udah, lu diem aja! Yang penting sembuh!" Bu Mae tak sabar menunggu kedatangan Mak Piah kembali ke rumahnya.

Cukup satu menit, Mak Piah sudah kembali lagi dengan memakai gigi palsunya dan tersenyum dengan sangat lebar pada Satria dan Bu Mae.

"Kalau ada gigi begini, saya gak jadi insekyur mau ciuman sama Satria. Tuh, bisa'kan bilang Satria, bukan Satlia," ujar Mak Piah sambil tergelak. Lelaki itu pasrah saat Mak Piah mendekat dengan perlahan.

Dengan napas yang semakin sesak, Satria pun menutup mata, memasrahkan hidup dan matinya pada Tuhan. Ia tidak yakin akan berumur panjang setelah dicium oleh Mak Piah. Perlahan dan dengan gerakan amat lambat, Mak Piah mendekat pada Satria dengan senyuman dan hati berdebar.

Bu Mae memperhatikan dengan ngeri dan juga sedikit mual, karena bibir Mak Piah yang mencucut bagaikan ikan sapu-sapu. Selain sesak napas, Satria juga kini semakin pucat dan tidak berdaya. Tiga centimeter lagi bibir Mak Piah berlabuh, Satria terhuyung dan pingsan di tempat tidur. 

"Ya Allah, Satria! Mak, anak saya diapain? Kok pingsan?" Bu Mae panik bukan main dan langsung berlari keluar rumah untuk meminta pertolongan para tetangga. Bahu Mak Piah melemah, saat tidak jadi berciuman dengan Satria. Padahal ia sudah lama mendambakan hal seperti ini pada Satria. 

Walau ia sudah tua, tetapi jiwanya muda. Sudah lama ia juga menjanda agar bisa bersanding dengan Satria yang berkali-kali gagal menikah, tapi sayang sekali tidak ada yang mau menjodohkannya dengan Satria. 

Mak Piah mundur beberapa langkah, saat tiga orang lelaki dewasa masuk ke dalam kamar Satria dan bersiap membawa pemuda itu ke rumah sakit. 

"Mak ikut ke rumah sakit boleh gak Mae?" tanya Mak Piah pada Bu Maesaroh. Cepat Mak Piah menyembunyikan sesuatu yang ia temukan di balik batal Satria, lalu ia genggam dengan erat.

"Gak usah, Mak. Nanti Satria koma kalau Mak Piah ikut. Udah, Mak pulang aja ya. Saya mau ke rumah sakit." Bu Mae menarik tangan Mak Piah untuk keluar dari kamar anaknya. Lalu ia pun mengunci rumah dan ikut bersama Pak RT masuk ke dalam mobil. 

Mak Piah masuk ke dalam rumah dengan lemas dan kecewa. Ia duduk di tepian tempat tidur, sambil meneteskan air mata. Pelan ia rebahkan diri di tempat tidur sambil membayangkan berciuman dengan Satria Kuat. Diambilnya gigi palsu dari mulutnya, lalu ia kembalikan ke dalam mangkuk tempat ia biasa menaruhnya.

Mak Piah membuka telapak tangan kiri yang terkepal erat sejak tadi. "Apa ini?" gumamnya sambil menyipitkan mata melihat benda yang ada atas telapak tangannya. Wanita tua itu membuka bungkusnya, lalu mulai meniup benda yang ia kira adalah balon.

"Kenapa tidak bisa ditiup?" gumamnya lagi dengan rasa penasaran.

"Apa jangan-jangan habis niup ini Satlia sesek ya?" Mak Piah pun mulai meniup benda yang ia kira adalah balon, dengan sekuat tenaganya. Hingga lima belas menit berlalu dan usahanya sia-sia. 

"T-tolong ... saya sesek!" Mak Piah merasakan napasnya terengah-engah.

****

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Mom L_Dza
Mak Piah tolong dikondisikan dulu
goodnovel comment avatar
Wiwik Kurniawati
kwkwkw. mak...mak itu balon khusus
goodnovel comment avatar
Ol Eiye
Suka suka kita dong, Tergantung!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status