Share

Bab 4 Susuk Kecantikan

Terik matahari mulai membakar kulit. Di dekat sumur, aku yang baru selesai mandi, kini lanjut menggosok gigi. 

Beberapa tuyul peliharaan yang memang tidak kubotolkan, mengajak bercanda.

"Bone, kau cakep kalau habis mandi." 

"Sayangnya kau jomblo. Hahahaha ...."

"Bone, umurmu berapa sekarang?"

"Aku yakin kau belum pernah mencium wanita." 

Glek! Kena telak di ulu hati, padahal baru semalam aku mengecup dua wanita sekaligus.

Candaan mereka sudah akrab di telingaku. Dan aku hanya mendengar bak angin lalu. 

Aku kemudian masuk ke kamar untuk berpakaian. Tuyul-tuyul tadi mengikutiku. Mereka berlarian di atas kasur, layaknya anak-anak. 

Usai berpakaian, aku mengoles luka di kaki dengan minyak ramuan khusus. Teringat kembali bagaimana aku mendapat luka ini.

Seorang pria meninggalkan rumah tangganya demi menikahi wanita idaman lain. Sang istri sakit hati lalu meminta Bapak mengacaukan keharmonisan pasangan selingkuh itu.

Aku diutus ke sana. Dalam rupa ular, berniat menaburkan roh kebencian, pertengkaran dan perpisahan. Berharap pria itu kembali ke istri tuanya. 

Nahasnya aku tak sadar kalau pria itu indigo. Dia peka saat aku menyusup masuk. Dikejarnya aku dengan senjata ekor pari. Senjata yang paling ditakuti para dukun.

Belum sempat menaburkan roh santet, terpaksa aku kabur duluan. Senjata itu sempat mengenai ekorku. Terluka dan berdarah. Bahkan kala berganti wujud ke manusia, luka itu ada dan belum sembuh di kakiku.

Asyik mengoles minyak, sayup kudengar percakapan Bapak dengan seseorang dari balai-balai bambu di depan rumah. 

Suara wanita. 

Ya, lagi-lagi wanita. Makhluk yang menyebabkan Adam jatuh dalam dosa itu menduduki peringkat pertama pengguna jasa dukun di dunia ini. 

Aku mengendap ke sudut rumah. Dari sini bisa kulihat sosok wanita itu. Usianya mungkin sepantaran denganku. 

"Mbah, kenapa wajahku selalu pucat?" Ia mengeluh sedih. "Seperti kurang nutrisi. Padahal aku rajin minum vitamin, tidur teratur juga pakai skin care mahal." 

"Banyak yang mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menarik." 

"Seperti mayat hidup, mereka bilang." Ia menatap Bapak dengan binar memohon. 

Bapak meneguk kopinya yang masih berkepul uap. Setelahnya, ia meminta ijin untuk menilik bola mata wanita itu. 

"Apa kamu tinggal seatap dengan banyak orang?" tanya Bapak. 

"Aku tinggal di kos, Mbah."

Bapak mengangguk paham. "Mbah liat ada teman kos yang mencuri aura kamu."

"Bagaimana bisa?" Wanita itu terduduk lesu. Memainkan jemarinya di atas pangkuan. 

"Lain kali kamu jangan ceroboh!" Bapak meneguk sisa kopi di gelas. "Kejahatan datang bukan karena niat, tapi adanya kesempatan."

"Maksud, Mbah?"

"Jangan keramas di depan kamar. Jangan potong kuku di kamar teman. Jangan pula meludah sembarangan. Hajat-hajat yang tak kau anggap itulah yang justru dimanfaatkan orang lain untuk menyedot auramu."

"Dia semakin bersinar sedangkan kau makin redup." Ayah menjelaskan. 

"Apa yang harus aku lakukan, Mbah?" tanyanya polos.

"Lha, kau ke sini maunya apa?" Bapak balik bertanya. 

Wanita itu serasa kena mental. Ia jadi ragu-ragu menjawab. 

Aku segera muncul. Membawakan teh untuk mencairkan suasana mereka.

"Diminum tehnya, Mbak." Kusimpan cangkir teh di samping wanita itu. 

Ia tersenyum lalu berucap terima kasih.

Senyumnya hambar, sama hambarnya dengan teh tanpa gula yang kusajikan. 

Aku berlalu ke belakang, kudengar Bapak memberinya saran. 

"Kau pakai saja susuk. Selain bisa menarik auramu kembali. Vibrasinya mampu menyedot kesuksesan dalam karirmu." 

"Kau tidak hanya akan cantik, tapi juga sukses besar."

Senyum hambar itu merekah lagi, "Bagaimana caranya, Mbah?" Kali ini nadanya berenergi.

"Melalui ritual mandi di danau jam satu malam," jawab Bapak datar. "Hanya akan berhasil bila kau yakin sepenuh jiwa. Jika masih ragu mending tak usah." 

Wanita itu termenung beberapa saat. Menimbang-nimbang entah apa yang ia timbang. 

Dari sudut rumah, aku masih mengamati. Berharap wanita itu mengurungkan niatnya. 

"Bone, kau itu kenapa suka sekali mengintip, huh?"

 Dua genderuwo yang tersisa, menghampiriku.

 "Apa kau malu dengan wajah pas-pasan mu itu?" Mereka mengakak geli.

"Hmm, setidaknya wajahku tidak berbulu seperti kalian," gumamku santai.

Dua genderuwo itu pun menghilang pergi dengan dada memanas. 

"Bagaimana, kau setuju?" Bapak membuka suara. "Saya tak punya banyak waktu saat ini."

"Setuju, Mbah. Saya setuju!" jawab wanita itu tegas.

"Baiklah, kau datang saja lusa malam ke sini. Kita akan bersama-sama menuju danau. Ingat, jangan mengenakan pakaian dalam saat kau berangkat. Cukup pakaian luar saja!" 

Si wanita cukup kaget, tapi tetap mengiyakan. "Ya, Mbah. Akan saya ikuti petunjuknya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status