Siang ini, aku dan Bapak menuju danau. Letaknya lumayan jauh di sebelah gunung. Kami melewati hutan dan menerobos semak belukar.
Bapak kadang salah arah, tapi aku hafal betul. Bagaimanapun, di sinilah pertama kali Bapak menemukanku dalam kondisi menyedihkan.
Satu jam mengarungi tracking yang penuh adrenalin, akhirnya tiba juga di danau.
Awalnya, danau ini digunakan oleh masyarakat sekitar pegunungan untuk mencuci pakaian atau sekadar memancing ikan. Setelah peristiwa tenggelamnya gadis-gadis perawan, sekarang jadi sepi. Dianggap keramat.
Mengetahui adanya kekuatan besar di balik danau ini, Bapak memutuskan untuk datang bertapa.
Memohon wangsit pada Jin penunggu danau.
Bapak mendapat lebih dari apa yang diharapkan. Jin itu memberi macam-macam ilmu, khususnya ilmu putih. Namun sama saja, syarat yang dilalui tidaklah gampang.
Ada pepatah mengatakan 'baik belum tentu benar'.
Ilmu putih bertujuan baik, tapi mesti menempuh proses yang tidak benar. Kau harus mengorbankan banyak hal untuk mencapainya. Menghindari banyak pantangan. Mengharuskan ritual khusus, hingga menuntut tumbal nyawa.
Aku masuk ke danau. Perlahan membersihkan dedaunan kering yang menutup permukaan air.
Setelah bersih, giliran Bapak yang menebar kembang tujuh rupa.
Kuletakkan sesajen berupa satu sisir pisang, sirsak dan nasi berbungkus daun di pinggir danau. Bapak kemudian membakar dupa ke arah matahari tenggelam.
Ia duduk bersemedi di situ hingga malam tiba.
Persiapan sudah beres dan aku pun pulang sendirian ke rumah. Tinggal menanti kedatangan si wanita yang menginginkan susuk kecantikan.
🖤🖤🖤
Tepat jam 12 malam, wanita itu benar-benar datang.
Aku jadi kikuk berbicara dengannya yang tak memakai pakaian dalam.
Tentu jelas sekali tonjolan gunung kembar dari balik kaos putih itu. Berguncang naik turun saat ia menggerakkan badan.
"Bone, hidup tak melulu tentang pegunungan."
Terdengar lagi nyinyiran Genderuwo dari atap rumah. Makhluk kurang hiburan itu sungguh menjengkelkan. Selalu saja nimbrung saat ada wanita datang.
"Sengsara kau, Bone. Kau hanya bisa memandang tapi Jin danaulah yang berhak menjamahnya." Ia tertawa geli diikuti tawa Genderuwo lainnya.
Wanita itu mengusap tengkuk yang merinding. Melirik ke atap rumah seolah merasakan sesuatu.
"Oh ya, Mbak. Aku disuruh Bapak menjelaskan tahapan ritual." Kucoba mengalihkan perhatiannya.
Dia memperbaiki posisi duduk lalu menatapku serius.
"Mbak bakal mandi dalam danau yang sudah ditaburi kembang tujuh rupa. Tidak perlu membuka pakaian."
"Tapi harus menyelam sebanyak tiga kali."
"Jangan kaget saat Jin danau menjamah tubuh Mbak. Sebisanya tidak berteriak atau membuka mata. Tetaplah berendam dalam danau."
"Hanya itu saja?" Wanita itu memotong bicaraku.
"Masih beberapa lagi, Mbak."
Air mukanya berubah gelisah. Aku tahu wanita ini belum siap dan hanya memaksakan diri.
"Gausah takut, Mbak. Nanti ada aku dan Bapak yang berjaga."
"Oke, baiklah. Ada lagi, Bang?"
"Puncak ritualnya, Bapak akan memasukkan sehelai bulu di jidat anda."
"Apa setelah itu aku langsung cantik berseri?"
"Belum, Mbak. Butuh sekitar satu minggu perubahan terjadi. Mbak akan terlihat menarik dan rejeki lebih mengalir."
Senyum pun mengembang di wajahnya yang pucat.
"Bone, beri tahu kewajiban wanita itu setelah disusuk!! Hahaha ...." tawa Genderuwo itu pecah lagi.
"Oh ya, Mbak. Nanti tiap malam Jumat, Mbak harus menyuguhkan segelas kopi manis. Taruh aja di atas lemari biar gak dilangkahi orang."
"Kopi? Untuk siapa?"
"Ya untuk calon suami Mbak. Si Jin danau."
"Astaga!!" Sepasang mata lentik itu membesar kaget, lalu menelan paksa ludah. "Ada lagi, Bang?"
"Mbak dilarang mencuci muka di tempat terbuka yang bisa dilihat orang. Setiap kali mandi Mbak akan dijamah Jin danau itu."
Wanita itu menutup mulut dengan jemarinya gemetar.
"Jangan ragu, Mbak. Fokus aja pada tujuan! Mau cantik, mau kaya, gak ada yang instan."
Aku yang capek menjelaskan panjang lebar, kini mulai muak pada tingkah wanita ini.
Dia pikir ritual perdukuan cuman buat kaget-kagetan? Selalu saja kaget.
🖤🖤🖤
Bermodalkan senter di tangan, aku memandu wanita ini menuju danau. Untung saja sedang bulan purnama, jadi tidak kesulitan melihat jalan.
Angin dingin menerpa kulit, membuat wanita ini mendekap erat tubuhnya yang tanpa jaket. Agar cepat sampai, aku lalu memilih jalan pintas yang kuketahui.
Memang cukup curam, tapi lebih baik daripada terlambat. Ritual harus dimulai tepat jam satu malam, dan jika diulur maka nyawa wanita ini terancam bahaya.
Memasuki area hutan di mana danau itu berada, puluhan jin terlihat hilir mudik.
Berpasang-pasang mata mengintai dari dahan pepohonan. Merah menyala, penuh nafsu.
"Nadia, aku cinta padamu!" seru salah satu jin.
Aku yang bersama si wanita, bahkan baru detik ini tahu namanya.
"Jangan percaya padanya, Nadia. Dia botak dan taringnya panjang!" sambung jin lain.
Sontak si wanita memeluk lenganku erat. "Bang, siapa mereka?"
"Mereka cuma jin menengah, anak buah dari jin danau. Calon suami anda!" ketusku sembari melepas genggaman si wanita dari lenganku.
Jin danau terkenal cemburu. Jika tahu wanita ini menyentuhku sebelum menyentuhnya, perkara bisa panjang nanti.
"Nadia menikahlah denganku. Akan kubawa kau terbang secepat kilat."
"Dia tak ada apa-apanya, Nadia. Mending sama aku, badanku berotot. Kau pasti tergila-gila."
Jin-jin itu terus merayu dan baru berhenti kala kami tiba di pinggir danau.
Bapak masih di situ sejak siang tadi. Duduk bersila dengan dupa berkepul asap.
"Sudah kau jelaskan padanya, Bone?" tanya Bapak yang menyadari ketibaan kami. Aku pun mengiyakan.
Bapak membuka mata. Memandang wanita ini, kemudian berucap pelan. "Masuklah ke danau, ritual akan dimulai."
Nadia berjongkok. Melepas sepatu sneaker dari kakinya, lalu melangkah memasuki air.
Sementara aku menyorotkan cahaya senter ke tengah danau agar Nadia melihat dengan jelas.
Baru tiga langkah ke dalam danau, Nadia sepertinya menginjak batuan licin. Ia goyah lantas tergelincir.
"Ah sial, Kambing!" pekiknya kaget lalu tercebur ke dalam danau.
"Nadia ...." Untuk pertama kali aku memanggil namanya. Entah mengapa perasaanku sangat khawatir.
"Mbeeeekkk," jawab Nadia yang muncul di permukaan danau.
Aku dan Bapak dibuat terkejut pada perubahan Nadia.
Berharap jadi cantik, ia malah jadi kambing.
"Bone, apa tidak kau sampaikan padanya tentang pantangan dilarang mengumpat saat ritual?"
Aku menepuk jidat. "Maaf, aku lupa, Pak,” jawabku sedih.
Masuk ke danau, aku merangkul kambing itu. Membawanya ke tepian dalam keadaaan gemetar kedinginan.
"Ya ampun, Bone. Wanita ini jadi kambing dan tak bisa diubah lagi." Ayah menatapku kecewa.
Aku menunduk lesuh, masih dalam sikap merangkul si Kambing.
Bab 75 Berita tentang kematian Bapak tersiar ke sepenjuru desa. Warga berbondong-bondong datang melayat. Di hari yang sama, kami langsung menguburkan jenasah Bapak.Mang Asep masih menekuri makam Bapak kala semua pelayat telah pulang. Sementara rombongan kami tengah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Aku menghampiri Mang Asep lantas berdeham pelan. Pria itu mendongak sepintas dan kembali menatap makam."Kau sudah jadi manusia normal, Bone. Dan aku jadi dukun sakti menggantikan Tarso. Kita doakan semoga ia tenang di alam sana." Aku terdiam. Hanya memandangi gerak-gerik Mang Asep yang bangkit dari berjongkok di makam, hingga ia berpamitan pulang."Bu Amira, kami harus pulang ke Jakarta sekarang. Ada jadwal pelayanan di tempat lain," tegur salah satu Pastor. "Tidak. Kalian masih harus membantuku." Aku menginterupsi.Ketiga Pastor itu mengernyitkan dahi. Mereka menatapku heran. "Aku sudah dipulihkan dan bukan siluman ular lagi. Tapi dosaku di masa lalu mengakibatkan Nadia jadi kambing
Bab 74Di ruang tamu tempat biasa melayani pasien, Bapak terkulai lemah. Aku hampir tak kenal wajah aslinya. Kulit Bapak menghitam legam dan bola matanya terus-terusan mengeluarkan cairan.Jemarinya yang kaku dipaksa bergerak saat melihatku. Aku turun dari badan Beni, lalu segera merayap ke tempat Bapak terbaring.Sedikit senyum mengembang di wajahnya. Orang-orang yang datang menjenguk, haru menyaksikan kami. "Pastor, apakah Mbah Tarso bisa disembuhkan?" Ibuku menatap iba."Sepertinya tidak, Bu Amira. Orang ini sedang menuai hasil perbuatannya selama hidup di dunia." Si Pastor berucap lugas. "Dia terlalu menyimpang dari jalan kebenaran. Sekalipun ia banyak mengamalkan ilmu putih untuk menyembuhkan orang, tetap saja dosa. Sebab yang memberi kemampuan itu bukanlah Tuhan, melainkan iblis." Orang-orang yang menjenguk Bapak, merasa tersinggung atas ucapan si Pastor. Ini wajar, karena mereka pernah disembuhkan oleh Bapak.Mang Asep cepat-cepat menengahi situasi. Ia meminta warga untuk p
Bab 73Beda dengan alam barzah di mana waktunya lebih cepat dari waktu di bumi. Di lubang neraka ini, hitungan waktunya sama persis dengan waktu di bumi. Aku tahu, karena detik demi detik terasa begitu nyata di tempat ini. Dari balik jeruji besi, aku memperhatikan bagaimana para iblis hilir mudik mendatangi tahta kebesaran Lucifer. Mereka melaporkan hasil kerja, bahkan mendiskusikan trik yang cocok untuk mempengaruhi manusia. Terbahak-bahak mereka tertawa kala manusia berhasil jatuh ke dalam dosa. Tiap iblis dengan kepiawaiannya masing-masing.Ada yang ahli dalam merusak tali pernikahan. Meniupkan ruh tidak setia yang membuat para suami berselingkuh. Setelah itu bercerai. Ada yang piawai meniupkan ruh mamon. Membuat manusia cinta uang, gila harta, tahta dan jabatan. Para iblis ini terus membisikkan ide-ide busuk ke telinga manusia. Agar mereka mengambil jalan pintas seperti berjudi, trading saham, korupsi, bisnis narkotik dan mafia lainnya. Aku mendengar mereka memanggil Lucifer
Bab 72Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini? Gara-gara tertarik pada ajakan Beni untuk penelusuran, sekarang Bang Bone tak sadarkan diri.Apa hanya pingsan atau sudah meninggal. Aku dan Beni jadinya bertengkar karena panik. Panik, mau dibawa ke rumah sakit atau rumah orang tua Bang Bone. Kalau ke rumah, sudah pasti Bu Amira akan marah besar. Akhirnya kami membawa tubuh Bang Bone ke rumah sakit. Selama di perjalanan, aku menangis sesenggukan.Tak bisa kubanyangkan jika Bang Bone tidak bangun lagi. Sungguh, a ku belum siap kehilangan orang tercinta. "Dia belum meninggal," ujar dokter di ruang ICU. "Dia mengalami gagal napas, atau yang sering disebut koma." "Kami akan memasang alat bantu pernapasan," imbuh dokter.Aku, Beni dan Ando tak henti membisikkan doa-doa kecil. Di hadapan kami, dokter yang dibantu oleh tim medis, memompa dada Bang Bone. Mereka memasang ventilator yang menutupi hidung dan mulut. Garis hijau muncul di layar monitor. Naik turun seiring denyut jantung. Dokter memin
Bab 71Ando menendang pintu ruang direktur hingga terbuka lebar. Jemarinya meraba tombol saklar demi menyalakan lampu. Sayang, listrik di ruang ini pun tak berfungsi lagi. "Hahaha ...." Beni kembali tertawa. Ia duduk berpangku kaki di kursi kebesaran direktur. "Kau!!!" Telunjuknya mengarah padaku. "Barusan kau menjelek-jelekkan namaku, bukan? Aku tersentak mundur. Langsung menarik lengan Abigail agar tak mendekati Beni. Sebab sosok yang merasuki Beni sangatlah berbahaya."Wahai manusia bodoh!" Ia memekik. "Membicarakan namaku sama dengan mengundangku datang." "Aku Luciferr!!" ucapnya bersamaan dengan matanya menyala merah. Di saat yang sama, suatu energi gelap melempar kami ke tembok. Rasanya sakit sekali. Aku segera mendekap tubuh Abigail. Gadisku itu meringis meraba tubuhnya. Sementara Lucifer kembali tertawa melalui raga Beni. Kesal, aku membaca mantra lantas melesakkan kanuragan hitam lewat mulutku. Gumpalan asap hitam menghantam Lusifer, tapi tak memberi efek sama sekali.
Bab 70Segera kupijat pelipis dan tengkuk Beni. Beberapa saat kemudian, kondisinya berangsur membaik sehingganya kami melanjutkan penelusuran. "Kalian tahu gak?" Beni bersuara pelan. "Sewaktu tanganku memegang gagang pintu tadi, aku menyaksikan pertengkaran sengit yang terjadi antara suami istri pemilik pabrik ini. Mereka ribut soal uang. Tapi belum selesai pertengkaran itu, tiba-tiba muncul banyak iblis di dekatku. Ingin memasuki tubuhku. Aku terhempas dan rasanya tuh pusing banget." Beni mengurai apa yang dialaminya. Ia tampak lemas. Aku menepuk pundaknya, "Setelah ini, kamu kudu tahu seberapa besar gelombang yang ada dalam jiwamu. Setiap kita memiliki gelombang energi yang berbeda, begitu pun dengan makhluk gaib. Jadi, tidak semua makhluk gaib bisa merasuki kita, melainkan hanya yang se-frekwensi saja." "Oh gitu? Pantesan!" keluh Beni. "Kok aku jadi penasaran pada pertengkaran yang disaksikan Beni," celetuk Ando. Kamera ia arahkan ke wajahku. "Bisa gak, Abang sentuh gagang pin